Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 05 Mei 2012

Warisan


Baca: Lukas 2:25-32
Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman–Mu (Lukas 2:29).
Kata ”warisan” bisa menggiurkan na­mun bisa mencelakakan. Menggiurkan kalau terbagi dengan adil, mencelakakan kalau menjadi awal pecahnya persaudaraan dan kekerabatan.
Pernah terjadi di sebuah tempat perse­mayaman jenazah, anak-anak dari sang ayah yang belum dikubur itu bertengkar dan memukul. Mereka mempertanyakan siapa yang memegang kunci brankas sang ayah, dan tidak ada seorang anak pun yang tahu. Ironis sekali karena yang mati tidak bisa ditanya lagi.
Simeon meninggalkan warisan berupa sebuah keteladanan hidup.
Warisan hidup spiritualitas yang luar biasa. Alkitab mencatat bahwa Simeon seorang yang benar dan saleh di hadapan Tuhan dan manusia. Apalah artinya harta jikalau tidak membuat orang memiliki kehidupan yang indah di hadapan Tuhan dan manusia. Sudah banyak bukti bahwa keteladanan hidup benar justru menghasilkan keturunan yang hidup benar juga.
Warisan hidup dipimpin Roh Kudus. Simeon memiliki kepe­kaan Roh sehingga mengetahui bahwa dirinya tidak akan mati sebelum ia melihat Tuhan Yesus bahkan menggendong Bayi kudus itu. Semakin tua kita seharusnya makin merasakan pimpinan Roh Kudus agar kita tahu saat mana Tuhan mempersiapkan kita untuk pulang ke rumah Bapa.
Warisan hidup dalam damai sejahtera. Betapa bahagia bila kita bisa meninggalkan dunia ini dalam damai sejahtera Tuhan.
Segala kelelahan dan penderitaan dalam hidup ini ditukar dengan sebuah kedamaian yang tidak sebanding dengan semua yang kita alami di dunia ini. Simeon telah menjalaninya, bagaimana dengan Anda?
–Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Warisan termahal bukan materi yang tidak bisa kita bawa mati.
Tinggalkan warisan surgawi yang membuat damai sejahtera di hati.

Jumat, 04 Mei 2012

Menjadi Tua dan Dewasa


Baca: Filipi 3
Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempu-nyai pancaindera yang terlatih untuk membe­dakan yang baik dari pada yang jahat
(Ibrani 5:14).
Ada sebuah pemeo lama yang mengatakan bahwa manusia menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa belum tentu. Pemeo ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa pertambahan usia tidak menjamin seseorang memiliki kedewasaan. Tidak cukup kita berusia lanjut, kita masih dituntut untuk menjadi dewasa. Tidak sekedar dewasa dalam pemikiran, tetapi juga dewasa dalam rohani. Orang yang dewasa secara rohani tidak akan mudah usang, tidak seperti pakaian, semakin lama semakin usang dan getas termakan usia.
Selama kita masih diperhamba dan hidup dalam bayang-bayang roh yang menguasai dunia, kita masih belum dewasa (Galatia 4:3). Untuk menjadi dewasa dalam rohani kita dituntut untuk menjadi satu oleh karena iman yang sama dan pengertian yang sama mengenai Anak Allah. Karena dari si­tulah kedewasaan kita akan semakin sempurna seperti Kristus (Efesus 4:13).
Bagaimana kita mendapatkan kedewasaan rohani itu? Hanya dengan satu cara yaitu selalu berada di bawah pimpinan Tuhan. Efesus 4:16 menggambarkan bagaimana menjadi dewasa dan kuat, semua anggota tubuh itu tersusun rapih, dan saling dihubungkan oleh sendi-sendinya masing-masing. Dan kalau tiap-tiap anggota itu bekerja seperti yang seharusnya, maka seluruh tubuh itu akan bertumbuh menjadi dewasa dan kuat melalui kasih.
Bagi kita yang sudah merasa dewasa secara rohani tetaplah mem­perbaharui hidup kita dan mengoreksinya (baca Filipi 3). Marilah kita hidup dalam kedewasaan secara rohani dengan senantiasa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. –Darmanto

Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
–1Korintus 13:11

Kamis, 03 Mei 2012

Ketika Kita Tidak Muda Lagi


Baca: Mazmur 37:25
 Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggal­kan, atau anak cucunya meminta-minta roti (Mazmur 37:25).
 “Ketika langit semakin lembayung dan senja semakin temaram, katakan padaku… ada apakah di seberang sana … aku jadi tenggelam dalam sunyi yang semakin pekat…” Ini adalah penggalan dari sajak yang saya tulis pada waktu usia saya 50 tahun-an, ketika saya terobsesi oleh curhat teman saya yang begitu menyedihkan. Dia merasa tidak dibutuhkan lagi, tenggelam dalam kesepian dan kesendirian, dan terus meratapi keadaan hidupnya sekarang dan membandingkannya dengan hidupnya pada waktu muda yang penuh dengan aktivitas, dikagumi teman dan mahasiswanya, maka semakin terpuruklah dia dalam keluhan dan kesepian, dan akirnya meninggal secara tragis. Saya sempat beberapa waktu terpengaruh oleh cerita dan hidupnya yang be­rakhir tragis, tetapi puji Tuhan aku terbangun dari situasi hatiku yang pedih oleh kidung Mazmur 37:25: “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti”
Menjadi tua memang membawa perasaan kehilangan banyak hal dan juga menyedihkan, khususnya bagi kita yang pada waktu muda aktif berkarya, tetapi menjadi tua juga membawa berkat bagi kita. Umur yang bertambah dan menjadi tua adalah suatu kenyataan yang tidak dapat kita hindari. Ada orang yang menerima kenyataan ini dengan mensyukurinya, ada yang biasa-biasa saja, namun ada yang men­jalaninya dengan keluh kesah, karena dia ingin terus hidup dalam masa mudanya yang tentu saja tidak mungkin kembali. Mengapa harus sedih dan marah karena menjadi tua? –Irene Talakua

Bukankan matahari terbenam juga indah? Di manapun kita berada, pada pagi hari yang indah atau pada waktu senja yang makin temaram, apabila kita berjalan dengan Tuhan dan Yesus, semuanya selalu indah.