Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Di Hati Suami

Baca: Amsal 31:10-12
Istri yang cakap siapakah akan mendapat¬kannya? Ia lebih berharga daripada permata.
Amsal 31:10

Setiap perempuan harus menyadari bahwa dirinya adalah sosok pribadi yang berharga di mata Allah. Allah telah menciptakan Anda dengan istimewa, diperlengkapi dengan po¬tensi dan talenta yang sudah dikembangkan. Sesudah menikah, perempuan ditaruh dan dipasang di hati suaminya untuk dicin¬tainya. Perintah Allah kepada suami adalah untuk mengasihi istrinya, karena kecantikan dan kemolekan akan lenyap dimakan usia, satu hal yang akan lestari adalah perempuan yang takut akan Tuhan dan membawa keluarganya berjalan di jalan Tuhan.

Pertama: Jangan lenyapkan kebanggaan itu, walaupun dahulu Anda kurus, tinggi dan lansing, kini berubah, badan dan pinggang bertambah gemuk. Dahulu berwajah cantik, kini kulit menjadi kisut, dahulu wanita karier, kini menjadi nenek yang pekerjaannya momong cucu, dan siang malam menunggu panggilan anak dan mantu untuk dititipi cucu, jangan lenyapkan kebanggaan itu.

Kedua: Hai, para suami taruhlah istrimu di dalam hatimu, kasihilah dia setiap waktu dan jangan turunkan statusnya menjadi lebih rendah, dari statusnya yang semula. Janganlah kekosongan hatimu diisi oleh wanita lain.
Ketiga: Bimbinglah istri Anda dengan kepemimpinan yang ber¬dasarkan kasih bukan dengan kuasa yang tak terbantahkan. Bukan gengsi dan harga diri yang ditonjolkan, tetapi tunjukkan pengorbanan dan pelayanan apa yang bisa Anda lakukan. Niscaya hidup berkeluarga kita akan tampak indahnya. —Pdt. Agus Wiyanto

Suami jangan ingin dianggap nomor satu, yang mesti dilayani,
tetapi lakukan apa yang bisa anda lakukan untuk
kebahagiaan pasangan Anda.

Jumat, 15 Oktober 2010

Seorang Mesias

Baca: Yohanes 1:24-27
Yohanes menjawab mereka, katanya: “aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal.”
Yohanes 1:26

Di sebuah keluarga, tiga orang kakak-beradik sering kali bertengkar. Ketiganya tidak ada yang mau mengalah, apalagi bila itu me¬nyangkut kepemilikan barang-barang yang sebenarnya bisa mereka gunakan bersama. Kedua orang tua mereka, sungguh prihatin melihat ketiganya dari hari ke hari. Mereka bukannya memperlihatkan kemajuan kede¬wasaan mereka, namun semakin konyol dengan tidak segan-segan saling melukai.
Kedua orang tua mereka hampir putus asa, namun tetap berupaya mencari jalan memecahkan masalah pelik itu. Mulailah keduanya menyusun rencana, ketiga anak mereka digilir dikirim ke desa ke tempat kakek mereka, se-orang pendeta emiritus. Seperti biasa sang kakek tidak banyak bicara, namun menjelang setiap anak hendak pulang kembali ke rumah, ia sempat memesankan bahwa salah seorang dari anggota keluarga mereka adalah Mesias.
Awalnya pesan itu tidak begitu berkesan dan memberi dampak apa pun. Namun tak lama kemudian mulai tampak perubahan. Si sulung merasa kedua adiknya banyak sekali perubahan, jangan-jangan salah satu dari mereka adalah Mesias seperti kata kakek. Sebaliknya kedua adik melihat perubahan drastis dari kakak mereka. Pikir mereka jangan-jangan ini Mesias seperti yang dipesankan kakek mereka. Ketiga anak bersaudara ini mulai berhati-hati dalam bersikap, berperilaku dan berbicara satu terhadap yang lain. Perubahan hidup ini ternyata memikat yang lain, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka semua dapat hidup rukun dan saling mengasihi. —Pdt. Meyske S. Tungka

Doa: Ya Bapa, kami sungguh menyesal, begitu banyak waktu, tenaga dan daya yang kami habiskan untuk mencari engkau, namun kami ga¬gal menemukan engkau karena kami lupa bahwa Engkau selalu hadir mengamati kami dalam hidup kami setiap hari. Amin.

Kamis, 14 Oktober 2010

Keluarga Harmonis

Baca: Kolose 3:12-14
Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatu¬kan dan menyempurnakan.
Kolose 3:14

Keluarga merupakan tempat di mana sekelompok orang, oleh ikatan darah, hidup bersama-sama. Meski ada dalam ikatan darah, mungkin saja terjadi konflik antar anggota keluarga, akibat perbedaan penda¬pat dan kepentingan. Meski pada umumnya ikatan darah itu dapat menjadi perekat untuk memulihkan kembali keretakan yang terjadi, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pemulihan tidak dapat terjadi. Atau, kalau pun terjadi, itu hanya menyangkut “kulit lu¬arnya” saja, sehingga pemulihan yang sesung-
guhnya tetap tidak terjadi. Dengan demikian, ikatan darah ternyata belum dapat menjadi jaminan penuh bagi terpeliharanya keharmonisan hubungan di dalam keluarga.

Menyadari kenyataan tersebut, kita masih memerlukan dasar lain yang bersumber dari firman Tuhan, untuk memelihara dan melestarikan keserasian kehidupan berkeluarga. Dari sekian banyak nasihat menge¬nai dasar-dasar bagi hubungan antar manusia umumnya, yang pasti juga bermanfaat bagi hubungan dalam keluarga, apa yang dinasihatkan Paulus kepada jemaat Kolose dapat kita gunakan. Paulus menasihatkan, agar orang-orang percaya mau mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran dan pengampun, dalam menjalani kehidupan bersama. Paulus menekankan, “... di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Itulah “resep” dari Alkitab, yang kalau benar-benar dilakukan oleh setiap anggota keluarga, pasti akan menjadikan kehidupan dalam keluarga itu tetap serasi dan sejahtera. —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, hindarkanlah keretakan yang mengancam
keluarga kami, dengan mengaruniakan kasih-Mu
sebagai perekatnya. Amin.

Rabu, 13 Oktober 2010

Pola Timbangan

Baca: Lukas 6:27-36
Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Lukas 6:31

Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa salah satu kebutuhan kita membentuk persekutuan adalah agar kita memperoleh dukungan dan pengayoman dalam kehidupan bersama orang lain. Inilah juga yang sering kita harapkan dari sebuah persekutuan keluarga. Di dalam keluarga, bapak, ibu, anak, dan saudara merasakan kebutuhan yang sama: ingin diterima, didukung dan diayomi. Karena itu ketika keinginan itu tidak kita peroleh, maka dengan mudah kita menjadi tawar hati dan kehilangan semangat untuk hidup bersama anggota kerluarga.

Sebagai orang tua kita hanya ingin mengasihi anak-anak kita tatkala mereka berlaku manis dan tidak nakal. Sebaliknya anak-anak hanya mau mendengar apa kata orang tua tatkala semua keinginan mereka mampu dipenuhi. Seorang suami hanya akan mengasihi istrinya, kalau istrinya mau menuruti kata-katanya—dan sebaliknya. Seorang kakak hanya akan mengasihi adiknya ketika adiknya mau memenuhi perintahnya; dan seterusnya.

Apa yang ada dalam hubungan keluarga seperti tersebut di atas, adalah hubungan yang saling menuntut dan ingin memperlakukan orang lain se¬bagai bawahan dan pesuruh yang harus selalu memenuhi segala keinginan¬nya. Satu-satunya pola timbangan yang dipakai dalam hubungan macam begitu adalah: Kamu mengasihi saya, saya juga mengasihi kamu.

Tuhan Yesus mempunyai pola timbangan yang baru dalam menjalin dan membina relasi—termasuk keluarga, yakni pola timbangan: “...sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” —Pdt. Ifer Fr. Sirima

Doa: Ya Tuhan, berilah kami kemampuan untuk memakai
pola timbangan yang baru yang engkau ajarkan kepada kami
dalam kehidupan keluarga-keluarga kami. Amin.

Selasa, 12 Oktober 2010

Cocok atau Cekcok

Baca: Matius 19:1-6
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Matius 19:6

Apabila di ruang makan ada hiasan sendok dan garpu dipajang, itu wajar. Tetapi kalau hiasan itu dipasang di dalam kamar tidur, jangan berpikir bahwa suami-istri itu hobi-nya makan. Tidak. Sendok garpu adalah lambang keharmonisan suami-istri. Selalu cekcok tetapi memang itulah pasangannya. Ketahuilah bahwa Allah tidak pernah men¬jodohkan, tetapi menyatukan, seperti dua lembar kertas yang direkatkan menjadi satu. Bagaimana perjalanan rumah tangga Anda sejauh ini? Masih seperti sendok dan garpu?

Pernikahan bukan menyocokkan tetapi menyatukan perbedaan. Perbedaan pria dan wanita memang diciptakan Tuhan. Menikah ada¬lah hidup bersama orang yang berbeda sampai kematian memisahkan keduanya. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk saling mengisi dan melengkapi.
Cekcok kecil membahagiakan, cekcok besar membahayakan. Cekcok kecil memang tidak bisa dihindarkan karena perbedaan, tetapi justru itulah seninya bercinta. Yang bahaya adalah bila cekcok kecil itu dikembangkan menjadi cekcok besar. Ini yang Tuhan tidak kehendaki sebab bisa mengarah kepada perceraian.

Perangnya sendok dan garpu di atas piring, tanda masih saling membutuhkan. Berselisih paham, salah pengertian, kurang tanggap dan sebagainya jangan dibesarkan menjadi tanda-tanda perceraian. Itu sih perangnya sendok dan garpu dalam keluarga. Asal jangan sampai “piring”nya retak. Kalau mau baik, gantilah dengan piring plastik yang anti pecah. Artinya jangan saling mengeraskan hati, tapi usahakan saling mengampuni. Setuju? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Sendok dan garpu walaupun cekcok di atas piring
usakahan jangan sampai piring pecah.

Senin, 11 Oktober 2010

Prime Time

Baca: Filipi 2:1-4
Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikan¬nya untuk membangunnya.
Roma 15:2

Saya penggemar balap mobil Formula 1. Setiap dua pekan sepanjang Maret hingga November race ini ditayangkan lewat televi¬si. Istri saya? Awalnya dia awam sekali, tetapi saya tahu ia berusaha keras untuk menik-mati F1. Race ini tak sekadar hanya bisa di¬lihat siapa pembalap dan tim pemenangnya, tetapi harus tahu tentang pitstop, regulasi, dan istilah teknis F1 lainnya. Sejatinya istri saya adalah penggemar tayangan kuliner seperti A Cook’s Tour, Chef At Home, dan juga Wisata Kuliner yang dahulu disajikan Bondan Winarno. Selain F1, saya sekarang juga menjadi penikmat tayangan kuliner. Kedua acara tersebut adalah prime time, waktu terbaik kami menonton televisi.

Apakah pernah “terjebak” dalam prime time pasangan kita? Saat di mana kita merasa tidak nyaman berada di tengah kegiatan, kesibukan, keasyikan atau kesenangan pasangan kita. Itulah saat di mana kita bisa belajar untuk mengetahui kesenangan pasangan kita, belajar untuk tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri (ayat 4). Jika kita bisa ikut menikmati prime time pasangan kita, niscaya sebagai suami-istri kita akan lebih sehati sepikir (ayat 2). Ini juga melatih kita untuk lebih mengutamakan kekasih hati, istri-suami kita (ayat 3).

Adalah keputusan kita untuk membuat pasangan hidup kita penuh sukacita, dan salah satu cara yang efektif adalah menemukan dan menge¬tahui kesenangannya, tentu saja demi kebaikan dan untuk membuat hidupnya terasa lebih hidup (Roma 15:2). Jadi, nikmatilah prime time pasangan kita, belum terlambat untuk berbagi sukacita bersama. —Agus Santosa

Waktu terbaik kita adalah menjalani kehidupan
dengan semakin sehati dan sepikir bersama pasangan kita.

Saling Mengasihi

Baca: Yohanes 13:31-35
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Yohanes 13:34

Belum lama ini bangsa Indonesia kehilangan Ibu Ainun Hasri Habibie, istri mantan Presiden Habibie. Almarhumah dikenal se¬bagai seorang istri yang baik. Ia tidak tampak menonjol ikut campur pekerjaan suaminya, tetapi sangat berperan dalam memberi dorongan dan kekuatan saat suaminya dalam masa-masa sulit, terutama pada masa tran¬sisi pemerintahan Presiden Soeharto yang lengser dan menyerahkan jabatan presiden kepada Habibie.

Demikian seharusnya dalam kehidupan bersama suami-istri, tidaklah cukup kalau masing-masing hanya fokus menyelesaikan tugasnya sendiri-sendiri. Misalnya, seorang istri hanya fokus pada pekerjaan rumah tangga dan suami hanya fokus pada peker¬jaan untuk mencari nafkah.

Saling mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada murid murid-Nya adalah kasih agape, seperti yang diberikan Yesus kepada para murid-Nya. Kasih yang demikian adalah kasih yang penuh pengertian dan penuh pengorbanan. Dengan demikian masing-masing harus mem¬perhatikan kebutuhan pihak lain untuk dipenuhi. Seorang istri men¬dukung pekerjaan suaminya dengan segala permasalahan yang dihadapi (tidak harus mencampuri) dengan penuh pengertian dan pengorbanan, demikian pula sebaliknya.
Kebahagiaan dalam rumah tangga, bukanlah terletak pada berapa be¬sar anggota keluarga memperhatikan dirinya, melainkan memperhatikan dan mengorbankan diri untuk kepentingan pihak lain. Bukan dilayani melainkan melayani. —A. Budipranoto

Doa: Berilah kami pengertian yang benar, Ya Tuhan,
bahwa kebahagiaan dalam rumah tangga bisa terwujud apabila
kami memperhatikan dan mengorbankan diri untuk kepentingan
pihak lain. Suami kepada istri, istri kepada suami dan
orang tua kepada anak-anaknya. Amin.

Minggu, 10 Oktober 2010

Kesenjangan Hubungan

Baca: Efesus 6:1-4
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tu¬han... Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu...
Efesus 6:1, 4

Salah satu masalah yang sering muncul da¬lam kehidupan keluarga ialah “kesenjangan komunikasi”. Maksudnya, terjadinya gang¬guan dalam menjalin hubungan yang akrab dan serasi antar anggota keluarga. Penye-babnya, mungkin karena kurangnya waktu untuk bertemu, akibat terlalu sibuk atau dapat juga karena “dunia anak”, cara ber¬pikir, gaya hidup dan minatnya, berbeda dari “dunia orang tua”. Dalam keadaan yang de¬mikian, pembicaraan menjadi “tidak nyam¬bung” bahkan menimbulkan salah paham,
sehingga membuat masing-masing pihak menjadi malas untuk berko¬munikasi. Hal semacam itu selanjutnya dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih jauh lagi, di mana kedua belah pihak kurang dapat menghargai dan menghormati pihak lain. Anak menjadi kurang hormat kepada orang tua, karena menganggap orang tuanya sudah ketinggalan jaman. Sedang orang tua, yang merasa lebih tahu dan berpengalaman, menjadi kurang menghargai pendapat dan kehendak anak.

Paulus mengingatkan, bagaimanapun juga, anak harus menaati orang tua, sebagai wujud dari rasa hormat kepada orang tua, sebagaimana dituntut dalam hukum Tuhan. Sedang orang tua hendaknya jangan sam¬pai menimbulkan kemarahan dalam hati anaknya. Intinya, agar kedua belah pihak menahan diri untuk tidak merasa yang paling benar dan yang paling harus dipenuhi kepentingannya. Dengan kata lain, harus ada kesediaan untuk “berkorban perasaan”, demi terpeliharanya keserasian dalam berhubungan, disertai kemauan untuk mengakui bahwa mungkin saja dirinya sendiri yang keliru. —Pdt. Em. Sutarno.

Doa: Tuhan, karuniakanlah pada kami kesabaran dan
kerendahan hati, agar dapat memelihara keserasian
hubungan kami dalam keluarga. Amin.