Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 16 Juli 2011

Senandung Usia Senja

Baca: Ayub 7:1-21
Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama-lamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti embusan napas saja.
Ayub 7:16


Kehidupan ini unik dan penuh misteri. Merekah dan berfantasi; namun meredup dan bervariasi. Andai Tuhan Sang Pemilik kehidupan menyebarkan angket pilihan, pasti setiap manusia memilih tetap belia sepanjang hayat. Sebab, usia senja menim-bulkan beragam masalah. Tidak heran, ahli susuk dan ahli kosmetik andal sering kali diburu demi melawan bahkan menunda masa tua. Ini senapas dengan syair Chairil Anwar bahwa manusia ingin tampil bugar untuk hidup seribu tahun lagi.
Namun cerita Alkitab ternyata kontras dengan beragam fantasi itu. Kisah Ayub dalam bacaan ini memaparkan apa adanya kehidupan itu. Hidup memang berat dan membosankan. Berat menapaki usia serta jenuh menelusuri lika-likunya. Senja hari tua seakan meredup dan se-nandungnya pun hanyalah sayup-sayup. Kehadiran para sahabatnya tanpa arti, selain menghakimi dan memvonis. Atas nama motivasi dan kepentingan, Elifas, Bildad, Sofar dan Elihu mengacaukan konsentrasi Ayub. Sampai-sampai Allah juga menjadi sasaran pelampiasan emosi-nya (bandingkan Ayub 10:1-22). Pertanyaannya, di manakah Allah saat badai melanda? Pada kisah lanjutan Ayub, Allah menuntun sampai ia dipertemukan dengan berkat-berkat-Nya.
Pedihnya kehidupan akan menjadi hari kemarin dan masa lalu; jika setiap umat beriman terus menggemakan senandung imannya kepada Allah yang Mahasetia dan Mahapeduli. Karena itu, senandungkanlah kidung syukur kala usia senja, dan bagikanlah pengalaman tersebut kepada sesama sehingga mereka pun berpengharapan kepada Allah saat badai melanda. —Simon Herman Kian.

Senandungkanlah keindahan hidup di sepanjang usia, maka hari-hari kehidupan Anda akan berarti bagi Allah dan sesama.

Jumat, 15 Juli 2011

Tuhan, Engkau Di Mana?


Baca: Nahum 1:2-8
Tuhan itu baik; Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan;ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya.
Nahum 1:7

Kitab Nahum memberi gambaran yang lengkap tentang siapakah Allah. Allah bisa hadir sebagai sosok yang cemburu dan pem-balas (ayat 2), tetapi sekaligus Allah juga hadir sebagai Tuhan yang panjang sabar dan besar kuasa-Nya (ayat 8). Allah bisa berada dalam puting beliung dan badai, tetapi Ia juga Tuhan yang baik. Oleh sebab itu ja-nganlah bertanya: Tuhan, Engkau di mana? Tuhan ada di mana-mana dan sekalipun murka, Ia tetaplah Tuhan yang baik. Ketika kenyataan dan keadaan berubah menjadi
badai yang menakutkan, lakukanlah hal-hal ini:
Larilah hanya kepada Tuhan karena di sana ada tempat peng-ungsian. Musibah meletusnya Gunung Merapi memaksa pemerintah setempat mendirikan tenda-tenda pengungsian. Di sanalah penduduk merasa aman dari bencana. Ke manakah kita lari mencari pengungsian ketika badai hidup datang tiba-tiba? Jangan lari ke mana-mana, larilah hanya kepada Tuhan Yesus saja. Pasti aman dan ada damai sejahtera.
Percayalah ada jaminan bahwa Tuhan mengenal kita. “Ia menge-nal orang-orang yang berlindung kepada-Nya.” Ke mana kita lari ke sana-lah masa depan kita ditentukan. Kita lari menjauh dari Tuhan atau mendekat kepada-Nya?
Tuhan berkuasa melakukan di luar kemampuan kita. “...menye-berangkan mereka pada waktu banjir” (ayat 8). Banjir membuat orang panik dan menyerah pada keadaan. Tuhan sanggup menolong di saat kita panik dan tidak tahu lagi apa yang harus kita perbuat. Bagi Tuhan, banjir dan badai adalah masalah kecil. Yang penting jangan mengecilkan Tuhan agar kuasa-Nya menjadi nyata. —Pdt. Andreas Gunawan Pr.

Berpikir positif bahwa Tuhan itu baik akan membuat sikap
kita positif ketika menghadapi badai kehidupan ini.

Kamis, 14 Juli 2011

Menderita Itu Anugerah

Baca: Filipi 1:29
Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada
Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.
Filipi 1:29


Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari berbagai macam masalah baik yang berasal dari keluarga, orang lain mau­pun masyarakat. Sering kali masalah ini menyebabkan penderitaan bagi kita.
Pendertiaan yang dimaksud di sini bukan disebabkan oleh dosa kita, melainkan karena iman kita kepada Tuhan Yesus Kristus.
Kita berusaha melakukan hal-hal yang benar, baik, dan penuh kasih, tetapi justru tak jarang kita malah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, ditolak, dikucilkan, dan dicemooh yang semua itu bisa mengakibatkan kita stres. Dan apabila tidak kuat iman kita bisa mencari pelarian ke hal-hal yang justru akan semakin membawa kita menderita.
Saat ini sebagai orang percaya kita diingatkan oleh nasihat Rasul Paulus bahwa penderitaan karena Dia merupakan karunia dari Tuhan. Penderitaan juga merupakan proses pemurnian iman kita. Kita dihibur­kan ketika mengetahui bahwa menderita bagi Kristus bersifat sementara dan itu akan mendatangkan kemuliaan bagi kita.
Dengan menahami makna penderitaan karena Kristus tersebut, maka kita dapat bersyukur dan menerimanya dengan penuh sukacita. Kita menghadapi penderitaan sebagai kehendak Allah dan meneladani sikap Kristus yang juga menderita. Memang tidak mudah mengambil sikap demikian, namun dengan kekuatan Kristus, kita akan mampu menanggungnya dan pada akhirnya semua itu akan menjadi berkat bagi kita, sesama dan kebesaran nama-Nya. —Teguh Pribadi.

Doa: Tambahkanlah iman kami, ampuni orang-orang
yang bersalah kepada kami. Amin.

Rabu, 13 Juli 2011

Jangan Bersungut-sungut

Baca: Bilangan 14:26-30
Dan janganlah bersungut-sungut, seperti yang dilaku­kan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka dibinasakan oleh malaikat maut.
1 Korintus 10:10


Konon dikisahkan seorang kaisar Romawi sedang mempersiapkan pesta akbar dan mengundang banyak orang. Tetapi sayang, pada hari H, terjadi badai dahsyat hingga tak seorang pun datang ke pesta akbar itu. Kaisar bersungut-sungut dan marah kepada Dewa Badai yang dianggapnya sebagai biang kerok ketidakhadiran para tamunya. Sang kaisar lalu memerintahkan para serdadunya untuk menembakkan anak panah ke udara menye-rang Dewa Badai sebagai balas dendam. Tentu saja anak panah itu turun kembali ke bumi bahkan melukai para serdadunya.
Gerutuan, keluhan, omelan dan sungut-sungut kita ibarat anak panah yang diarahkan kepada Tuhan. Anak panah itu akan kembali kepada kita dan mencelakakan diri kita sendiri.
Ambillah pelajaran dari bangsa Israel. Mereka begitu mudah dan sering bersungut-sungut. Ketika mereka ingin minum di Mara, air di situ rasanya pahit, mereka lantas bersungut-sungut (Keluaran 15:24). Ketika mereka kelaparan, mereka bersungut-sungut (Keluaran 16:1-3). Mereka juga bersungut-sungut ketika harus berhadapan dengan suku Enak, yang berperawakan raksasa (Bilangan 13:33; 14:3). Dan masih banyak hal lagi yang membuat mereka bersungut-sungut. Akibatnya Tuhan menghukum mereka. Mereka tidak akan masuk tanah perjanjian, yang berusia dua puluh tahun ke atas akan mati di padang gurun, kecuali Kaleb bin Yefune dan Yosua bin Nun (Bilangan 14:27-30).
Orang Israel lebih melihat kesulitan lalu bersungut-sungut daripada melihat berkat-berkat Tuhan lalu mensyukurinya. Bagaimana dengan kita? —Liana Poedjihastuti.

Dalam keseharian, kita lebih mudah bersungut-sungut
atau bersyukur?

Selasa, 12 Juli 2011

Tuhan Mendengar


Baca: Mazmur 6:1-11
...sebab Tuhan telah mendengar tangisku.
Mazmur 6:9


Sebagian orang berpendapat bahwa me­nangis adalah tanda kelemahan dan ketidak­berdayaan. Padahal, kata para konselor, menangis itu sehat. Sebab dengan menangis seseorang dapat menyalurkan rasa sakit, rasa duka, atau beban yang menindih. Penging­karan terhadap perasaan sakit, membuat seseorang justru rentan pada depresi dan tekanan batin yang berdampak pada sakit secara psikis dan fisik.
Daud merasakan tekanan yang berat da­lam jiwanya. Ia sadar, begitu berat tanggung
jawab sebagai pemimpin bangsa. Ia dikejar oleh orang-orang yang menen­tangnya, termasuk Absalom, anaknya sendiri. Daud juga sadar, ia telah jatuh ke dalam dosa, merancang kematian atas Uria, dan menjadikan Batsyeba istrinya. Keluarganya berantakan. Amnon anaknya menodai adiknya sendiri, Tamar (2 Samuel 13:1-22).
Dalam kegalauan hatinya, ia tahu kepada siapa ia harus pergi. Di hadapan orang lain, mungkin Daud merasa malu. Namun kepada Tu­han tak ada yang tersembunyi. Kepada Tuhan ia mengadu, menangis, “Kasihanilah aku Tuhan, sebab aku merana” (ayat 3).
Ada saat di mana kita berada pada titik terendah dalam hidup ini. Saat kita merasa tak mampu mengadu kepada orang lain. Kita merasa sendiri dan tak berarti, seakan awan gelap menutup bagian yang terang dari hidup kita. Tuhan Mahamendengar, Mahapengampun dan Mahakasih. Tuhan tidak ingin kita terpuruk begitu dalam. Ia menginginkan kita bangkit. Ia siap menopang kita. Maukah kita membawa segala beban kepada-Nya, termasuk beban dosa yang begitu menghimpit jiwa kita? —Pdt. Meyske S. Tungka
Dalam kesesakan aku telah berseru kepada Tuhan. Tuhan telah
menjawab aku dengan memberi kelegaan —Mazmur 118:5