Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Kamis, 01 Desember 2011

Mulailah dari Diri Sendiri


Baca: Roma 12:2
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pem­baharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berke­nan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 12:2).
Dua orang anak laki-laki kecil bersauda­ra bertengkar sepanjang hari. Ayah mereka telah berkali-kali melerai dan mem­peringatkan keduanya. Namun mereka tetap saja bertikai. Akhirnya si ayah memarahi anak sulungnya, tetapi si sulung membela diri dengan berkata, “Adik begitu kasar dan kurang ajar terhadapku.” Malam itu mereka bertiga berlutut berdoa di sisi tempat tidur. Setelah selesai, ternyata si sulung masih terus berdoa dengan tenang. Ayahnya pena­saran. Setelah dilihatnya si sulung selesai berdoa, dia bertanya apa yang telah dia doakan dalam doa sendirian itu. Si sulung menjawab “Oh, aku hanya mohon kepada Tuhan agar adik menjadi anak yang lebih baik.”
Bukankah jawaban si sulung dalam ilustrasi Bruno Hagspiel di atas juga biasa kita temui di sekitar kita? Banyak kali orang juga bersikap dan bertindak seperti si sulung. Orang selalu menginginkan orang lain yang berubah, bukan dirinya. Ketika orang diminta berubah, dengan cepat ia mengerenyitkan kening, seraya berkata dengan nada tak senang, “Aku? Berubah? Dia yang seharusnya berubah, bukan aku.”
Kita juga sering mengharapkan orang lain yang berubah, bukan kita. Kita menolak untuk berubah. Kita tidak mau meminta maaf terlebih dahulu, apalagi jika jelas-jelas hal itu bukan salah kita. Kita juga tidak bersedia mengampuni.
Merubah orang lain sesungguhnya jauh lebih sulit ketimbang merubah diri sendiri. Paulus mengingatkan kita agar tidak seperti dunia melainkan bersedia berubah untuk melakukan kehendak Allah. –Liana Poedjihastuti

Dibutuhkan kebesaran hati untuk bersedia berubah demi kebaikan orang lain atau situasi.

Rabu, 30 November 2011

Mimpi atau Fakta?


Kejadian 41:14-16
Yusuf menyahut Firaun: ”Bukan sekali-kali aku, melainkan Allah juga akan memberitakan kesejahte-raan kepada tuanku Firaun.” (Kejadian 41:16).
Kalimat damai sejahtera sering dipakai dalam pernyataan seperti berikut ini. “Setelah masalah itu selesai, saya benar-benar merasakan damai sejahtera di hati saya.“ atau “Saya merasa tidak ada damai sejahtera di tempat saya bekerja.”
Ketika Yusuf diminta Firaun untuk menafsirkan mimpinya, Yusuf berkata bahwa bukan dirinya yang akan membawa berita damai kepada Riraun, melainkan Allah.
Hanya Allah yang dapat memberi kedamaian. Hati Firaun gundah selama belum ada orang yang bisa dengan tepat menafsirkan mimpinya. Yusuf mendapat kesempatan untuk menafsirkan mimpi Firaun, tetapi ia tetap berkata bahwa hanya Allah yang bisa memberi damai kepada Firaun terkait mimpinya. Bagi Firaun, damai menjadi impian, bagi Yusuf damai adalah anugerah Allah semata. Adakah hati kita mengalami damai sejahtera dari Allah sehingga bisa menjadi pembawa damai bagi orang lain? Kalau belum, cobalah cari yang menjadi kendalanya.
Bagi orang percaya, damai dari Allah adalah kenyataan. Yesus berkata: ”Damai sejahtera-Ku, Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Jan­ganlah gelisah dan gentar hatimu.“ (Yohanes 14:27).
Damai dari Allah bukan perasaan, tapi kenyataan yang melingkupi hati kita. Apapun yang terjadi, Allah akan mengawal dengan damai seperti kata Yusuf kepada Firaun. Seburuk apapun mimpi Firaun, Allah akan memberitahukan dalam damai sejahtera-Nya. Damai sejahtera- Nya yang kita terima mempersiapkan kita untuk menjadi pembawa damai. – Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr

Damai dalam badai menjadi awal bagi pembawa damai yang sejati karena Al­lah yang hadir dalam masalah membuat kita kaya dengan kesaksian.

Selasa, 29 November 2011

Hari Esok atau Kini?


Baca: Pengkotbah 9:10
Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertim­bangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi (Pengkotbah 9:10).

Semasa kecil, saya sering membayang­kan hari esok adalah hari yang cerah. Akan ada matahari yang membangunkan fajar, dan membawa harapan bagi manusia menyambut hari baru. Itu yang membuat saya berpandangan “masih ada hari esok.” Selesai ujian di sekolah adalah saat bersenang senang karena masih ada hari esok. Selesai melakukan tugas yang dituntut pekerjaan, saatnya bersantai ria karena masih ada hari esok. Selain memperkecil stres karena tidak mau diperbudak oleh tuntutan pekerjaan dan belajar sekarang, “masih ada hari esok” akan sedikit meredakan ketegangan syaraf yang memacu adrenalin. Walaupun secara jujur masa depan juga bikin deg-degan, karena penuh dengan ketidakpastian, tapi sering orang menunda pe­kerjaan, karena masih ada hari esok yang akan datang.
Setelah menjalani pengalaman selama lima puluh tahun, dan kenyang dengan asam garam dunia, saya menyadari, hari esok dan menunda pekerjaan yang semestinya dilakukan bukan sikap bijaksana. Apalagi berdalih membenarkan diri: “masih ada hari esok.” Jadikan hari ini menjadi hari yang bermakna karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok, tentang diri saya, apakah saya masih bernafas atau sudah terbujur kaku, karena nyawa manusia berada di tangan Tuhan. Jangan berlagak sekarang masih sehat, kuat dan prima. Siap sedialah untuk hari ini, kerjakan yang dimandatkan kepada kita untuk kita selesaikan. Benar kata pengkobah, apa yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan kerjakan sekuat tenaga, jangan menunda- nunda.
– Pdt. Agus Wiyanto

Jangan tunda apa yang Anda bisa kerjakan hari ini.

Senin, 28 November 2011

Meluap


Baca: Filipi 4:1-7
Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Filipi 4:7).

Nas di atas adalah ucapan berkat yang sering kita terima dalam kebaktian Minggu. Seringkali ucapan berkat yang disampaikan oleh pengkhotbah dari mim­bar, dianggap sebagai penutup dari sebuah ibadah sehingga orang kurang menyimak isi dari berkat itu. Padahal, ucapan berkat yang disampaikan di akhir ibadah justru meru­pakan awal dari sebuah peziarahan iman memasuki ibadah yang sesungguhnya yaitu mempersembahkan hidup kepada Allah (Roma 12:1). Hidup yang akal budinya diubahkan, sehingga orang dapat membedakan apa kehendak Allah dan yang berkenan kepadaNya.
Itulah ibadah yang sesungguhnya! Membawa dan menjadikan damai sejahtera itu merasuki hati dan pikiran kita. Damai sejahtera karena mengalami perjumpaan dengan Kristus. Merasakan sentuhan kasih- Nya, menerima penghiburan dan berkat-berkat-Nya yang melampaui segala akal.
Dipenuhi oleh damai sejahtera Kristus, menjadikan hidup kita se-perti gelas yang dituangi air sampai penuh melimpah. Kita tak mampu membendung limpahan damai sejahtera yang Kristus berikan hanya untuk diri kita sendiri. Damai sejahtera itu akan menguasai hati dan pikiran kita sehingga yang ada hanyalah dorongan untuk berbagi ten­tang ketakjuban mengalami Yesus, menjadi kesaksian lewat penuturan, kepedulian kepada orang-orang yang menderita dan bersukacita dengan orang-orang yang bersyukur. Sebab sasaran akhir dari ibadahnya adalah keluar, pergi membagi dan memberitakan Kristus kepada setiap hati yang merana, berduka, dan kepada dunia yang kehilangan damai (Yakobus 1:27) – Pdt. Meyske S. Tungka

Dalam diri orang yang mengalami damai, ibadah di gedung gereja tak lagi menjadi tujuan akhir, tetapi tempat sementara untuk mengalami kekuatan baru melanjutkan peziarahan imannya.