Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 24 Desember 2011

Mataku Telah Melihat Keselamatan


Baca: Lukas 2:29-30
“Sekarang, Tuhan, biar­kanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu.” 
(Lukas 2:29-30).
Simeon sudah lanjut umurnya menjadi teladan, bukan hanya kata-kata yang teru­cap, tetapi keyakinan iman yang mantap, sebagai puncak kepercayaannya. “sekarang mataku telah melihat keselamatan yang dari padamu”. Pernyataannya ini diucapkan ketika Yesus dibawa ke Bait Allah. Meski­pun telah lanjut, ia masih setia datang ke Bait Allah untuk menjalankan aktifitas ritualnya sehingga ia dicatat sebagai orang yang hidupnya benar dan saleh sampai akhir hayatnya. Selama tubuh masih bisa berbakti dan memuji Allah mengapa kita tidak memuliakan Allah seperti yang dilakukan Simeon? Usir kemalasan yang ada meskipun kita didera kemunduran fisik dan gerak motorik.
Melihat dari mata hatinya dan percaya. Apa yang dinantikan Simeon selama ini terwujud, dalam diri Yesus - yang saat itu berusia 8 hari. Simeon melihat Yesus bukan secara fisik, tapi melihat dengan mata hati dan menimbulkan pengharapan. Simeon melihat melampaui apa yang dilihat orang lain, bayi Yesus memang bayi biasa, tetapi Simeon percaya Dia adalah anak Allah yang sudah datang ke dunia.
Melampaui apa yang nampak secara fisik. Ungkapan kepuasan batin nampak di sini, “sekarang Tuhan biarkan hambamu pergi, dalam damai sejahtera karena telah melihat keselamatan yang dari pada Tuhan.” Ada rasa puas untuk bertemu Tuhan dalam keabadian, jikalau Tuhan memanggilnya nanti. Ia sudah siap dan tidak takut mati. Adakah rasa damai dan puas yang kita jalani sebagai lanjut usia selama ini?
–Pdt. Agus Wiyanto

Melihat dengan mata iman sehingga tetap mempunyai harapan, selama di­berikan umur di bumi, dan siap bertemu dengan Tuhan dalam keabadian adalah lambang orang yang mau 
berserah dan tetap percaya.

Jumat, 23 Desember 2011

Bayi Itu Menangis

Lukas 2:8-14
 “ ...Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana,seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Lukas 2:15).

Seorang penyanyi solo sedang melantun-kan lagu ”Bayi Yesus” di sebuah acara Natal. Lagu itu sangat menggetarkan hati dan sebagian penonton menangis terharu. Ada apa? Ternyata pada saat yang sama seorang ibu yang membawa bayi dan bayi itu menangis. Suasana malam itu benar-benar hidup. Seorang penonton berkomentar, ”Bayi itu masuk acara tepat pada waktu­nya.“ Tetapi si penyanyi solo tadi tidak me-ngetahuinya. Dalam rekaman yang dibuat, suara bayi itu mengiringi sang penyanyi sampai selesai.
Kerajaan Allah sudah datang, Pemerintahan Allah sudah dimulai dengan lahirnya Tuhan Yesus, namun masih banyak orang yang mencari-cari Juruselamat yang lain untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian hidupnya. Para gembala jelas mendengar suara malaikat yang memberitahukan bahwa telah lahir Juruselamat dan mereka bergegas pergi ke Betlehem untuk menemuinya. Kita setiap kali menyanyikan lagu-lagu Natal, tapi sayang kalau sampai tidak pernah mendengar suara Yesus di balik lagu-lagu yang kita nyanyikan atau dalam kotbah –kotbah Natal. Perayaan Natal sering tertutup dengan kemeriahan dan kesibukan sehingga kita kehilangan arti Natal itu sendiri.
Belajarlah dari para gembala yang menemui bayi Yesus dalam kesu-nyian namun pulang dengan hati yang penuh sukacita dan memuliakan Allah. Ambil waktu sejenak untuk “menemui Yesus” sebelum masuk dalam kemeriahan Natal yang melelahkan. Suara Yesus akan kembali menggetarkan jiwa dan roh kita bila kita mau mendengar dengan sung­guh-sungguh dan percaya. –Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr 

Menangislah karena kasih Allah yang melingkupi kita sebelum kita ditangisi Allah karena kebebalan kita.

Kamis, 22 Desember 2011

Sukacita Walau Dalam Kesulitan

Baca: Lukas 2:1-7
Kata Maria: “Sesungguh­nya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggal­kan dia.” (Lukas 1:38)
Makna kebahagiaan dan sukacita sering dipahami hanya jika kita mengalami keuntungan, bila kita selalu mengambil keputusan yang serba aman, tidak berisiko atau berhadapan dengan kesulitan. Dalam konteks ini makna sukacita dan bahagia dipahami jika ritme kehidupan ini se­lalu berjalan serba datar, bahkan menanjak, menjauh dari tantangan, dan mulus tanpa masalah.
Atas perintah Kaisar Agustus, Maria dan Yusuf harus pergi sementara waktu dari kota Nazaret ke Betlehem untuk melaksanakan pendaftaran sensus penduduk. Dengan jarak yang sangat jauh tersebut sebenarnya perjalanan Yusuf dan Maria bukanlah suatu perjalanan yang menyenangkan. Perjalanan yang sangat jauh itu harus ditempuh dengan cara berjalan kaki atau naik keledai. Padahal waktu itu Maria sedang hamil tua. Jadi kisah Natal yang dialami oleh para pelaku karya keselamatan Allah, yaitu Maria dan Yusuf bukanlah suatu kisah yang membawa sukacita atau kebahagiaan. Kesulitan dan penderitaan dalam perjalanan dari Nazaret ke Betlehem yang dialami oleh Maria terjadi sebagai konsekuensi jawaban Maria yang bersedia untuk mengandung dari Roh Kudus (Lukas 1:38).
Justru melalui kesulitan dan penderitaan yang dialami oleh Ma­ria dan Yusuf, terbukalah wilayah yang luas tanpa batas anugerah keselamatan dari Allah bagi umat manusia. Bagaimana dengan kita, apakah kita bersedia menempuh kesulitan dan penderitaan demi tugas yang diberikan oleh Allah? –Pdt. Ifer Fr. Sirima

Doa: Ya Kristus, sadarkanlah kami untuk tidak mencari rasa aman yang semu, tetapi bantulah kami untuk menemukan sukacita dalam setiap tugas panggilanMu meskipun berat dan sulit. Amin.

Rabu, 21 Desember 2011

Membiarkan, Memahami, dan Dipakai


Baca: Lukas 1:26-38
“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” 
 (Lukas 1:38).
Malaikat Tuhan menjumpai Maria dan berkata, “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di ha­dapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau me­namai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur- Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (ayat 30-33). Mendengar perkataan Malaikat itu hati Maria menjadi galau, takut, bimbang, sebab dia akan menikah dengan Yusuf. Ia khawatir apakah Yusuf mau mengerti sesuatu yang tidak masuk akal tersebut dan menerimanya, dan bagaimana pandangan masyarakat sekitarnya. Yusuf, pastilah akan juga mengalami hal yang sama, khawatir Maria akan dihakimi masyarakat dan tentunya hal itu berdampak kepada dia juga. Tetapi, mereka membiarkan kehendak Tuhan dalam kehidup-an mereka karena memahami bahwa ada rencana Tuhan di dalamnya. Mereka merasa diberkati, sebab Maria akan melahirkan Yesus anak Allah yang akan mengemban misi penyelamatan bagi dunia.
Bagaimana dengan kita, apakah kita juga membiarkan rencana Tuhan terjadi dalam kehidupan kita? Kalau ya, apakah kita memahami bahwa kita telah diberkati oleh Allah dengan rejeki, kesehatan, pendidikan, anak, cucu dan sebagainya? Dan apakah kita juga telah membiarkan segala berkat itu untuk dipakai untuk mendatangkan kerajaan Allah?
–Pramudya

Ada rencana Tuhan di setiap langkah kehidupan, dengan maksud men­datangkan kerajaan-Nya yaitu kehidupan yang mengikuti kehendak-Nya.

Selasa, 20 Desember 2011

Hendaknya Terangmu Bercahaya


Baca: Matius 5:13-16
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di de­pan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (Matius 5:16).
Menurut Anda, Tuhan menghendaki kita menjadi apa di dunia ini? Jika Anda masih merasa sulit untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali pendapat John Ruskin, penulis berkebangsaan Inggris, berikut ini akan membantu.
Pada suatu senja, demikian Jamus A. Feehan berkisah, Ruskin sedang duduk dalam rumahnya sambil memandang ke luar jendela. Di depannya terhampar lembah dengan jalan menyusuri lereng perbukitan. Ruskin dapat melihat lampu satu demi satu sedang dinyalakan oleh petugas. Pada masa itu belum ada listrik. Jalan-jalan diterangi dengan obor. Setiap sore petugas lampu berkeliling dengan lampu kecil untuk menyalakan lampu demi lampu. Dalam kegelapan Ruskin tidak dapat melihat petugas lampu itu, yang ia lihat hanya obornya yang menyala dan jejak-jejak lampu yang ia tinggalkan di belakangnya.
Menyaksikan hal itu Ruskin menyimpulkan ilustrasi yang tepat ten­tang orang kristen. Manusia mungkin tidak pernah mengenal-Nya, tidak pernah bertemu dengan-Nya, tidak pernah melihat-Nya, tetapi mereka tahu bahwa Ia sedang melintasi dunia mereka lewat jejak terang yang Ia tinggalkan.
Tuhan ingin kita menjadi terang yang bercahaya. Demikian hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu (ayat 16). Mari kita memeriksa diri kita masing-masing, apakah hidup kita telah meninggalkan jejak-jejak terang melalui sikap, perkataan, dan perbuatan kita yang memuliakan nama-Nya atau hidup kita malah meninggalkan jejak-jejak kegelapan yang mempermalukan Dia? –Liana Poedjihastuti

Supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang se­sat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka