Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 24 Maret 2012

Penyesalan yang Sia-Sia


Baca: Matius 27:3-5
Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, me­nyesallah ia. (Matius 27:3a)
Menyesal adalah sikap dan perbuatan yang diambil sebagai akibat dari kesadaran akan kekeliruan atau kesalahan yang sudah dilakukan. Menyesal dapat pula muncul karena kekecewaan, sebab mengang­gap apa yang telah dilakukan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, menyesal pada dasarnya merupakan sikap dan perbuatan yang baik. Meskipun demiki­an, penyesalan ternyata tidak selalu men­datangkan hal yang baik. Yudas menyesal, karena perbuatannya “menjual” Yesus yang diketahuinya tidak bersalah, telah menyebabkan Dia dijatuhi hukuman mati. Tetapi sayang, penyesalan Yudas itu mengakibatkan ia bunuh diri. Dengan demikian, penyesalannya tidak membuahkan perbuatan yang sifatnya positif melainkan negatif, sebab tidak diikuti dengan pertobatan, yaitu upaya untuk memperbaiki diri.
Betapa pentingnya arti pertobatan itu terungkap dalam firman Tu­han Yesus yang menegaskan bahwa “Akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat.” (Lukas 15:7a). Dengan demikian, penyesalan yang dikehendaki Tuhan ialah penyesalan yang membawa orang ke pertobatan, yaitu mengubah secara radikal perilaku yang keliru ke arah yang benar, dari ketidak-mauan untuk menaati Allah ke kerinduan menuruti perintah-perintah-Nya, dari dosa ke keku­dusan. Sebab, pertobatan adalah jalan keselamatan yang disediakan Tuhan untuk mendapatkan keselamatan. Sedang Tuhan menghendaki keselamatan orang-orang yang dikasihi-Nya. –Pdt. Em. Sutarno

Penyesalan tanpa pertobatan tidak akan mendatangkan perubahan ke arah perbaikan

Kamis, 22 Maret 2012

Hatiku Adalah Rumah Tuhan


Baca: Yohanes 14 : 23
Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa- Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia. 
(Yohanes 14 : 23 ).
Pada waktu pertama kali saya datang di Ambon, saya memperhatikan beberapa orang tua di sana termasuk mertua saya, mereka selalu membersihkan dan merapikan rumah pada malam hari sebelum tidur. Konon kata mertua saya: ”Rumah harus tetap bersih dan rapi, kami tidak tahu kalau Tuhan akan datang sebelum pagi, sebelum kami bangun, pasti Dia tidak suka melihat rumah yang kotor dan acak-acakan”. Terlebih lagi pada event-event yang penting seperti mendekati hari Natal, Paskah, bahkan perjamuan Kudus, Anda bisa melihat rumah-rumah dicat baru, toko-toko kain ramai dikunjungi pembeli orang-orang Kristen untuk membeli kain jendela (curtain) atau kain pintu yang baru.
Yang lebih menarik lagi adalah pakaian baru dengan pilihan warna yang disesuaikan untuk duduk dalam perjamuan Kudus, teristimewa pada Paskah. Wanita-wanita muda yang sudah diperbolehkan mengambil bagian dalam perjamuan Kudus sibuk mencari kain dengan warna yang cocok untuk event tersebut.
Ya memang, rumah yang selalu rapi dan bersih, berpakaian rapi, untuk menyambut kemuliaan Tuhan adalah suatu aspirasi yang baik. Tetapi akhirnya saya mengerti bahwa bukan rumah tempat tinggal kita yang dimaksud Tuhan tetapi HATI kita. Dalam kitab Yohanes 14:21, kita membaca dua cara untuk menjadikan hati kita sebagai rumah Bapa, yaitu mengasihi Tuhan dan mentaati segala ajaran-Nya dan memberlaku­kannya dalam kehidupan kita. Dengan taat akan ajaran Tuhan kita mengasihi-Nya, yang berarti kita sudah menyiapkan rumah untuk Tuhan, yaitu HATI kita, apabila Tuhan datang setiap waktu. Sudah­kah Anda membersihkan hati Anda dari segala kesombongan, kebencian, atau prasangka terhadap teman atau orang lain? –Irene Talakua

Mampukan kami Bapa untuk menyediakan hati yang bersih dari kesombong-an, kebencian, dan prasangka terhadap siapa saja sehingga hati kami boleh menjadi rumah yang layak untuk Bapa tinggal.

Rabu, 21 Maret 2012

Seberapa Jauh


Baca : Roma 10:4-15
Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan dise­lamatkan. (Roma 10:10).
Apa yang disampaikan rasul Paulus ke­pada jemaat di Roma dalam bacaan kita menarik untuk diperhatikan. Siapa tahu, pesannya cocok juga buat kita di sini dan hari ini.
Pertama, pesannya adalah bahwa dalam zaman Hukum Taurat dulu manusia dibe-narkan karena melakukan Hukum Taurat. Tapi, dalam zaman Kristus sekarang ini, karena sudah ternyata Kristuslah satu-satu-nya yang sanggup memenuhi Hukum Taurat, maka sekarang manusia dibenarkan karena beriman kepada Kristus. Inilah “Hukum Baru.” Sebuah kabar sukacita.
Kedua, Paulus menjelaskan tentang apa itu beriman. Beriman adalah mengaku dengan mulut, dan percaya dengan hati. Antara keduanya haruslah menyatu.
Ketiga, Paulus menegaskan bahwa “Hukum Baru” tadi berlaku buat semua orang tanpa pandang bulu. Namun, kabar sukacita dari “Hukum Baru” itu baru akan sampai ke telinga semua orang bilamana mereka yang sudah mendengarnya kemudian meneruskannya. Maka mereka yang meneruskan kabar sukacita itu akan disebut pembawa kabar baik (Roma 10:15) Dan, para pembawa kabar baik ini adalah mereka yang beriman dengan benar : mengaku dengan mulut, percaya dengan hati.
Jadi, mestinya seperti itulah semua orang Kristen. Antara mulut dan hatinya satu dalam laku. Apakah kenyataannya sudah seperti itu? Se-sungguhnya, secara fisik antara mulut dan hati itu jaraknya tak lebih dari sejengkal. Tapi dalam kenyataannya acap kali jaraknya teramat jauh. Sebab sering mulut berkata A, tapi sebenarnya hati berkata B. Sehingga yang dikatakan tidak dilakukan, yang dilakuklan bukan yang dikatakan. Yang seperti ini bukanlah pembawa kabar baik. –Handoyo

Agar setiap kita bisa menjadi pembawa kabar baik, marilah kita bertanya : seberapa jauhkah jarak antara mulut dan hati kita?

Selasa, 20 Maret 2012

Hati-Hati Dengan Hati


Baca: Matius 15:11-20
Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, per­cabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. 
(Matius 15:19)
Di dalam upaya manusia untuk “tampil bersih” di hadapan Tuhan, tak jarang ada yang melakukannya dengan berupaya maksimal membersihkan fisik/ jasmaninya. Ibaratnya sampai merasa perlu mandi dan keramas di tujuh sumur. Atau pantang makan dan minum yang bisa menajiskan tubuh, dan sebagainya.
Untuk kebersihan secara fisik, semua tadi oke saja. Tapi, bukankah di hadapan Tuhan manusia itu dilihat justru bukan tampilan fisiknya. Oleh sebab itu, pernah suatu ketika Tuhan Yesus mengecam orang-orang yang bibirnya memuliakan Allah, padahal hatinya jauh dari Allah. (Matius 15:18) Dan isi kecaman ini sebenarnya dikutip dari teguran yang pernah disampaikan nabi Yesaya sekian abad sebelumnya (Yesaya 29:13).
Maka, kalau hari ini, di abad XXI ini masih ada pula manusia yang berperilaku sama seperti yang ditegur Tuhan Yesus maupun nabi Yesaya itu, wahai alangkah menyedihkannya. Rentang waktu sekian lama ternyata tetap tidak menjadikan manusia berubah. Maka dengarlah kembali teguran Tuhan Yesus. Bahwa bukan yang masuk ke mulut yang bisa menajiskan orang, namun apa yang keluar dari hati.
Jadi, apa gunanya amat selektif memilih makanan yang akan dima­sukkan ke mulut demi tidak menajiskan tubuh. Tapi sementara dari mulut itu justru acap keluar sumpah serapah, caci maki, dan kata-kata kotor. Bahkan dari mulut yang satu suatu kali keluar kalimat indah kutipan ayat, kidung rohani merdu mendayu. Tapi di lain kesempatan, kata-kata keji penuh benci dan segala yang tidak pantas nyerocos juga dari situ. –Handoyo

Memang, menjaga mulut itu penting, agar tidak sembarang apa boleh masuk. Tapi lebih penting lagi menjaga agar tidak sembarang juga boleh keluar dari sana. Caranya, hati-hatilah dengan hati.

Senin, 19 Maret 2012

Jangan Mempermainkan Tuhan


Baca: 2 Samuel 12:11-14
Walaupun demikian, karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista Tuhan, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati.
(2 Samuel 12:14).
Tuhan itu maha pengasih, sehingga berkenan mengampuni orang yang mau mengakui dan menyesali dosanya, seperti yang dinyatakan oleh Yohanes, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1Yohanes 1:9). Sayang, firman yang sangat membesarkan hati itu sering lalu kita salah-artikan. Kita menganggap bahwa oleh kasih-Nya, Tuhan pasti tidak akan pernah menghukum kita, asal setiap kali kita melakukan perbuatan dosa, kita mau mengakui dan menye-salinya kepada Tuhan. Akibatnya, kita lalu kurang serius dalam berupaya menaati hukum-hukum Tuhan, atau lebih buruk lagi lalu menganggap enteng pelanggaran yang kita lakukan, sehingga tidak pernah menjadi jera atau kapok berbuat dosa.
Ketika diperingatkan oleh Nabi Natan, Daud yang jatuh ke dalam dosa perzinahan dengan Batsyeba dan tega membunuh Uria, dengan jujur dan spontan mengakui dosanya yang sangat keji itu. Ucapnya, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan.” Dia pun juga sangat menyesali perbuatan­nya itu, sebagaimana terungkap dalam Mazmur 51 yang mengharukan itu. Meskipun demikian, apakah segala sesuatunya lalu menjadi beres dan baik-baik saja bagi Daud? Ternyata tidak. Meski oleh pengakuan dan penyesalannya itu hukuman Tuhan menjadi tidak seberat yang se­harusnya, yaitu mati, namun Daud tetap harus menanggung berbagai malapetaka dalam hidupnya, sebagai hukuman atas dosanya itu.
–Pdt. Em. Sutarno

Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Galatia 6:7