Baca: Ayub 7:1-21
Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya.
Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti embusan napas saja.
Ayub 7:16
Kehidupan ini unik dan penuh misteri. Merekah dan
berfantasi; namun meredup dan bervariasi. Andai Tuhan Sang Pemilik kehidupan
menyebarkan angket pilihan, pasti setiap manusia memilih tetap belia sepanjang
hayat. Sebab, usia senja menim-bulkan beragam masalah. Tidak heran, ahli susuk
dan ahli kosmetik andal sering kali diburu demi melawan bahkan menunda masa
tua. Ini senapas dengan syair Chairil Anwar bahwa manusia ingin tampil bugar
untuk hidup seribu tahun lagi.
Namun cerita Alkitab ternyata kontras dengan beragam
fantasi itu. Kisah Ayub dalam bacaan ini memaparkan apa adanya kehidupan itu.
Hidup memang berat dan membosankan. Berat menapaki usia serta jenuh menelusuri
lika-likunya. Senja hari tua seakan meredup dan se-nandungnya pun hanyalah
sayup-sayup. Kehadiran para sahabatnya tanpa arti, selain menghakimi dan
memvonis. Atas nama motivasi dan kepentingan, Elifas, Bildad, Sofar dan Elihu
mengacaukan konsentrasi Ayub. Sampai-sampai Allah juga menjadi sasaran
pelampiasan emosi-nya (bandingkan Ayub 10:1-22). Pertanyaannya, di manakah
Allah saat badai melanda? Pada kisah lanjutan Ayub, Allah menuntun sampai ia
dipertemukan dengan berkat-berkat-Nya.
Pedihnya kehidupan akan menjadi hari kemarin dan masa
lalu; jika setiap umat beriman terus menggemakan senandung imannya kepada Allah
yang Mahasetia dan Mahapeduli. Karena itu, senandungkanlah kidung syukur
kala usia senja, dan bagikanlah pengalaman tersebut kepada sesama sehingga mereka pun
berpengharapan kepada Allah saat badai melanda. —Simon Herman Kian.
Senandungkanlah
keindahan hidup di sepanjang usia, maka hari-hari kehidupan Anda akan berarti bagi Allah dan sesama.