Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 05 Februari 2011

Kaidah Emas

Baca: 1 Yohanes 4:7-11
Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita haruslah kita juga saling mengasihi.
1 Yohanes 4:11
Tuhan menghendaki agar keseluruhan hidup kita didasarkan pada prinsip kasih. Firman Tuhan menegaskan bahwa “Allah adalah kasih” (ayat 8). Karena Dia adalah kasih, maka Dia pun mengasihi kita, bahkan sampai mengutus Putra-Nya ke dalam dunia agar kita hidup oleh-Nya (ayat 9-10). Kalau Allah telah begitu mengasihi kita, maka kita juga harus saling mengasihi (ayat 11). Dalam hal ini, barangsiapa hidup dengan saling mengasihi itu menjadi tanda bahwa ia “lahir dari Allah dan mengenal Allah” (ayat 7).
Apakah arti dan konsekuensi dari hidup saling mengasihi yang men­jadi tanda dari pengenalan akan Allah itu? Mengenai hal ini Yesus de-ngan ringkas tetapi jelas menyatakannya dalam apa yang disebut sebagai “Kaidah Emas” bagi hidup orang-orang percaya, yaitu “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12). Jadi, kalau ingin orang lain berbuat baik kepada kita, kita harus berbuat baik kepadanya; kalau kita ingin orang lain jujur kepada kita, kita harus jujur pula kepadanya, dan seterusnya.
Dengan demikian, hidup saling mengasihi itu tidak tergantung pada emosi atau perasaan, yang sifatnya subjektif dan sering sesaat belaka, melainkan merupakan suatu keniscayaan yang harus terus terjadi pada setiap orang yang mengaku telah dikasihi Allah dan mengenal Allah. —Pdt. Em. Sutarno.

Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya,
tidak mungkin mengasihi allah yang tidak dilihatnya.
—1 Yohanes 4:20

Jumat, 04 Februari 2011

Kenalilah Siapa Kita

Baca: 2 Korintus 4:1-7
Oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini. Karena itu kami tidak tawar hati.
2 Korintus 4:1
Apakah yang biasanya mendasari tindakan kasih (baca: pelayanan) kita kepada sesama? Besar atau kecil, kuat atau lemah, pasti kita selalu mempunyai alasan yang memotivasi kita untuk melakukan tindakan kasih itu. Dan bila kita memperhatikan biasanya mun-cul alasan-alasan pokok berikut.
Pertama, kita ingin membalas sesuatu yang diperbuat oleh orang lain sebagai ben­tuk reaksi kita atas kebaikannya. Kita akan melakukan tindakan kasih kalau orang lain sudah lebih dahulu berbuat. Kedua, kita ingin memperoleh atau menerima sesuatu dari tindakan kasih kita. Di sini berlaku hukum “kita memberi maka kita akan menerima”.
Kedua alasan dan motivasi yang disebut di atas tentu sah-sah saja dan sejauh yang kita amati, banyak sekali yang memberlakukan prinsip tersebut di sekitar kita. Karena itu kita banyak menyaksikan—atau bah­kan kita sendiri mengalaminya—banyak orang kehilangan daya dorong yang kuat untuk dapat melakukan tindakan kasih dalam pelayanan. Sebab apa yang mereka terima dan harapkan tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan.
Rasul Paulus memperluas alasan dan motivasi ketika kita akan melakukan tindakan kasih. Paulus mulai usaha mengenal siapa dirinya di hadapan Allah, bahwa dia bukanlah apa-apa dan siapa-siapa; namun dia dijadikan oleh Tuhan menjadi seseorang yang berarti di mata Tuhan dan manusia, ini terjadi semata-mata kasih karunia-Nya. Hanya oleh kasih-karunia-Nya kita dapat melakukan tindakan kasih yang murni bukan kekuatan dan kemampuan diri kita. —Pdt. Ifer Fr. Sirima.

Doa: Ya Bapa, bantulah kami untuk mengenal keberadaan
diri kami di hadapan-mu, agar dengan itu kami mampu selalu
melakukan tindakan kasih, karena kami sendiri hidup
dari anugerah dan kasih-Mu. Amin.

Kamis, 03 Februari 2011

Awal Dari Cinta

Baca: Wahyu 2:1-7
Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula.
Wahyu 2:4
Ada banyak orang bertanya: “Apakah tayangan di televisi dalam acara ‘Masihkah engkau mencintaiku’ sungguh-sungguh menghadirkan orang-orang yang melakon­inya atau ganti pemeran?” Jikalau benar para pelakunya, mengapa zaman ini orang sudah tidak mempunyai rasa malu, bahwa aib ke­luarganya ditonton jutaan orang di televisi. Tuhan merasa perlu untuk menegur jemaat Efesus yang sudah meninggalkan cintanya kepada Tuhan. Hari ini Tuhan juga menegur Anda, bila cintamu sudah mulai pudar.
Cinta Tuhan terlalu mahal untuk dinilai dengan apa pun. Adakah orang yang mau menggantikan hukuman yang paling berat untuk di­jalani? Tanpa syarat Yesus mau melakoni menanggung dosa kita mulai dari lahir sampai mati. Masih tegakah kita melukai hati-Nya dengan melupakan kasih-Nya yang tidak bersyarat?
Jangan menutupi keburukan kita dengan topeng pelayanan. Je­maat Efesus hebat dalam pelayanan, tetapi kehebatan itu hanya untuk menutupi kasih mereka yang semakin pudar. Bahaya besar bagi para pelayan Tuhan adalah ketika hati ini menjadi kering dan kosong tanpa cinta-Nya lagi. Segarkanlah hidup ini untuk kembali pada kasih yang semula.
Lebih baik kembali dari nol daripada meluber tetapi sia-sia. Mulai dari nol berarti siap untuk diisi kembali dengan cinta yang mula-mula. Dalam hidup pernikahan, bulan madu harus berlangsung terus sampai tua. Hal ini untuk menjaga agar pasutri tidak kehilangan cinta yang mula-mula.
Sebagai jemaat Tuhan, masih adakah kegembiraan cinta seperti ke­tika kita pertama kali dekat kepada Tuhan? Semoga masih. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Awal dari cinta harus dipelihara sampai
berakhir dengan cinta yang sama.

Rabu, 02 Februari 2011

Cintailah Seribu Kali ....

Baca: 2 Korintus 8:7-9
...Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.
2 Korintus 8:9
Satire klasik yang mengatakan: Cintailah aku seribu kali, maka aku akan mencintaimu seratus kali! rasanya tetap relevan hingga hari ini. Tentu ini sekadar sindiran terhadap orang-orang yang selalu ingin memetik ke-untungan dari setiap kali berkiprah men­jalani kehidupan ini. Ya, tentu saja termasuk dalam urusan mencintai dan dicintai. Cinta seperti komoditas yang memiliki nilai, va-lues. Namun di balik kalimat satiris ini, cinta memang memiliki nilai, ada harganya. Cinta memang berharga, bahkan sangat mulia. Tetapi tidak semua yang berharga selalu dapat dijualbelikan, termasuk cinta, tidak untuk ditransaksikan.
Cinta bukan sekadar tiupan asmara semata. Cinta memang berharga dan karenanya harus dan layak diperjuangkan. Dan, seperti itulah kasih Tuhan kepada kita, lahir dari perjuangan paling dahsyat dari seorang Anak Manusia, Yesus Kristus. Ayat emas kita menegaskan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (ayat 9).
Ini suatu pengorbanan cinta yang luar biasa! Yesus kaya, dalam arti memiliki segalanya yang tak mungkin kita miliki, oleh karena kita, Ia menjadi miskin, dalam arti Ia tidak memberikan syarat apa pun untuk mengasihi Anda dan saya! Haleluya! Sekarang apalagi yang membuat kita takut untuk lebih merapatkan diri kepada Yesus? Ia sangat rindu kita dengan sepenuh hati membalas kasih kesetiaan-Nya. —Agus Santosa.

Siapa yang lebih bodoh, seorang anak yang takut akan
kegelapan atau pria yang takut akan terang?
—Maurice Freehill

Selasa, 01 Februari 2011

Mengubah Diri Sendiri


Baca: 2 Korintus 5:17
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
2 Korintus 5:17
Seorang teolog pernah mengatakan: “Ketika masih muda saya adalah seorang revolusioner, jadi doa saya pada waktu itu adalah: ‘Tuhan, berilah saya tenaga untuk mengubah dunia.’ Setengah abad hampir lewat, dan saya belum berhasil mengubah satu orang pun, maka doa saya: ‘Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah orang yang berhubungan dengan saya, yakni keluarga dan para sahabat saya.’ Ini pun tak berhasil. Sekarang saya sudah tua, hidup saya tak akan lama lagi, saya melihat betapa bodohnya saya. Maka doa saya sekarang adalah ‘Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah diri saya sendiri.’ Ah, seandainya saya su­dah berdoa seperti ini sejak muda, maka hidup saya tidak akan menjadi sia-sia.”
Betapa sering kita seperti sang teolog. Dalam menghadapi persoalan atau atas nama pengembangan diri, kita lebih senang mengubah orang lain atau situasinya ketimbang mengubah diri sendiri.
Selagi masih dalam suasana tahun baru, di mana orang biasanya mem­buat komitmen, marilah kita membuat komitmen untuk mulai mengubah diri sendiri. Kita tak perlu menunggu sampai usia kita lanjut, berapa pun usia kita saat ini, tak pernah ada kata terlambat untuk memulai mengubah diri sendiri. Kita yang ada di dalam Kristus, adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2 Korintus 5:17). Mari memohon bimbingan Roh Kudus, untuk menunjukkan hal-hal mana dari diri kita—sikap, kebiasaan, sifat, motivasi, dan lain-lain—yang perlu kita ubah agar sesuai dengan kehendak Allah. —Liana Poedjihastuti
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada
Allah dan yang sempurna. —Roma 12:2

Mengubah Diri Sendiri

Baca: 2 Korintus 5:17
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
2 Korintus 5:17
Seorang teolog pernah mengatakan: “Ketika masih muda saya adalah seorang revolusioner, jadi doa saya pada waktu itu adalah: ‘Tuhan, berilah saya tenaga untuk mengubah dunia.’ Setengah abad hampir lewat, dan saya belum berhasil mengubah satu orang pun, maka doa saya: ‘Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah orang yang berhubungan dengan saya, yakni keluarga dan para sahabat saya.’ Ini pun tak berhasil. Sekarang saya sudah tua, hidup saya tak akan lama lagi, saya melihat betapa bodohnya saya. Maka doa saya sekarang adalah ‘Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah diri saya sendiri.’ Ah, seandainya saya su­dah berdoa seperti ini sejak muda, maka hidup saya tidak akan menjadi sia-sia.”
Betapa sering kita seperti sang teolog. Dalam menghadapi persoalan atau atas nama pengembangan diri, kita lebih senang mengubah orang lain atau situasinya ketimbang mengubah diri sendiri.
Selagi masih dalam suasana tahun baru, di mana orang biasanya mem­buat komitmen, marilah kita membuat komitmen untuk mulai mengubah diri sendiri. Kita tak perlu menunggu sampai usia kita lanjut, berapa pun usia kita saat ini, tak pernah ada kata terlambat untuk memulai mengubah diri sendiri. Kita yang ada di dalam Kristus, adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2 Korintus 5:17). Mari memohon bimbingan Roh Kudus, untuk menunjukkan hal-hal mana dari diri kita—sikap, kebiasaan, sifat, motivasi, dan lain-lain—yang perlu kita ubah agar sesuai dengan kehendak Allah. —Liana Poedjihastuti
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah
oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada
Allah dan yang sempurna. —Roma 12:2

Senin, 31 Januari 2011

Ketika Lonceng Berbunyi


Baca: Mazmur 138:1-8
Tuhan akan menyelesaikannya bagiku! Ya Tuhan kasih setia-Mu untuk selama-lamanya: Janganlah Kautinggalkan perbuatan tangan-Mu.-  Mazmur 138:8
Apa yang terjadi ketika lonceng terakhir di sekolah berbunyi? Anak-anak sekolah segera berkemas untuk pulang ke rumah sambil bersorak-sorai tanda sukacita. Tidak ada lagi pelajaran berikutnya.
Selesai adalah sepatah kata yang melega­kan buat orang yang sedang menghadapi masalah berat—utang menumpuk, sakit pe­nyakit, penderitaan dan banyak masalah lain. Percayalah bahwa waktunya akan datang, Tuhan akan menyelesaikan semua masalah
dalam hidup kita.
Tuhan akan menambahkan kekuatan (ayat 3). Tidak ada masalah yang selesai secara instan, namun sementara kita harus menghadapi-nya, Tuhan menambahkan kekuatan kepada kita agar tetap kuat dan tabah dalam menghadapinya. Jangan berhenti di tengah jalan. Setialah menunggu pertolongan-Nya.
Tuhan melihat dari surga pergumulan kita (ayat 6). Sebutir pasir di tepi pantai tetap ada harganya demikian pula hidup kita di tangan-Nya. Tuhan bersemayam di tempat tinggi, tetapi Ia mampu melihat ke dalaman hati kita dan menopang kita. Ketika Stefanus disiksa karena Injil, Tuhan Yesus berdiri menguatkannya (Kisah Para Rasul 7:55). Tuhan tidak tinggal diam mengetahui anak-anak-Nya dalam masalah.
Tuhan tidak pernah meninggalkan sisa masalah. Di atas kayu salib Yesus memberi contoh cara menyelesaikan masalah: “Sudah selesai”. Di tangan-Nya semua masalah diselesaikan sampai tuntas, karena Ia ingin kita hidup damai sejahtera. Yang tidak mau tuntas kadang-kadang adalah kita sendiri. Masalah disimpan sebagai luka batin. Jangan menyisakan masalah kalau Tuhan minta kita selesai. —Pdt. Andreas Gunawan Pr.

Bagi Tuhan tidak ada kata sisa apabila Ia sudah
campur tangan untuk menyelesaikannya.

Minggu, 30 Januari 2011

Pengalaman Buruk

Baca: Yohanes 21:15-19
“Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakan­lah domba-domba-Ku.”
Yohanes 21:17
Apa yang harus dilakukan dengan penga-laman masa lalu yang buruk? Buang saja dan tidak perlu diingat lagi! Mungkin itu yang akan dilakukan oleh sebagian besar orang. Tetapi tidak demikian dengan Tuhan Yesus.
Yesus bertanya apakah Simon mengasihi-Nya, dan dijawab oleh Simon bahwa dia mengasihi Yesus. Ini berulang sampai tiga kali. Bukankah dengan cara ini sebenarnya Yesus sedang mengajak dan mengarahkan
Petrus pada pengalaman masa lalunya yang buruk, yaitu saat Petrus me-nyangkal-Nya sebanyak tiga kali?
Pasti bukan maksud Yesus untuk mempermalukan Petrus agar harga dirinya luluh-lantak di hadapan para murid yang lain, melainkan Ia memandang Petrus sebagai orang yang ketika itu membutuhkan peng-ampunan dan pemulihan dari masa lalunya yang buruk. Dengan masa lalu buruk yang dihadirkan kembali pada saat itu, tentu dimaksudkan agar Petrus dapat belajar, hingga tidak terulang lagi dan bisa menjalani kehidupannya dengan lebih berkualitas. Ini terbukti kelak, Petrus akhir-nya mati dan memuliakan Tuhan sebagaimana Yesus nyatakan (ayat 19). Pemulihan terhadap Petrus dilakukan Yesus dengan cara memberi tugas: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”, yang di telinga Petrus tentu berarti lebih dari sekadar pengampunan.
Bagi kita yang mempunyai pengalaman buruk, datanglah kepada Tuhan yang bisa membuatnya menjadi pengalaman yang baik dan memulihkan. Yesus akan membangkitkan kita dari “kelumpuhan hidup” untuk bersemangat menjalani hidup, kerja dan pelayanan kita dengan lebih baik lagi. —Pdt. Yefta Setiawan Krisgunadi
Pengalaman yang buruk dapat berubah menjadi pengalaman yang baik
tatkala kita berhasil mengambil hikmahnya dan kemudian berpengaruh positif pada kehidupan kita sekarang dan di masa depan.