Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 19 Maret 2011

Jangan Menunda Kebaikan


Bacaan Alkitab: Amsal 3:27-28
Janganlah engkau berkata kepada sesamamu, “Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,”  sedangkan yang diminta ada padamu.
Amsal 3:28

Salah satu “penyakit” dalam kehidupan kita ialah menunda-nunda pekerjaan atau per­buatan. Kita tahu dan sadar, bahwa ada yang harus kita lakukan, namun oleh berbagai alasan, kita tidak langsung melakukannya. Dalam hal ini kita mungkin beranggapan bahwa apa yang perlu kita lakukan itu tidak terlalu penting, atau tidak harus cepat-cepat dilaksanakan. Mungkin juga penundaan itu terjadi semata-mata karena kemalasan kita saja. Kalau perbuatan yang kita tunda itu manfaatnya hanya bagi kepentingan diri kita sendiri saja, barangkali perbuatan menunda itu tidak terlalu bersalah. Kalaupun salah, kita sendiri juga yang menanggungnya. Tetapi, kalau perbuatan itu manfaatnya tertuju bagi kepentingan orang lain yang sangat memerlukannya, maka penundaan itu dapat sangat merugikan orang lain. Oleh sebab itu, kalau kita mampu, hendaknya kita segera atau secepatnya saja memberikan kepada orang yang meminta pertolongan kepada kita.
Lebih dari itu Amsal mengingatkan kita, agar jangan “menahan ke­baikan” terhadap mereka yang “berhak menerimanya”. Artinya, mereka yang dalam kesulitan atau kekurangan itu sebenarnya tidak hanya seka­dar perlu mendapatkan belas kasihan, melainkan juga mempunyai hak untuk memperoleh “kebaikan” kita. Mengapa mereka berhak? Sebab, semua “kebaikan” yang kita miliki itu merupakan berkat pemberian Tuhan, yang harus kita bagikan pula kepada orang lain. Jadi, jangan menunda perbuatan baik. —Pdt. Em. Sutarno.

Kita diberkati Tuhan untuk menjadi berkat bagi sesama!

==========================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jumat, 18 Maret 2011

Bukan Apa, Tetapi Siapa

Bacaan Alkitab: Matius 6:19-24
Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika, ia akan mem­benci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak meng­indahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.
Matius 6:24

Seorang pengusaha sukses suatu ketika berkata, “Sekarang ini semua harta benda dunia yang saya kumpulkan selama ini saya rasa sudah cukup, sekarang saya mau mulai mengumpulkan harta di surga, supaya hidup saya komplet dan seimbang.” Pernyataan seperti ini tentu tidak salah, hanya kurang bijaksana. Sebab kalau itu menjadi sikap hidup, maka orang akan mengumpulkan dahulu sebanyak mungkin harta dunia, se­sudah itu baru memikirkan harta di surga.
Jalan pikiran seperti ini mengandung risiko, beruntung kalau masih punya kesempatan untuk memikirkan keduanya, kalau baru sempat memikirkan yang pertama lalu sudah ke­buru dipanggil Tuhan, apa jadinya? Sesungguhnya kapan saatnya merasa cukup dalam memikirkan yang pertama itu untuk kemudian beralih memikirkan yang kedua.
Sebenarnya yang diajarkan Tuhan Yesus bukan pikiran dikotomis seperti itu. Tetapi justru pikiran yang selalu memadukan keduanya sejak dari mula. Artinya, pakailah kesempatan mencari harta di dunia ini sebagai kesempatan juga untuk mencari harta di surga. Dan pakailah kesempatan menggunakan, menikmati harta dunia ini sebagai kesempatan juga untuk menikmati harta di surga.
Dengan demikian, dalam segala hal itu Tuhanlah yang selalu menjadi tuan. Karena melalui kerja kita (mencari harta) nama-Nya dimuliakan, dan melalui hidup kita (menikmati harta) nama-Nya pun dimuliakan.
Jadi, pilihan dalam hidup ini bukan mana yang lebih diutamakan, harta dunia atau harta surga, pilihannya adalah siapa yang selalu diutamakan dalam hidup ini. —Handoyo.
Dalam hal ini pilihan kita bukan apa yang lebih utama
tetapi siapa yang terutama.

===================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Kamis, 17 Maret 2011

Ketika Khawatir


Bacaan alkitab: Mazmur 55:23
Serahkanlah khawatirmu kepada Tuhan, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lama-nya dibiarkan-nya orang benar itu goyah.
Mazmur 55:23

Semakin tua semakin bijak, begitulah ung-kapan yang sering kita dengar. Salah satu yang menunjukkan seseorang semakin bijak di masa tuanya adalah mampu mengatasi rasa khawatir. Siapakah di antara kita yang tidak pernah merasa khawatir? Dan bagaimanakah kita mengatasi rasa khawatir itu?
Ada banyak di antara kita beranggapan bahwa khawatir itu biasa dan manusiawi sehingga tidak jarang kita menyepelekan rasa khawatir yang datang dalam hidup kita. Pa­dahal rasa khawatir yang kita pelihara terus
pada akhirnya akan menjadi penghalang yang dapat memporak-poran-dakan hidup kita.
Sebagai orang yang telah diselamatkan oleh Allah dan dijadikan keluarga-Nya tidak sepantasnya kita hidup dalam kungkungan rasa kha­watir yang berkelanjutan. “Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34).
Untuk mengatasi rasa khawatir yang melanda hidup kita hen­daklah kita senantiasa bersukacita di dalam pengharapan, bersabar dalam kesesakan, dan bertekun di dalam doa (Roma 12:12). Sebab kita diselamatkan di dalam pengharapan (Roma 8:24). Kecuali itu senantia­salah berpikir positif terhadap segala hal yang kita alami dalam kesehari-an kita. Seperti yang diungkapkan oleh Carol Ann Morrow, “Bukanlah kebetulan bahwa bagian kehidupan ini digambarkan sebagai ‘bertambah tua’. Engkau bisa berfokus pada bertambah atau engkau dapat berfokus pada tua. Bertambah merupakan perubahan dan gerakan aktif. Tua merupakan apa yang terjadi apabila pertumbuhan berhenti.” Darmanto.

Daripada khawatir, kita seharusnya berdoa dan bersyukur.
—Don Colbert

==========================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 16 Maret 2011

Didikan Tuhan = Kuk

Bacaan Alkitab: Amsal 3:11
Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Matius 11:28

Waduh, enak benar, datang saja kepada Yesus, serahkan beban, brukkk! ...legalah su­dah...! Ada banyak orang Kristen menyukai Matius 11:28 yang sangat terkenal itu.
Saya pernah hadir pada sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani, di mana di podium di­pasang ayat ini dengan huruf besar-besar dan mencolok. Kita semua mendambakan ke-legaan setelah menanggung lelah dan beban berat. Tetapi kita agaknya lupa, bahwa kali­mat ini masih disusul kalimat berikut yang tak boleh dipisahkan, yaitu bersedia memikul kuk yang dipasang Yesus, belajar kepada-Nya yang lemah lembut dan rendah hati.
Apa maksud kuk di sini? Kuk adalah kayu yang dipasang di tengkuk lembu untuk membajak sawah. Jadi ketika kita berbeban berat dan kelelahan dalam hidup ini, Yesus menawarkan, “Pikullah kuk Aku...” Artinya, kita hanya bisa melepaskan diri dari perasaan beratnya beban, terutama beban jiwa, dengan cara “bekerja dan berguna bagi Yesus, sang majikan kita”. Untuk itu kita harus belajar kepada-Nya, belajar mema­hami firman-Nya. Kita melaksanakannya dengan kelemahlembutan (bukan dengan pemaksaan) dan dengan rendah hati; artinya siap belajar dari siapa saja, tidak merasa diri lebih. Semua itu semata-mata untuk menyenangkan hati-Nya.
Jadi, untuk mendapatkan kelegaan ketika kita letih lesu, tidaklah den­gan cara: Brukkk! Pasrah Yesus saja! Tuhan menghendaki kita bersedia menerima didikan Tuhan (Amsal 3:11), dengan melakukan apa yang Ia perintahkan. Didikan itu ternyata adalah kuk. —Yahya Wardoyo.

doa: Tuhan, ajarilah hamba-mu tidak hanya berharap berkat-mu,
kelegaan dari-mu, tetapi juga menyiapkan diri bekerja
bagi-Mu, berguna bagi kerajaan-Mu. Amin.


=======================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi


Selasa, 15 Maret 2011

Pak Sarmin Bertobat

Bacaan Alkitab: Kejadian 2:15-17; 3:1-8
Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakan­nya dan diberikannya juga kepada suaminya....
Kejadian 3:6

Pak Sarmin kini menekuni profesinya se­bagai petani dengan pupuk dan obat-obat organik. Ia beralih ke cara ini, bahkan men­jadi penggerak sekelompok petani organik di desanya, setelah memahami dampak buruk penggunaan bahan-bahan kimiawi terha-dap tanah dan tanaman. Dengan bantuan pelatihan dan dorongan pemimpin gereja, ia menyadari pentingnya misi pemulihan tanah dari kerusakan akibat pemakaian bahan-bahan kimiawi, lalu memilih apa yang dijalaninya kini, meskipun sebagian rekannya belum peduli.
Alkitab menunjukkan bahwa manusia pertama mendapatkan penge­tahuan mengenai pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (ayat 16-17). Namun kemudian muncul motivasi yang merusak hubun­gannya dengan sang Pencipta (Kejadian 3:6), dan memilih memakan buah dari pohon tersebut. Manusia jatuh ke dalam dosa karena tidak membangun motivasi yang sejalan dengan perintah Tuhan.
Saat dihadapkan pada suatu tantangan, adalah penting bila kita punya cukup pengetahuan sebagai bahan pertimbangan. Namun itu saja tidak cukup; kita juga perlu membangun motivasi mulia untuk bertindak. Untuk membuahkan manfaat, motivasi harus kita wujudkan dalam tindakan. Dalam ketiga hal ini kita sungguh memerlukan kehadiran dan pertolonganTuhan. Terkadang kita mendapatkan pengetahuan yang salah atau tidak cukup, membangun motivasi dan mengambil tindakan yang keliru. Marilah kita mohon pertolongan Tuhan, Sang Sumber Penge­tahuan dan Pembimbing: pengetahuan, kemauan dan kemampuan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, seperti dicontohkan oleh Pak Sarmin, petani yang telah bertobat! —Ocky Sundari.

Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan, semua orang yang
melakukannya berakal budi yang baik.... —Mazmur 111:10



========================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 14 Maret 2011

Di Samping Tua Dan Muda

Bacaan Alkitab: 1 Raja-raja 12:1-11
Jika hari ini engkau mau menjadi hamba rakyat, mau mengabdi kepada mereka... maka mereka menjadi hamba-hambamu sepanjang waktu.
1 Raja-raja 12:7

Apa yang dilakukan oleh seorang asing bila ia tiba di sebuah persimpangan dengan banyak jalan? Ia bisa bertanya atau mencoba tetap berjalan walaupun salah. Kalau ia me­nyadari di jalan salah, maka ia akan kembali mencari jalan yang benar.
Ketika terjadi perebutan kekuasaan di Israel antara Rehabeam, anak Raja Salomo dan Yerobeam, maka Rehabeam meminta nasihat para tua-tua dan nasihat dari orang-orang muda. Rehabeam ternyata memilih mendengar nasihat dari yang muda-muda. Salahkah ia? Tidak! Yang salah bukan mudanya tetapi isi nasihatnya.
Bagaimana kita menempatkan diri agar di hari tua menjadi penasihat bagi banyak orang?
Tanamkanlah cinta kasih kepada semua orang. Apa pun masalah­nya mengedepankan cinta kasih dari Tuhan akan lebih bijak daripada mengobarkan semangat bermusuhan antara seorang dengan yang lain. Rehabeam dinasihati agar mencintai rakyatnya kalau ia berkeinginan menjadi raja. Sayang ide yang bijak ini di tolaknya.
Ajarkan kerendahan hati sebagai modal mencintai dan dicintai. Nasihat dari para tua-tua yang mengajarkan kerendahan hati kepada Rehabeam ternyata ditolak. Hidup menghamba memang tidak disukai padahal cara ini justru akan mendekatkan diri kita kepada semua orang. Jangan lupa untuk mengajarkan kerendahan hati kepada siapa saja.
Tetaplah menjaga kualitas hidup walaupun tua. Ketika diminta Rehabeam untuk memberikan nasihat, ternyata kualitas nasihat para tua-tua tidak berkurang sedikit pun. Sebuah keteladanan yang harus kita tiru yakni tetap berkualitas walaupun umur menjadi tua. —Pdt.Em. Andreas Gunawan Pr.

Ada yang masih berharga di hari tua yaitu bila kita bisa menjaga kualitas hidup dan memberi nasihat yang bijaksana kepada siapa saja.



=======================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Ruralisasi

Tayang: Sabtu, 27 Februari 2010 · Kometar:Belum Ada 
Tahun 80-an saya menulis topik ini di Harian Sinar Harapan. Judul begini Anda tidak menemukannya di media massa mana pun. Mungkin ini akal-akalan saya supaya memikat perhatian pembaca saja. Namun dari lubuk hati, itulah sebetulnya cita-cita hari tua saya semenjak ketika umur saya belum tua. Apakah maknanya bagi Anda?
KAITANNYA masih supaya bukan saja berupaya agar umur bisa direntang lebih mengulur, melainkan juga agar masih tetap sehat. Kita tahu cita-cita orang di dunia kiwari, selain mengumpulkan potensi dan peluang agar panjang umur, juga masih tetap sehat. Kita menyebutnya sebagai tujuan hidup menuju healthy aging, sudah tua masih sehat.
Semua orang di dunia menyimpan cita-cita itu. Karena orang paling kaya di dunia itu bukan konglomerat atau hartawan, melainkan orang sehat. Cita-cita menjadi tetap sehat terdengar sederhana, namun tak mudah menempuhnya.
Pertama, karena tidak setiap orang punya investasi kesehatan yang seratus persen utuh sejak lahir. Kedua, yang punya modal sehat, namun sayang tidak mau menjalani hidup sehat. Tahu makanan lezat itu jahat, tapi masih rakus juga, misalnya. Jauh lebih banyak orang yang tidak tahu caranya sehat.
Pertanyaannya bagaimana agar tetap sehat? Proses menua tentu tidak mungkin dihentikan. Yang bisa kita lakukan hanya memperlambannya saja. Untuk itu perlu sejumlah kiat. Selain pola dan gaya hidup sehat dikuasai, tulus dan tekun pula melakoni. Dan kuncinya cuma empat. Hidup tertib terjadwal, makan selektif, rajin rutin bergerak badan, dan seimbang dunia-akhirat.
Tentu saja menjabarkan empat kunci itu perlu bicara lebih empat jam sampai berbusa, kalau itu lewat seminar. Perlu pula berulang-ulang membaca buku kesehatan terkait dengan itu. Celakanya, memahami seluruh kitab sejenis itu saja pun tidak cukup, kalau masih bersikap memilih ke dukun kalau didiagnosis kanker.
Sudah tulus dan tekun menjalani pola dan gaya hidup sehat memasuki umur yang semakin ranum, buat mata medik agaknya belum lengkap, jika masih ikut berdesak-desakan di kota besar. Menurut paham saya, yang sudah uzur perlu tahu diri.
Tahu diri bukan saja demi orang lain, melainkan juga buat kepentingan pribadi juga. Hidup di kota besar bagi yang sudah uzur makin tidak menyehatkan karena tiga hal. Irama hidup kota besar sudah tak cocok lagi dengan umur yang makin uzur. Oleh karena usia, tidak lagi bisa hidup “ngebut” berirama cha-cha-cha. Saatnya memilih irama waltz. Maka hendaknya menjelang opa-oma tidak lagi memilih tinggal di kota, apalagi kota besar. Jadi saatnya “minggir” ke daerah perdesaan.

“Minggir”

Ya, ungkapan “minggir” itulah yang saya carikan padanannya dengan “ruralisasi” atau hijrah ke perdesaan, lawan kata urbanisasi. Namun tentu tak sekadar pindah sosok belaka, melainkan pindah segalanya. Tiga keuntungan usia lanjut “minggir” ke perdesaan.
Selain irama hidup tadi yang lebih bersesuaian dengan umur yang makin uzur, tidak dikejar-kejar oleh kelompok masyarakat yang lebih belia ketika di mal, jalanan, antre bioskop, atau bergelak-gelak di tempat-tempat umum.
Harus diingat, ada stres tersendiri ketika yang sudah lebih lemah, lebih kendo, lebih alon, masih saja bersinggungan dengan yang lebih gesit, tergesa-gesa, dan kemudian terjebak dalam gerak hidup yang ingar-bingar. Maka bukan di situ wilayah keseharian bagi yang uzur.
Secara geografis perdesaan lebih nyaman. Ketika paru-paru makin susut dengan bertambahnya umur, daya tangkap oksigen juga kian mengendur. Padahal udara di kota lebih tipis dan sudah menjadi gado-gado dengan gas buang yang tak menyehatkan itu.
Paru-paru sudah uzur menyedot oksigen yang tipis plus aneka gas, jelas tidak makin menyehatkan. Udara desa lebih bersih dan segar, tebal pula kandungan oksigennya. Oksigen makanan pokok bagi bugarnya sel-sel tubuh. Sumbangan bagi tetap bugarnya seluruh sel tubuh.
Minum air kendi sekarang barang mewah. Selain air utuh alami, bebas dari cemaran, itulah air kehidupan sesungguhnya. Orang sekarang kian sukar memperoleh spring water, dan dunia menyuguhkannya mineral water, air buatan yang direka-reka belum tentu sesuai sepenuh kebutuhan tubuh.
Keuntungan lain memilih tinggal bukan di kota, secara sosial, kultur, dan filosofi, di Indonesia, perdesaan lebih cocok bagi yang sudah penuh muatan asam-garamnya, demi berpeluang memetik umur panjang. Bukan saja sumber pangan dan minum yang lebih sehat dari bumi perdesaan, budaya tepa selira, baku sapa, dan tiada hari tanpa holiday bila memilih hidup di perdesaan itulah kado istimewa bagi yang mudanya terkuras tak henti bekerja.
Makna “minggir” sejatinya bukan untuk duduk termangu ongkang-ongkang kaki, melainkan tetap menyibukkan diri dengan aneka kegiatan, dengan dua syarat. Pertama, sesuai dengan potensi pengalaman hidup, dan kedua, senang melakukannya. Para mantan pejabat tetap bisa menyumbangkan pengalaman praktik sesuai bidangnya bagi masyarakat desa. Orang di perdesaan memetik manfaat yang dibutuhkannya.
Jadi “minggir” berarti bukan hanya memindahkan secara geografis segala aktivitas yang mestinya tidak boleh dihentikan. Hanya apabila masih mau tetap aktif, umur bisa diulur lebih merentang panjang. Bukannya di kursi malas. Tukar kursi malas dengan sepatu olahraga.
Jangan lupa, faktor stres acap kita anggap sepele. Padahal stres lebih besar perannya bikin hidup tidak lagi panjang. Separo isi resep dokter sekarang lebih berisi obat penenang selain obat tidur, lantaran orang sekarang terjebak dalam lingkaran stres yang jahat (malstress).
Studi Boeing memperlihatkan, mereka yang pensiun lebih awal saat berumur 55 tahun, menyimpan harapan hidup bisa sampai 80-an tahun. Sebaliknya bila baru pensiun setelah berumur 65 tahun, harapan hidupnya hanya tersisa 2 tahun saja. Bukti betapa kejamnya faktor stres ketika masih tetap aktif kerja buat mengejar take home pay.

Mimpi rumah hari tua view laut

Setelah saya kaji kembali apa yang menjadi mimpi saya itu, terkait dengan apa yang saya ketahui sehubungan dengan kehidupan medik, agaknya masih relevan, kalau bukan lebih relevan untuk dipilih sekarang ini.
Waktu tahun 80-an saya acap keliling kota kecil kalau sedang liburan bersama anak yang ketika itu masih kecil. Saya menikmati betul kehidupan kota kecil dan perdesaan. Hemat saya, itulah kehidupan sejatinya. Waktu itu banyak pejabat maupun mantan pejabat yang membeli tanah di daerah, entah untuk investasi ataukah memang buat rumah hari tua.
Tapi barang tentu tidak siapa saja siap untuk “minggir”. Sebagian lantaran belum merancangnya, dan yang lain masih “ngoyo”. Dosen dan guru saya masih tetap berpraktik sampai uzur. Kerabat saya bingung, sore hari saya sudah santai di rumah jauh hari sebelum saya mendapat pensiun PNS.
Sekarang saya renungkan, ternyata saya tidak keliru. Sejumlah sejawat, guru, yang dirinya memahami betul bagaimana menyembuhkan dan menyehatkan orang lain, ternyata mati prematur. Bisa jadi lantaran hidupnya kelewat letih. Praktik sampai malam, kendati dengan hati senang, tapi mesin tubuh sudah kendur tak mungkin bisa diajak berlari terus.
Saya kebetulan menginsafi hal itu lebih dini, bahwa tidak ada batas tertinggi untuk kepuasan. Berapa cukup itu, siapa pun sukar menjawabnya. Hanya diri kita sendiri yang bisa dan harus bilang berhenti dari segala kesibukan yang berpotensi “merusak” badan itu, bukan orang lain, atau paksaan siapa pun. Maka kalau saya komit untuk berhenti dari kesibukan rutin jauh hari sebelum saya telanjur terkepung penyakit akibat tubuh terus dibawa berlari, itu sama sekali hendaknya tidak diartikan saya sudah merasa hebat dan amat berkecukupan. Sudah bersyukur bisa cukup hidup layak saja.
Namun tentu untuk tiba sampai ke situ perlu perencanaan sejak masih berumur 40 tahun. Di situ kelemahan kebanyakan kita, tidak pernah membuat perencanaan mau diapakan hidup ini sampai akhir hayat. Saya sudah merancangnya sekurang-kurangnya sebelum saya menuliskan “Ruralisasi” pertama kali tadi, ketika umur saya belum memasuki 40 tahun.
Umur 40 disebut-sebut masa krisis orang modern, dan mestinya sudah harus tiba di puncak prestasi. Saya menggenjotnya pada umur itu. Saya habis-habisan ingin agar nubuat cita-cita saya nantinya betul menjadi kenyataan. Dan thanks God, sampai hari ini masih sesuai dengan rancangan. Tapi di mana rumah hari tua saya itu akan saya labuhkan?
Jadi kalau setelah pensiun sekarang saya memenuhi janji mimpi saya ingin hijrah ke perdesaan, supaya saya tidak dicap ngomong doang. Saya merencanakan untuk “minggir” ke Bali. Anda bertanya kok Bali? Bila Tuhan mengizinkan Bali saya jadikan pilihan karena tiga pertimbangan.
Pertimbangan pertama, Bali provinsi paling ayem, menurut akal dan emosi sehat saya, setidaknya dibanding provinsi lain. Kedua, secara kultur dan sosial, semua tahu Bali bahkan dikejar orang manca negara mana saja. Everyday in Bali is holiday. Dan ketiga, di Bali kita masih bisa bersosialisasi dengan orang asing dari mana-mana, karena Bali menjadi “provinsi internasional”. Di Bali kita tidak mungkin kesepian secara sosial. Dan yang juga tak terbeli adalah alamnya.
Sudah lebih lima tahun diam-diam saya mengamati Bali. Pergaulan saya bukan saja dengan kerabat, fans, dan cengkerama di FB, serta relasi, terlebih juga dengan para broker properti. Bahwa properti di Bali gak ada matinya. Lebih dari itu property Bali terus melesat dalam hitungan tahun saja dibanding provinsi lain. Kondisi saya selalu sukar mengejar laju kenaikan harga properti Bali karena saya bukan konglomerat.
Awalnya pilihan saya membangun rumah hari tua di wilayah yang sejuk. Paling ideal di area Bedugul. Selain indah alamnya, sejuk udaranya, juga tidak hiruk pikuk. Setelah saya dengan susah payah menemukan sebidang tanah persis di atas danau Buyan, dengan view amat los ke danau Buyan yang berada di bawah, dan view laut Singaraja (Bali utara) di belakangnya, saya membayangkan bahwa barangkali benar, itulah surga kecil hari tua saya nanti.
Duduk memandang Buyan, danau yang tenang dan disucikan masyarakat Bali, hidup seperti sedang ditarik ke masa kecil. Memandang laut Singaraja di belakang, seakan perjalanan hidup betul memang belum boleh selesai. Kombinasi panorama ini yang saya harapkan tetap membakar spirit hidup saya pribadi sampai ujung hayat.
Tapi rencana itu berubah karena teman seperjalanan dalam hidup kurang menyukai suasana sesepi itu. Hidup memang begitu. Saya lebih seniman, teman seperjalanan hidup saya lebih pengunjung mal, maka toleransi saya patut bekerja. Dan saya mengalah. Buat saya di mal saya bisa hidup, di ketenangan danau saya juga sumringah. Maka rencana rumah hari tua beralih ke Bali selatan. Tepatnya di Pecatu. Di situ ada pura, ada real estate selebritis, ada hotel Bulgari termahal di Indonesia (hanya ada dua di dunia: Itali dan Bali), dan alamnya memang elok.
Saya gemar melihat laut. Melihat laut saya bisa terangsang menulis sajak. Maka saya sepakat dipilihkan sebidang tanah di situ. Nun jauh memandang laut lepas pantai Dreamland, ada lima hotel berbintang (Best Western sudah ada, kabarnya akan dibangun Westin, Raffles Hotel S’pore) golf 18 holes, condotel, RS internasional (kabarnya Mount Elizabeth Hospital S’pore), rumah jompo orang asing (Jerman), selain café artis Klapa milik Tommy Soeharto. Lokasinya beberapa kilometer menjelang Pura Uluwatu.
Kendati tanah yang baru rencana akan saya ambil agak jauh dari gemerlap itu, namun saya membayangkan, yang mewah gemerlap itu masih bisa saya pandang dari kejauhan. Apalagi semarak cahaya lampu sampai tepian pantai ketika duduk memandang di malam hari bila rumah hari tua itu jadi saya ungkap.
Jadi itulah mimpi yang saya rancang sejak puluhan tahun lalu ihwal bakal bagaimana hari uzur saya nanti. Mungkin saja pilihan itu tidak tepat menurut Anda, saya tetap ingin minta doa dari Anda, mudah-mudahan terkabul. Tentu saja budget saya amat terbatas, dan saya sedang nego untuk mendapatkan bakal lahan rumah hari tua yang di benak saya sudah final itu. Dari sana saya masih ingin menulis. Juga puisi yang akan saya kirimkan bagi Anda. Adakah di antara Anda yang tergerak ikut? Siapa tahu benar, pilihan ini selain berpeluang lebih dipanjangkan umur, juga masih tetap sehat, mengikuti cita-cita orang di mana-mana dunia.
Dr. HANDRAWAN NADESUL
Sumber:

Minggu, 13 Maret 2011

Memilih Berubah

Bacaan Alkitab: Roma 12:1-2
...tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Roma 12:2

Dalam banyak pengalaman tidak jarang kita berada dalam suatu situasi terjepit. Misalnya di lingkungan RT dalam pergaulan sehari-hari kita bertemu dengan orang-orang yang sukanya selalu menggosip. Kita ingin melakukan yang baik dan benar dan tidak ikut menggosip, namun kita justru dicemooh oleh lingkungan sekitar, karena kita berlagak sok alim. Sehingga tak jarang kita pun hanya mau melakukan apa yang kebanyakan orang lakukan.
Pertanyaan kepada kita hari ini, mengapa orang tidak melakukan apa yang mereka ketahui benar? Jawabnya, sederhana saja: orang tidak melakukan apa yang mereka ketahui benar dan baik, karena mereka tidak memiliki alasan kuat untuk melakukannya. Bukankah ketika kita sehat kita tidak punya alasan yang kuat untuk berolahraga? Bukankah ketika kita serba kecukupan, kita selalu merasa bahwa pola hidup royal itu adalah hal yang wajar, kita merasa tidak perlu melakukan perubahan? Ini disebut “Ilusi Perubahan” yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan yang masuk akal untuk perubahan adalah ketika terjadi krisis. Padahal, perubahan yang terjadi karena krisis pasti terasa menyakitkan, membutuhkan biaya besar, dan sering sudah terlam­bat. Bukankah perubahan mestinya adalah sesuatu yang kita “haruskan” kepada diri kita sendiri, bukannya menunggu hal itu “diharuskan” oleh situasi, keadaan, dan lingkungan? Rasul Paulus, mengingatkan kita agar perubahan itu kita mau lakukan dari dalam budi, dari dalam hati nurani, dari dalam kesadaran moral kita sebagai manusia. —Pdt. Ifer Fr. Sirima.

Doa: Ya Bapa, terima kasih jika kesadaran untuk mau berubah, tumbuh
dalam hati kami. Tuntunlah kami agar bisa membedakan mana yang baik dan benar, dan mana yang tidak berkenan di hadirat-Mu. Amin.


========================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jangan Serong!

Bacaan Alkitab: Amsal 11:1-6
Orang jujur dipimpin oleh ketulusannya...
Amsal 11:3


Neraca yang serong adalah kekejian bagi Tuhan!” Kalimat pembuka Amsal 11 ini ditulis cukup tegas dan keras oleh Salomo. Allah menghendaki neraca yang benar, di mana batu timbangan berada di posisi yang tepat. Tidak lebih, tak juga kurang. Mata neraca tepat di titik yang benar! Kebenaran ini sekaligus menjadi neraca bagi Tuhan da-lam mengukur kejujuran.
Jujur artinya steril dari tipu muslihat. Jujur itu hampa siasat. Tidak memelihara kefasikan. Tidak menyembunyikan kecurangan. Jujur itu seiring dengan ketulusan, persis seperti kata Salomo, “Orang jujur dipimpin oleh ketulusannya” (ayat 3). Ini pula yang menjadi kerinduan Daud, agar “ketulusan dan kejujuran senantiasa mengawal dirinya” (Mazmur 25:21). Ketulusan akan mengalirkan kejujuran, karena orang yang tulus tidak mereka-reka kebenaran, dengan sendirinya orang yang tulus itu jujur adanya. Ketulusan itu steril dari dusta, karena orang yang tulus akan melawan kemunafikan, dengan sendirinya ketulusan itu mengaruskan kejujuran.
Namun kejujuran tidak untuk dipamerkan! Tidak untuk diteriak-teriakkan! Jujur lebih sering memilih diam. Diam yang tak lapuk oleh dusta, yang tak gentar oleh khianat. Bahwa berhati jujur, berkata jujur, bertindak jujur itu sama benarnya dengan diam yang jujur. Percayalah, Tuhan pasti senang kepada orang-orang yang dengan tulus mem­persembahkan kejujurannya saat melayani-Nya. Jadi, bersihkanlah hati kita dari dusta, niscaya kejujuran akan menyelimuti diri kita. Jangan serongkan kebenaran di hadapan siapa pun juga, terlebih saat melayani Tuhan. —Agus Santosa.

Bila taufan melanda, lenyaplah orang fasik, tetapi orang
benar adalah alas yang abadi. —Amsal 10:25