Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 26 Maret 2011

Menjadi Berkat Atau Kutuk

Bacaan Alkitab: Kejadian 2:7
Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.
Yakobus 3:9-10

Tahukah Anda, mengapa ketika masih muda bunga matahari berpaling ke arah matahari? Sebelum tengah hari bunga matahari muda berpaling ke sisi yang mengarah ke matahari, setelah tengah hari akan membalik dan meng-ubah arahnya ke sisi yang lain. Jadi, bunga matahari berpaling seiring dengan beredarnya matahari sehingga tampak mengikuti ma­tahari. Karena gerakan ini daun-daunnya menerima sinar matahari secara optimal.
Seperti bunga matahari muda yang meng-arahkan diri pada sinar matahari, hidup kita juga harus terarah kepada Tuhan Yesus, Cahaya Kehidupan. Hanya mereka yang mengarahkan diri, mendengarkan dan menaati firman-Nya yang dapat menjadi berkat dan napas kehidupan bagi banyak orang.
Allah memanggil kita untuk menjadi berkat bagi banyak orang, tidak hidup hanya bagi diri sendiri, sebab hidup yang demikian adalah hidup yang kerdil dan sempit. Tidak gampang menjadi berkat. Alih-alih men­jadi berkat, kita malah cenderung mengutuk, mencelakakan, bahkan membinasakan orang lain. Hal ini disebabkan dalam diri kita berse­mayam ilah yang ingin mencari nikmat dan kesenangan diri semata.
Tuhan Allah mengembuskan napas hidup ke dalam hidung manu­sia, maka ia menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Karena itu napas yang kita embuskan haruslah membawa udara yang menghidupkan, yang membawa pengharapan bagi orang-orang yang kita jumpai, bukan napas kematian. Kiranya kita mendapat rahmat untuk menjadi berkat, bahkan bagi mereka yang memaki, mengutuki, dan menganiaya kita sekalipun. —Liana Poedjihastuti.
Sekali menjadi berkat, tetap menjadi berkat.


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jumat, 25 Maret 2011

Pengakuan Yang Sia-Sia


Bacaan Alkitab: Matius 7:21-23
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga.”
Matius 7:21

Menjadi orang Kristen dan anggota gereja yang dewasa, merupakan pilihan yang kita buat berdasarkan keyakinan. Keyakinan tersebut dapat muncul dan tumbuh akibat dari keturunan, tetapi dapat juga karena pertobatan dari keyakinan lain. Dalam hal ini Tuhan Yesus mengingatkan bahwa keya­kinan, yang memang sangat diperlukan dan menjadi syarat dalam menjadi pengikut-Nya, ternyata belum cukup. Meski dengan penuh keyakinan kita berani dan mampu berseru, “Tuhan, Tuhan!” kepada-Nya, itu
belum menjadi jaminan bahwa kita pasti juga akan masuk ke dalam kerajaan-Nya. Jadi, meski kita sudah membuat pilihan yang tepat dan benar untuk menjadi orang Kristen dan warga gereja, demikian juga se­cara terbuka berani mengakui semuanya itu di tengah-tengah masyarakat, namun hal itu ternyata belum menjadi jaminan bahwa kita pasti juga akan masuk ke dalam kerajaan-Nya.
Jadi, yang menjamin masuknya orang ke dalam kerajaan-Nya itu ternyata bukan hanya keyakinan dan pengakuan belaka, melainkan keyakinan dan pengakuan yang disertai dengan perbuatan yang “melaku­kan kehendak Bapa”. Tegasnya, keyakinan dan pengakuan yang disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan perintah dan hukum-hukum Tu­han. Mengaku percaya kepada-Nya, tetapi perbuatan-perbuatannya melanggar perintah dan larangan-Nya, tidak akan mendatangkan keselamatan. Pengakuan seperti itu merupakan pengakuan basa-basi dan formalistis belaka yang sia-sia dan tidak bermanfaat. —Pdt.Em. Sutarno.

Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan
bukan hanya pendengar saja. —Yakobus 1:22


======================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Kamis, 24 Maret 2011

Mengapa Harus Mengomel?


Bacaan Alkitab: Habakuk 3:18-19
Namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamat­kan aku. Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.
Habakuk 3:18-19

Pernahkah kita mengalami situasi yang tidak enak dalam hidup ini? Usia tua, sakit dan harus masuk rumah sakit, sementara biaya rumah sakit mahal. Pensiunan dengan uang yang terbatas sementara ada kebutuhan hidup yang besar, sehingga kita harus cermat mengatur pengeluaran. Ketahanan fisik yang semakin terbatas sehingga harus bergantung kepada pertolongan orang lain untuk mela-kukan sesuatu. Pergi ke gereja harus diantar oleh anak cucu, tidak dapat pergi sendiri dan mandiri seperti pada waktu masih muda.
Situasi hidup yang tidak enak membuat kita cepat mengeluh dan hati merasa kecut. Takut untuk melangkah dan melakukan sesuatu, sering membuat kita bertanya dan protes kepada Tuhan. Orang bilang “ngomel” adalah hak asasi seseorang untuk menyuarakan gejolak suara hati bergolak, merespon sesuatu yang tidak enak. Tetapi mengapa orang beriman harus ngomel sebagai respon pertama terhadap situasi yang tidak menyenangkan? Orang yang suka ngomel akan dicap sebagai orang yang bawel dan menjadi rewel.
Orang beriman yang cepat mengeluh tidak akan menyelesaikan persoalan. Persoalan tidak dapat selesai dengan seribu keluhan. Jangan menjadi orang yang cengeng menghadapi hidup dan hari tua. Habakuk mengajarkan sikap untuk begantung kepada Tuhan di tengah siatuasi hidup yang tidak enak.
Bangunlah harapan di dalam Tuhan. Itu sikap yang tepat daripada hanya bisa mengumpat keadaan dan mengerutu. Kita mempunyai Tuhan yang hidup dan berkuasa. Harapan di dalam Tuhan bukan sesuatu yang kosong. —Pdt. Agus Wiyanto.

Tuhan akan bekerja dengan cara-nya. Sikap yang perlu dibangun
adalah belajar percaya dan berserah, dengan hati yang tenang.


=====================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 23 Maret 2011

Kuda Putih Dan Hitam

Bacaan Alkitab: 1 Petrus 2:1-5
Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah.
1 Petrus 2:1

Konon manusia diumpamakan dengan sebuah kereta yang ditarik oleh dua kuda putih dan hitam. Kalau kuda putih dike­nyangkan, maka kuda hitam akan kelaparan. Demikian juga sebaliknya. Kuda-kuda itu menggambarkan hidup jasmani dan hidup rohani. Jika kita hanya memenuhi kebutuh-an jasmani, maka rohani kita akan kering dan sebaliknya demikian.
Firman Tuhan memberi arahan yang seimbang agar hidup ini berkenan kepada Tuhan.
Tinggalkan yang lama dan jangan diambil lagi. Melepas merupakan hal yang paling berat dalam hidup kita. Melepas dosa adalah tindakan yang paling sukar karena sudah menjadi kebiasaan. Buanglah, artinya lupakan dan jangan dipungut lagi. Bisakah kita melakukannya?
Kembali menjadi bayi rohani bukan hal yang memalukan. Keba-nyakan kita tersinggung jikalau disebut kekanak-kanakan. Firman Tu­han justru berkata “sama seperti bayi yang baru lahir”. Ada kehausan, kerinduan dan ketergantungan kepada yang lebih kuat, lebih kuasa dan yang berhak memberi. Lebih baik menjadi seperti bayi rohani daripada menjadi Kristen kekanak-kanakan.
Bukan putih, bukan hitam dan bukan abu-abu. Kadang-kadang tidak jelas identitas kita sebagai anak Tuhan. Tidak ini dan tidak itu. Katanya Kristen, tetapi perbuatannya berlawanan dengan imannya. Fir­man Tuhan meminta agar kita datang kepada Batu yang Hidup, Tuhan Yesus Kristus, agar jelas siapa kita dan tidak tergoyahkan lagi iman kita. Mau? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Allah tidak meminta aneka warna di hadapan-Nya. Ia meminta
kita menjadi terang yang menerangi semua orang.


=========================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Selasa, 22 Maret 2011

Hidup Yang Lebih Hidup

Bacaan Alkitab: Matius 11:28; Yohanes 10:28-29
...adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.
Kisah Para Rasul 20:35

Ada banyak ukuran, misalnya sentimeter, milimeter, yard dan inci. Hidup juga ada ukurannya. Ukuran apa yang digunakan untuk mengukur arti hidup atau keber­hasilan hidup kita? Ukuran yang sering dipergunakan oleh kebanyakan orang adalah mempunyai. Mempunyai pacar, gelar, mobil, atau rumah. Mempunyai anak, menantu, cucu, dan seterusnya. Mempunyai merupa­kan ukuran yang lazim dalam mengukur hidup.
Tuhan Yesus tidak menggunakan kelaziman itu. Dia bukan orang yang mempunyai ini dan itu (lihat Matius 8:20). Ukuran yang digunakan-Nya untuk mengukur keberhasilan hidup bukanlah mempunyai, melainkan memberi. Hidup Tuhan Yesus bukan diisi dengan kesibukan untuk mempunyai, melainkan dengan kesibukan untuk memberi. Tuhan Yesus mengukur hidup bukan dengan ukuran bagaimana mendapat faedah untuk hidup kita, melainkan bagaimana memberi faedah bagi hidup kita.
Jika kita hanya memikirkan apa yang kita peroleh atau yang kita punyai, maka hidup ini hanya merupakan sebuah living saja. Hidup kita baru menjadi life bila kita mulai belajar memberi; memberi perto­longan, memberi perhatian, memberi pengampunan, memberi waktu dan memberi diri. Itulah ukuran yang digunakan Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus tidak bermaksud bahwa kita tidak boleh menerima. Ia juga menerima makanan yang disajikan Marta, menerima bantuan Simon Kirene untuk memikul salib.
Menjadi manusia adalah menerima dan memberi; bersedia menerima kasih dan bersedia memberi kasih, namun kedalaman dan keluhuran arti hidup terletak dalam memberi. —Prihanto Ngesti Basuki.

Ketika kamu memberi dari milikmu, kamu memberi sedikit. Ketika Kamu memberi diri, itulah pemberian yang sebenar-benarnya. –Kahlil Gibran


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 21 Maret 2011

Mari "Menderita"

Bacaan Alkitab: Roma 13:12-14
Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya.
Amsal 25:28

Konon Douglas Mc Gregor, seorang pakar psikologi manajemen, begitu yakin bahwa orang hanya bisa disiplin jika dilimpahi hadiah, atau yang lebih mujarab lagi kalau diganjar hukuman demi hukuman. Inikah yang namanya disiplin? Tidak, sesungguh-nya disiplin adalah suatu kepiawaian mengendalikan diri.
Disiplin terkadang memang keras dan menyakitkan, namun itu tidak berarti melu- mat harga diri. Disiplin justru bisa memer-dekakan jiwa yang terbelenggu, menyemai
harapan akan kebaikan, dan memancarkan kebenaran ilahi. Disiplin itu bagaikan tembok untuk melindungi diri dari emosi-emosi negatif, yang dalam Kitab Roma dikatakan sebagai “tabiat yang bersifat daging”. Disi­plin juga bukanlah seratus persen berisi penderitaan yang sarat kepahitan dan duka nestapa.
Dalam bukunya The Road Less Traveled, Scott Peck meyakini disiplin sebagai seni dan teknik menderita secara konstruktif. Bagaimana menderita secara konstruktif itu? Cara termudah adalah dengan menunda kepuasan kita. Ini berarti kita harus rela menjadwal ulang kesenangan dan ke-nikmatan hidup kita. Saat kita diet, menghindari minuman beralkohol, atau belajar hidup hemat, sesungguhnya kita sedang menunda kepuasan. Cara yang lain, kita harus berani memikul tanggung jawab. Maling teriak maling, enggan mengambil beban atau tarak risiko, sama artinya tidak disiplin, lari dari kenyataan. Kita harus lebih mendekat pada kebenaran, karena kebenaran adalah kenyataan yang membuat kita semakin tegas berurusan dengan setiap kesulitan dan penderitaan. Sudahkah kita berani mendisiplin diri tanpa harus mengingkari kenyataan hidup ini? —Agus Santosa.

Disiplin diri adalah suatu kebiasaan hidup yang membuat
hidup ini menjadi lebih indah.


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Minggu, 20 Maret 2011

Bersikap

Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 1:1-11
Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
Pengkhotbah 1:9

Dalam sebuah perenungan yang menda­lam, Salomo sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa-peristiwa selalu terulang dalam catatan sejarah hidup manusia. Apa yang kita alami sekarang, juga pernah dialami ma­nusia sebelumnya, hingga ia berkata, “Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Bagi Salomo, tidak ada peristiwa-peristiwa yang terlalu besar dan istimewa yang mem­buat manusia harus mengalami guncangan hebat dalam hidup. Tak heran jika Salomo terjebak pada keyakinannya: “Segala sesuatu
adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (ayat 14).
Mungkin kesimpulan Salomo ada benarnya, bahwa banyak manusia begitu dikuasai oleh masalah hidup yang membuat mereka kelelahan dan kehilangan kegembiraan hidup. Hidup dilihat seperti seorang yang mengangkat beban berat dan setiap saat ia berusaha melepaskan beban itu. Hidup menjadi begitu melelahkan (ayat 13).
Lalu, adakah pilihan bagi kita untuk menemukan hidup yang sungguh dapat kita nikmati dan maknai? Bagi John C. Maxwell, sepuluh persen hidup adalah bagaimana kita menjalankannya, tetapi sembilan puluh persen adalah bagaimana kita menyikapinya. Tak peduli apa yang kita hadapi atau yang akan terjadi, sikap kita lebih penting dibanding dengan peristiwa atau kejadian yang kita alami.
Sikap adalah sebuah pilihan. Kita mau memilih menggerutu, marah, membiarkan diri dikuasai dan dikendalikan masalah kita, atau kita mau memaknai dan belajar tentang keteguhan hati, kesediaan menerima dan melihat hal positif di balik peristiwa-peristiwa bahkan hal-hal buruk yang kita alami? Mari bersikap! —Pdt. Meyske S. Tungka.
Menjadi bahagia dan bermakna adalah sebuah pilihan.


======================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi