Tayang: Sabtu, 27 Februari 2010 · Kometar:Belum Ada
Tahun 80-an saya menulis topik ini di Harian
Sinar Harapan. Judul begini Anda tidak menemukannya di media massa mana pun.
Mungkin ini akal-akalan saya supaya memikat perhatian pembaca saja. Namun dari
lubuk hati, itulah sebetulnya cita-cita hari tua saya semenjak ketika umur saya
belum tua. Apakah maknanya bagi Anda?
KAITANNYA masih supaya bukan saja berupaya agar
umur bisa direntang lebih mengulur, melainkan juga agar masih tetap sehat. Kita
tahu cita-cita orang di dunia kiwari, selain mengumpulkan potensi dan peluang
agar panjang umur, juga masih tetap sehat. Kita menyebutnya sebagai tujuan
hidup menuju healthy aging, sudah tua masih sehat.
Semua orang di dunia menyimpan cita-cita itu.
Karena orang paling kaya di dunia itu bukan konglomerat atau hartawan,
melainkan orang sehat. Cita-cita menjadi tetap sehat terdengar sederhana, namun
tak mudah menempuhnya.
Pertama, karena tidak setiap orang punya
investasi kesehatan yang seratus persen utuh sejak lahir. Kedua, yang punya
modal sehat, namun sayang tidak mau menjalani hidup sehat. Tahu makanan lezat
itu jahat, tapi masih rakus juga, misalnya. Jauh lebih banyak orang yang tidak
tahu caranya sehat.
Pertanyaannya bagaimana agar tetap sehat? Proses
menua tentu tidak mungkin dihentikan. Yang bisa kita lakukan hanya
memperlambannya saja. Untuk itu perlu sejumlah kiat. Selain pola dan gaya hidup
sehat dikuasai, tulus dan tekun pula melakoni. Dan kuncinya cuma empat. Hidup
tertib terjadwal, makan selektif, rajin rutin bergerak badan, dan seimbang
dunia-akhirat.
Tentu saja menjabarkan empat kunci itu perlu
bicara lebih empat jam sampai berbusa, kalau itu lewat seminar. Perlu pula
berulang-ulang membaca buku kesehatan terkait dengan itu. Celakanya, memahami
seluruh kitab sejenis itu saja pun tidak cukup, kalau masih bersikap memilih ke
dukun kalau didiagnosis kanker.
Sudah tulus dan tekun menjalani pola dan gaya
hidup sehat memasuki umur yang semakin ranum, buat mata medik agaknya belum
lengkap, jika masih ikut berdesak-desakan di kota besar. Menurut paham saya,
yang sudah uzur perlu tahu diri.
Tahu diri bukan saja demi orang lain, melainkan
juga buat kepentingan pribadi juga. Hidup di kota besar bagi yang sudah uzur
makin tidak menyehatkan karena tiga hal. Irama hidup kota besar sudah tak cocok
lagi dengan umur yang makin uzur. Oleh karena usia, tidak lagi bisa hidup
“ngebut” berirama cha-cha-cha. Saatnya memilih irama waltz. Maka hendaknya
menjelang opa-oma tidak lagi memilih tinggal di kota, apalagi kota besar. Jadi
saatnya “minggir” ke daerah perdesaan.
“Minggir”
Ya, ungkapan “minggir” itulah yang saya carikan
padanannya dengan “ruralisasi” atau hijrah ke perdesaan, lawan kata urbanisasi.
Namun tentu tak sekadar pindah sosok belaka, melainkan pindah segalanya. Tiga
keuntungan usia lanjut “minggir” ke perdesaan.
Selain irama hidup tadi yang lebih bersesuaian
dengan umur yang makin uzur, tidak dikejar-kejar oleh kelompok masyarakat yang
lebih belia ketika di mal, jalanan, antre bioskop, atau bergelak-gelak di
tempat-tempat umum.
Harus diingat, ada stres tersendiri ketika yang
sudah lebih lemah, lebih kendo, lebih alon, masih saja bersinggungan dengan
yang lebih gesit, tergesa-gesa, dan kemudian terjebak dalam gerak hidup yang
ingar-bingar. Maka bukan di situ wilayah keseharian bagi yang uzur.
Secara geografis perdesaan lebih nyaman. Ketika
paru-paru makin susut dengan bertambahnya umur, daya tangkap oksigen juga kian
mengendur. Padahal udara di kota lebih tipis dan sudah menjadi gado-gado dengan
gas buang yang tak menyehatkan itu.
Paru-paru sudah uzur menyedot oksigen yang tipis
plus aneka gas, jelas tidak makin menyehatkan. Udara desa lebih bersih dan
segar, tebal pula kandungan oksigennya. Oksigen makanan pokok bagi bugarnya
sel-sel tubuh. Sumbangan bagi tetap bugarnya seluruh sel tubuh.
Minum air kendi sekarang barang mewah. Selain air
utuh alami, bebas dari cemaran, itulah air kehidupan sesungguhnya. Orang
sekarang kian sukar memperoleh spring water, dan dunia menyuguhkannya mineral
water, air buatan yang direka-reka belum tentu sesuai sepenuh kebutuhan tubuh.
Keuntungan lain memilih tinggal bukan di kota,
secara sosial, kultur, dan filosofi, di Indonesia, perdesaan lebih cocok bagi
yang sudah penuh muatan asam-garamnya, demi berpeluang memetik umur panjang.
Bukan saja sumber pangan dan minum yang lebih sehat dari bumi perdesaan, budaya
tepa selira, baku sapa, dan tiada hari tanpa holiday bila memilih hidup di
perdesaan itulah kado istimewa bagi yang mudanya terkuras tak henti bekerja.
Makna “minggir” sejatinya bukan untuk duduk
termangu ongkang-ongkang kaki, melainkan tetap menyibukkan diri dengan aneka
kegiatan, dengan dua syarat. Pertama, sesuai dengan potensi pengalaman hidup,
dan kedua, senang melakukannya. Para mantan pejabat tetap bisa menyumbangkan
pengalaman praktik sesuai bidangnya bagi masyarakat desa. Orang di perdesaan
memetik manfaat yang dibutuhkannya.
Jadi “minggir” berarti bukan hanya memindahkan
secara geografis segala aktivitas yang mestinya tidak boleh dihentikan. Hanya
apabila masih mau tetap aktif, umur bisa diulur lebih merentang panjang.
Bukannya di kursi malas. Tukar kursi malas dengan sepatu olahraga.
Jangan lupa, faktor stres acap kita anggap
sepele. Padahal stres lebih besar perannya bikin hidup tidak lagi panjang.
Separo isi resep dokter sekarang lebih berisi obat penenang selain obat tidur,
lantaran orang sekarang terjebak dalam lingkaran stres yang jahat (malstress).
Studi Boeing memperlihatkan, mereka yang pensiun
lebih awal saat berumur 55 tahun, menyimpan harapan hidup bisa sampai 80-an
tahun. Sebaliknya bila baru pensiun setelah berumur 65 tahun, harapan hidupnya
hanya tersisa 2 tahun saja. Bukti betapa kejamnya faktor stres ketika masih
tetap aktif kerja buat mengejar take home pay.
Mimpi rumah hari tua view laut
Setelah saya kaji kembali apa yang menjadi mimpi
saya itu, terkait dengan apa yang saya ketahui sehubungan dengan kehidupan
medik, agaknya masih relevan, kalau bukan lebih relevan untuk dipilih sekarang
ini.
Waktu tahun 80-an saya acap keliling kota kecil
kalau sedang liburan bersama anak yang ketika itu masih kecil. Saya menikmati
betul kehidupan kota kecil dan perdesaan. Hemat saya, itulah kehidupan
sejatinya. Waktu itu banyak pejabat maupun mantan pejabat yang membeli tanah di
daerah, entah untuk investasi ataukah memang buat rumah hari tua.
Tapi barang tentu tidak siapa saja siap untuk
“minggir”. Sebagian lantaran belum merancangnya, dan yang lain masih “ngoyo”.
Dosen dan guru saya masih tetap berpraktik sampai uzur. Kerabat saya bingung,
sore hari saya sudah santai di rumah jauh hari sebelum saya mendapat pensiun
PNS.
Sekarang saya renungkan, ternyata saya tidak
keliru. Sejumlah sejawat, guru, yang dirinya memahami betul bagaimana
menyembuhkan dan menyehatkan orang lain, ternyata mati prematur. Bisa jadi
lantaran hidupnya kelewat letih. Praktik sampai malam, kendati dengan hati
senang, tapi mesin tubuh sudah kendur tak mungkin bisa diajak berlari terus.
Saya kebetulan menginsafi hal itu lebih dini,
bahwa tidak ada batas tertinggi untuk kepuasan. Berapa cukup itu, siapa pun
sukar menjawabnya. Hanya diri kita sendiri yang bisa dan harus bilang berhenti
dari segala kesibukan yang berpotensi “merusak” badan itu, bukan orang lain,
atau paksaan siapa pun. Maka kalau saya komit untuk berhenti dari kesibukan
rutin jauh hari sebelum saya telanjur terkepung penyakit akibat tubuh terus
dibawa berlari, itu sama sekali hendaknya tidak diartikan saya sudah merasa
hebat dan amat berkecukupan. Sudah bersyukur bisa cukup hidup layak saja.
Namun tentu untuk tiba sampai ke situ perlu
perencanaan sejak masih berumur 40 tahun. Di situ kelemahan kebanyakan kita,
tidak pernah membuat perencanaan mau diapakan hidup ini sampai akhir hayat.
Saya sudah merancangnya sekurang-kurangnya sebelum saya menuliskan “Ruralisasi”
pertama kali tadi, ketika umur saya belum memasuki 40 tahun.
Umur 40 disebut-sebut masa krisis orang modern,
dan mestinya sudah harus tiba di puncak prestasi. Saya menggenjotnya pada umur
itu. Saya habis-habisan ingin agar nubuat cita-cita saya nantinya betul menjadi
kenyataan. Dan thanks God, sampai hari ini masih sesuai dengan rancangan. Tapi
di mana rumah hari tua saya itu akan saya labuhkan?
Jadi kalau setelah pensiun sekarang saya memenuhi
janji mimpi saya ingin hijrah ke perdesaan, supaya saya tidak dicap ngomong
doang. Saya merencanakan untuk “minggir” ke Bali. Anda bertanya kok Bali? Bila
Tuhan mengizinkan Bali saya jadikan pilihan karena tiga pertimbangan.
Pertimbangan pertama, Bali provinsi paling ayem,
menurut akal dan emosi sehat saya, setidaknya dibanding provinsi lain. Kedua,
secara kultur dan sosial, semua tahu Bali bahkan dikejar orang manca negara
mana saja. Everyday in Bali is holiday. Dan ketiga, di Bali kita masih bisa
bersosialisasi dengan orang asing dari mana-mana, karena Bali menjadi “provinsi
internasional”. Di Bali kita tidak mungkin kesepian secara sosial. Dan yang
juga tak terbeli adalah alamnya.
Sudah lebih lima tahun diam-diam saya mengamati
Bali. Pergaulan saya bukan saja dengan kerabat, fans, dan cengkerama di FB,
serta relasi, terlebih juga dengan para broker properti. Bahwa properti di Bali
gak ada matinya. Lebih dari itu property Bali terus melesat dalam hitungan
tahun saja dibanding provinsi lain. Kondisi saya selalu sukar mengejar laju
kenaikan harga properti Bali karena saya bukan konglomerat.
Awalnya pilihan saya membangun rumah hari tua di
wilayah yang sejuk. Paling ideal di area Bedugul. Selain indah alamnya, sejuk
udaranya, juga tidak hiruk pikuk. Setelah saya dengan susah payah menemukan
sebidang tanah persis di atas danau Buyan, dengan view amat los ke danau Buyan
yang berada di bawah, dan view laut Singaraja (Bali utara) di belakangnya, saya
membayangkan bahwa barangkali benar, itulah surga kecil hari tua saya nanti.
Duduk memandang Buyan, danau yang tenang dan
disucikan masyarakat Bali, hidup seperti sedang ditarik ke masa kecil. Memandang
laut Singaraja di belakang, seakan perjalanan hidup betul memang belum boleh
selesai. Kombinasi panorama ini yang saya harapkan tetap membakar spirit hidup
saya pribadi sampai ujung hayat.
Tapi rencana itu berubah karena teman
seperjalanan dalam hidup kurang menyukai suasana sesepi itu. Hidup memang
begitu. Saya lebih seniman, teman seperjalanan hidup saya lebih pengunjung mal,
maka toleransi saya patut bekerja. Dan saya mengalah. Buat saya di mal saya
bisa hidup, di ketenangan danau saya juga sumringah. Maka rencana rumah hari
tua beralih ke Bali selatan. Tepatnya di Pecatu. Di situ ada pura, ada real
estate selebritis, ada hotel Bulgari termahal di Indonesia (hanya ada dua di
dunia: Itali dan Bali), dan alamnya memang elok.
Saya gemar melihat laut. Melihat laut saya bisa
terangsang menulis sajak. Maka saya sepakat dipilihkan sebidang tanah di situ.
Nun jauh memandang laut lepas pantai Dreamland, ada lima hotel berbintang (Best
Western sudah ada, kabarnya akan dibangun Westin, Raffles Hotel S’pore) golf 18
holes, condotel, RS internasional (kabarnya Mount Elizabeth Hospital S’pore),
rumah jompo orang asing (Jerman), selain café artis Klapa milik Tommy Soeharto.
Lokasinya beberapa kilometer menjelang Pura Uluwatu.
Kendati tanah yang baru rencana akan saya ambil
agak jauh dari gemerlap itu, namun saya membayangkan, yang mewah gemerlap itu
masih bisa saya pandang dari kejauhan. Apalagi semarak cahaya lampu sampai
tepian pantai ketika duduk memandang di malam hari bila rumah hari tua itu jadi
saya ungkap.
Jadi itulah mimpi yang saya rancang sejak puluhan
tahun lalu ihwal bakal bagaimana hari uzur saya nanti. Mungkin saja pilihan itu
tidak tepat menurut Anda, saya tetap ingin minta doa dari Anda, mudah-mudahan
terkabul. Tentu saja budget saya amat terbatas, dan saya sedang nego untuk
mendapatkan bakal lahan rumah hari tua yang di benak saya sudah final itu. Dari
sana saya masih ingin menulis. Juga puisi yang akan saya kirimkan bagi Anda.
Adakah di antara Anda yang tergerak ikut? Siapa tahu benar, pilihan ini selain
berpeluang lebih dipanjangkan umur, juga masih tetap sehat, mengikuti cita-cita
orang di mana-mana dunia.
Dr. HANDRAWAN NADESUL
Sumber: