Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 21 Mei 2011

Mengubah Pikiran


Baca: Efesus 4:17-32
...supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu....
Efesus 4:23

Selama bertahun-tahun seorang petani ter­paksa membajak di sekeliling sebuah batu besar yang ada di tengah sawahnya. Suatu hari petani ini memutuskan untuk melaku­kan sesuatu. Ia mengambil sebuah linggis dan menancapkannya ke dasar batu itu. Ia sangat terkejut karena ternyata batu itu hanya mempunyai ketebalan tiga puluh sentimeter dan dapat dihancurkan dengan mudah. Ia tersenyum dan lega sebab selama bertahun-tahun ia mengalami kesulitan karena adanya batu itu. Seharusnya, betapa mudahnya ia
dapat menyingkirkan batu itu, kalau ia segera mengubah pikirannya dan mencari cara lain mengatasinya.
Mengapa kita sulit menjadi berkat bagi orang lain? Mengapa hidup kita seolah kehilangan makna? Mengapa banyak ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan terjadi dalam hidup kita? Mungkin kita perlu mengubah pola pikir dan cara hidup kita yang selama ini begitu dikuasai oleh pikir-an yang menyesatkan yang kemudian tanpa kita sadari terekspresi dalam sikap hidup kita.
Paulus menggunakan istilah “manusia lama” dengan pikiran dan pe-ngertiannya yang gelap, telah mematikan kemampuan manusia untuk menjadi berarti dan bermakna. Kita harus mengambil keputusan untuk mengubah pikiran dan hati yang berpusat pada hal-hal yang menyesatkan dan mengarahkannya pada Kristus (ayat 20-22). Cara demikian akan menjadikan kita sebagai “manusia baru” yang memiliki pikiran dan hati Kristus dan memampukan kita untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan membangun kehidupan orang lain (ayat 28-32). —Pdt. Meyske S. Tungka.

Rintangan terbesar untuk bertumbuh dan berbuah di dalam iman adalah keengganan untuk mengubah pikiran dan cara hidup yang sia-sia.



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jumat, 20 Mei 2011

Mantan Aktivis

Baca: Yohanes 4:31-38
“Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku
dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”
Yohanes 4:34

Disebut mantan panatua karena memang seseorang tadinya pernah mengemban jabatan itu dan sekarang sudah tidak lagi. Sebab jabatan itu memang ada periode atau masa baktinya. Demikian pula halnya dengan sebutan mantan ketua komisi, dan sebutan lainnya. Semua tadi berkaitan dengan jabat-an yang memang ada periodenya, kalau begitu, tepatkah sebutan mantan aktivis?
Walau mungkin banyak orang latah me-nggunakan istilah ini, bukankah semesti- nya kita justru perlu risih mendengar istilah
seperti ini. Sebab mantan aktivis berarti dahulu pernah aktif tetapi seka­rang tidak. Padahal, bukankah semestinya kalau menggunakan penger­tian yang benar, menjadi aktivis itu sepanjang hayat, seumur hidup. Sebab menjadi aktivis itu bukan jabatan yang punya periode. Menjadi aktivis itu sebutan yang melekat pada siapa pun yang bergiat menggunakan waktu, tenaga dan pikiran untuk melayani pekerjaan Tuhan.
Sudah barang tentu beda kurun usia, akan berbeda pula jenis aktivi­tas yang dijalaninya. Kegiatan seorang aktivis yang berusia remaja pasti berbeda dengan kegiatan seorang aktivis yang berusia lanjut. Tetapi ini artinya, sampai usia lanjut pun seseorang masih tetap bisa menjadi seorang aktivis.
Seorang bapak di usia mudanya pernah menjabat penatua, kemudian ia aktif di komisi. Jabatan terakhirnya adalah ketua komisi usia lanjut. Setelah periode pelayannya berakhir, ia terlibat dalam kegiatan pelawatan, kegiatan kelompok doa, kegiatan paduan suara. Pendek kata, tak pernah ada kata berhenti untuk kegiatan melayani Tuhan. Bagaimana dengan Anda? —Handoyo.

Makan dilakukan manusia selama masih hidup, dari muda
sampai tua. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: makanan-Ku
ialah melakukan...dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.





=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Kamis, 19 Mei 2011

Harus Rendah Hati


Baca: 1 Petrus 5:3-7
Demikian juga kamu, hai orang-orang muda, tunduklah kepada orang-orang tua. dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain.
1 Petrus 5:5

Nasihat Petrus kepada para orang muda untuk tunduk kepada orang-orang tua, selayaknya dapat membesarkan hati kita para lanjut usia. Sebab, berdasarkan nasihat tersebut, menjadi tua ternyata tidak berarti hilangnya hormat dan kewibawaan. Meski telah mengalami berbagai kemerosotan dan kemunduran di segala aspek kehidupan, namun ternyata masih dianggap layak dan perlu dipatuhi oleh mereka yang muda.
Meskipun demikian, kita juga perlu was-pada, karena nasihat tersebut dapat mendorong kita untuk berpikiran dan bersikap keliru terhadap mereka yang muda. Itu muncul, kalau nasihat Petrus itu kita artikan bahwa keharusan orang muda untuk tunduk kepada orang tua itu disebabkan orang tua pasti selalu benar dan harus dituruti. Kalau orang muda tidak tunduk atau tidak patuh kepada kita, kita tersinggung dan sakit hati. Sikap seperti ini sebenarnya sumbernya ada pada kesombongan!
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memperhatikan juga nasihat Petrus selanjutnya, ketika ia mengingatkan, “Dan kamu semua, rendah­kanlah dirimu seorang terhadap yang lain.” Orang muda hendaknya mau merendahkan diri terhadap orang tua, tetapi sebaliknya orang tua juga harus bersedia merendahkan diri terhadap orang muda, dengan menghormati dan menghargai pendapat serta sikap mereka. Peringatan Petrus tersebut, bagi kita para orang tua, juga berarti harus bersedia melakukan introspeksi atau mawas diri. Sebab, mungkin saja sebenarnya kita sendirilah yang keliru. —Pdt. Em. Sutarno.
Doa: Tuhan, ajar dan mampukan kami untuk tidak merasa
menjadi yang paling benar sendiri, sehingga tidak mau merendahkan diri. Amin.




=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 18 Mei 2011

Biji Sesawi dan Ragi

Baca: Matius 13:31-34
Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apa­bila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya... Hal Kerajaan Surga itu seumpama ragi....  Matius 13:32-33
Tuhan Yesus mengumpamakan hal Keraja-an Surga seumpama biji sesawi yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya. Apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran lain, bahkan menjadi pohon, hingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.” (ayat 31-32). Kera­jaan Surga juga seumpama ragi yang diambil dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya (ayat 33).
Biji sesawi memerlukan ladang untuk da-pat tumbuh, dan ragi dapat mengkhamirkan bila diadukkan ke dalam tepung. Seperti penabur benih dan perempuan pembuat adonan itu, tentunya Tuhan menginginkan kita menjadi lahan yang baik agar firman-Nya dapat tinggal dan tumbuh, dan dengan begitu kita pun menjadi pribadi yang bertumbuh.
Pertumbuhan juga ditunjukkan melalui hasil yang nyata. Pertumbuh-an biji sesawi akan melampaui pertumbuhan sayuran yang lain, bahkan akan menjadi tempat bersarang bagi burung-burung. Tentang ragi, dari pengalaman saya, setiap satu gram ragi dapat memuaikan lima puluh gram tepung! Ini berarti bahwa ragi dapat memberikan perubahan yang luas.
Jika kita mau memberikan hati kita sebagai lahan yang baik bagi fir­man Tuhan, berarti kita juga harus siap memberikan kesediaan untuk menyatakan Kabar Baik, kasih, karya dan keagungan Tuhan, melalui kata-kata dan sikap hidup, agar orang-orang yang mengenal kita dan orang-orang di sekitar kita mau mengenal Tuhan kita dan percaya kepada-Nya. Firman Tuhan yang hidup dalam diri kita harus mendatangkan manfaat yang optimal. —Ocky Sundari
Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar
firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus
kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh
kali lipat.” —Matius 13:23



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Selasa, 17 Mei 2011

J a m u

 
Baca: Mazmur 141:3
Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku!
Mazmur 141:3

“Kalau mau sehat, orang harus bisa jamu,” kata ibu saya suatu kali ketika beliau ber-kunjung ke rumah saya.” “Jamu apa?” tanya saya ingin tahu. “Jaga mulut. Mulutnya dijaga jangan sampai makan sembarangan. Orang sakit itu banyak disebabkan oleh ma­kan yang tidak dikontrol,” jawab ibu saya. Ups, jadi jamu yang dimaksud ibu saya itu ternyata jaga mulut. Saya lalu bertanya ke­pada ibu saya darimana datangnya falsafah itu. Inilah kisahnya.
Beberapa waktu yang lalu ibu saya mengalami masalah dengan giginya. Dalam usianya yang mendekati 80 ta­hun, hanya beberapa gigi yang masih tinggal. Hampir semua giginya sudah diganti gigi palsu. Rupanya gigi palsu ini pun bermasalah. Karenanya ibu saya tidak bisa makan dengan nyaman beberapa waktu lamanya, bahkan sampai saat ini.
Untuk usianya, kondisi fisik ibu bisa disebut masih bugar. Tak heran, karena ia ketat menjaga makan dan berolahraga. Namun sejak ada ma-salah dengan giginya, ibu kehilangan selera makannya.
Ibu baru menyadari betapa tidak nyamannya tidak memiliki gigi. Bu­kan hanya itu, ibu saya juga mendapat hikmah dari peristiwa ini. Katanya “O, mungkin supaya tidak makan sembarangan ya, Tuhan membuat orang tua kehilangan gigi.”
Betul juga pikir saya. Sejalan dengan itu, orang juga harus jaga mu­lut dari membicarakan orang, menjelek-jelekkan orang, mengeluh, mengumpat, berdusta, dan yang lainnya supaya sehat mental dan rohaninya. Untuk itulah kita memohon agar Tuhan berjaga-jaga di pintu bibir kita. Anda mau mencoba falsafah jamu? Jamu... jamu...! —Liana Poedjihastuti.

Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa
yang menahan bibirnya, berakal budi. —Amsal 10:19




=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 16 Mei 2011

Romantis Dengan Tuhan


Baca: Filipi 1:9-11
Sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus.
Filipi 1:10

Ada pesan romantis yang ditulis Adam dan istri Nuh. “Hawa sayangku, kau ada­lah satu-satunya gadisku. Tanpamu rasanya aku sendirian di dunia ini,” demikian tulis Adam. Istri Nuh menulis untuk suaminya, “Nuh, aku tidak mengeluh, sayang. Tapi ketika engkau mengatakan bahwa kita akan pergi berlayar untuk ulang tahun pernikahan kita, aku membayangkan sesuatu yang lain dalam pikiranku.” Romatis bukan?
Bagaimana kalau hal seperti itu kita ber­lakukan kepada Tuhan. Di usia lanjut bila kita memiliki hubungan yang romantis dengan Tuhan, maka hari Tuhan tidak lagi menakutkan.
Berikan kasih yang melimpah kepada Tuhan dan sesama. Paulus berdoa semoga kasihmu makin melimpah. Kasih Tuhan sudah terbukti, tinggal bagaimana kita membalas kasih-Nya dan menyatakan kasih kita kepada sesama. Mulailah dari diri sendiri.
Hubungan yang dekat akan memberi kepekaan. Apa yang kita pilih di usia lanjut? Merasa hebat, masih kuat, punya pengaruh dan berkuasa? Sebaiknya kita memakai ilmu padi, semakin berisi semakin menunduk. Jika kita menunduk, maka ada dua hal kita dapatkan: Kita mendekat kepada Tuhan dan kita menghormati mereka yang membanggakan kita di usia lanjut.
Hidup tanpa cacat dan padat berisi. Suci dan tak bercacat serta penuh dengan buah kebenaran seharusnya menjadi kerinduan kita di usia lanjut. Bila saatnya tiba, tinggalkan senyum kepada mereka, jangan raut muka yang masih penuh beban berat. Damai sejahtera akan menyertai kita dan untuk mereka yang melihat kepergian kita, setuju? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Hidup romantis di dunia bisa berakhir tetapi hidup romantis dengan
Tuhan akan ada selama-lamanya baik di dunia maupun di surga.



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Minggu, 15 Mei 2011

Tetap Kuat

Baca: 2 Korintus 4:16-18
Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meski-pun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibarui dari sehari ke sehari.
2 Korintus 4:16

Manusia merupakan makhluk psiko-somatis. Keberadaannya itu mencakup dua aspek, batiniah atau rohaniah, dan lahiriah atau jasmaniah. Kedua aspek tersebut dapat, dan memang perlu dibeda-bedakan, namun tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam hu-bungan itu Paulus bersaksi, bahwa meskipun keadaan jasmaniahnya itu oleh berbagai hal, misalnya bertambahnya usia, gangguan kesehatan, penderitaan dan siksaan, dan sebagainya, namun keadaan rohaniahnya tidak, karena terus dibarui.
Roma 5:3-4 ia menyatakan, “Kita malah bermegah juga dalam ke-sengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji me-nimbulkan pengharapan.” Inilah rupanya yang dimaksudkannya, ketika ia dengan tegas bersaksi bahwa manusia batiniahnya itu “dibarui dari sehari ke sehari”. Dengan kata lain, segala sesuatu yang membuat keadaan lahiriah atau jasmanih kita itu merosot, hendaknya jangan sampai membuat keadaan batiniah atau rohaniah kita juga ikut merosot, melainkan justru dibarui atau menjadi semakin kuat karena tetap berpengharapan.
Keyakinan Paulus yang demikian itu telah mampu membuatnya “tidak tawar hati”, meski secara lahiriah harus mengalami berbagai ketidakenakan dan penderitaan itu. Terlebih-lebih ia juga yakin, bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18). —Pdt. Em. Sutarno.

Doa: Tuhan, karuniakan kepada kami keyakinan seperti yang ada
pada Paulus, sehingga kami juga menjadi tidak akan tawar hati dan
berputus asa menghadapi berbagai kemerosotan yang harus kami
alami akibat semakin bertambahnya umur kami. Amin.



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi