Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Minggu, 31 Oktober 2010

Hanya Untuk Dicintai

Baca: Mazmur 127:3
Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka daripada Tuhan, dan buah kandungan adalah suatu upah.
Mazmur 127:3

Hati kita miris mendengar dan melihat kekerasan yang dilakukan oleh orangtua kandung terhadap anak-anak mereka sendiri. Belum lama, kita dibuat terperangah oleh kekerasan yang dilakukan oleh seorang ibu di Jakarta Utara, terhadap putranya yang baru berusia 5 bulan, mengakibatkan kedua ta-ngan dan kaki sang putra patah. Kita tak habis pikir, apa yang bisa dilakukan seorang anak berusia lima bulan untuk membangkitkan amarah ibunya? Paling-paling dia menangis, merasa tak nyaman karena lapar atau buang kotoran. Anak yang seharusnya sedang lucu-lucunya, menggemaskan, berceloteh, dan penuh gelak tawa, harus terbaring mengenaskan.

Kadang terbersit dalam pikiran saya, jika orangtua tidak dapat memberikan kasih sayang, bahkan hanya menyakiti anak, tidakkah sebaiknya mereka tak usah memiliki anak? Bagaimana pendapat Anda?

Dari hari ke hari kekerasan terhadap anak semakin marak. Pelakunya, sayang sekali, justru lebih banyak dilakukan oleh para ibu. Tangan ibu, yang mengandung dan melahirkan, tangan yang seharusnya membelai dan memeluk dengan penuh kasih sayang, menjadi liar tak terkendali, lalu menggampar dan mengemplang.

Anakmu bukan milikmu, demikian bunyi salah satu baris puisi penyair asal Lebanon, Kahlil Gibran. Ya, anak adalah milik Tuhan yang dika-runiakan, dititipkan kepada kita. Bagi kita yang mendapat karunia itu harus menjaganya dengan sepenuh hati. Sebab ia, si buah hati, bukan sebagai aset ketika kita tua nanti, pantas menerima yang terbaik demi kebahagiaannya semata. —Liana Poedjihastuti

Anak-anak dilahirkan untuk dicintai bukan untuk disakiti.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Menjadi Teladan

Baca: Lukas 9:49-50
Yesus berkata kepadanya: “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”
Lukas 9:50

Apa yang Anda rasakan kalau seseorang meniru tingkah laku Anda atau sesuatu yang Anda kerjakan? Katakanlah orang tersebut meniru cara Anda bertutur kata, meniru usaha yang sedang Anda jalankan atau meniru kebiasaan Anda. Apakah Anda merasa tersinggung atau tersanjung? Kalau boleh, saya menyarankan kepada Anda untuk merasa tersanjung dan membiarkan saja orang itu meniru Anda. Kalau Anda selama ini memiliki kebiasaan yang positif seperti sopan santun dalam berkata-kata, rapi dalam cara berpakaian, rajin bekerja, atau pintar bergaul, biarkan saja orang lain meniru kebiasaan Anda karena itu berarti Anda membiarkan hidupnya menjadi semakin baik.
Perhatikan keadaan sekitar kita. Segala produk yang bermutu pasti akan segera ditiru produsen lain. Kita juga boleh meniru. Kita meniru karena kita ingin selalu belajar dan mencoba hal-hal baru.
Sebetulnya meniru adalah proses yang wajar selama kita tetap menjadi diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita justru harus meneladan dan meniru Tuhan kita, Yesus Kristus. Berbahagialah dan bersyukurlah kalau hidup Anda bisa menginspirasi orang lain sehingga mereka berusaha melakukan apa yang Anda lakukan.
Pertahankan terus kebiasaan dan karakter Kristus yang Anda miliki dan buang segala karakter buruk yang masih tersisa. Hidup kita di dunia ini sangat singkat, jadi berikan nilai-nilai positif dan per¬buatan yang membangun untuk orang-orang di sekitar kita sehingga dari hidup kita mereka bisa melihat karakter Kristus dan meneladaninya. —Richard T. G. R

Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu,
dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu
dan dalam kesucianmu.
1 Timotius 4:12

Jumat, 29 Oktober 2010

Orang Ketiga

Baca: 1 Samuel 1:1-8
Tetapi madunya selalu menyakiti hatinya supaya ia gusar, karena Tuhan telah menutup kandungannya.
1 Samuel 1:6

Sebutan “orang ketiga” mempunyai pengertian negatif. Mengapa? Karena sudah banyak korban akibat “orang ketiga” yang masuk da-lam kehidupan pernikahan, entah dengan cara terang-terangan, sembunyi-sembunyi bahkan dengan kuasa gelap.
Pernikahan Elkana dan Hana yang tidak dikaruniai anak, menjadi pintu masuk bagi “orang ketiga”. Hana sakit hati dengan kehadiran Penina. Akankah Hana minta cerai atau malah stres dan bunuh diri? Tidak! Cara menyiasati hadirnya “orang ketiga menurut Hana” adalah:

Jangan meninggalkan pasangan kita di tengah pencobaan. Cinta memang kuat seperti maut. Pertahankan cinta yang telah dibina mula-mula dan jangan meninggalkan pasangan kita di tengah godaan dan pencobaan. Jangan membuka peluang iblis untuk mencari waktu yang baik (Lukas 4:13). Pertahankan seni bercinta lebih hangat lagi.
Antara madu dan racun, pilihlah botolnya untuk diisi dengan cinta. Hana sakit hati karena madu yang bernama Penina lebih memberi harapan ke masa depan daripada dirinya yang tidak punya anak. Namun Hana lebih suka mencari Tuhan dan mengisi hatinya dengan cinta kepada Tuhan (ayat 10). Akankah Anda meniru Hana ketika cinta terbagi?

Kalahkan “orang ketiga” dengan doa. Siapa sangka bahwa Hana pada akhirnya juga dikaruniai seorang anak bernama Samuel? Padahal Tuhan sudah menutup kandungannya (ayat 6). Bagi Tuhan tak ada yang mustahil. Ketika Hana berdoa, Tuhan hadir membuka kandungannya. Dia adalah Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, Ketiga-Nya yang Esa. Doa memang luar biasa kasiatnya! —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Kalau harus memilih madu atau racun,
pilihlah botolnya dan isi dengan cinta Tuhan.

Kamis, 28 Oktober 2010

Nasihat Orang Tua

Baca: 1 Raja-raja 12:6-9
Tetapi ia mengabaikan nasihat yang diberikan para tua-tua itu...
1 Raja-raja 12:8

Tak lama sesudah Rehabeam dinobatkan sebagai raja menggantikan Salomo, ayahnya, Yerobeam bersama sepuluh suku Israel wilayah utara menghadap dengan permo¬honan agar raja meringankan beban rakyat yang dulu dibebankan oleh Salomo.
Rehabeam lalu meminta nasihat para orang tua yang dulu menjadi pendamping Salomo. Para orang tua tersebut, yang rupanya tahu kekeliruan Salomo, menasehatinya agar mengabulkan permohonan rakyat, agar rakyat mau tetap tunduk kepadanya. Sayang,
Rehabeam tidak mau menuruti nasihat itu, dan lebih suka mengikuti nasihat orang-orang muda sebayanya. Akibatnya, kerajaan terpecah men-jadi dua, Israel di utara dan Yehuda di selatan.

Dari kisah tersebut dapat ditarik pelajaran, bahwa orang tua, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mampu memberikan nasihat yang tepat dalam menghadapi persoalan. Sayang, nasihat itu sering tidak dapat diterima oleh “generasi muda” yang menganggap pendapat itu kolot, ketinggalan zaman, dan sebagainya. Sedangkan nasihat yang tidak diterima, dapat membuat yang memberikannya menjadi kecewa, merasa tidak dihargai, hingga enggan mengemukakan pendapat.
Meski demikian, perlu kita sadari bahwa tetap menjadi tanggung jawab para orang tua untuk menyampaikan pendapat dan nasihat kepada kaum muda mengenai apa yang diyakini benar, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Setidak-tidaknya, pendapat dan nasihat itu dapat menjadi masukan pertimbangan yang berharga untuk memperkaya dan mempertepat keputusan yang hendak dibuat. —Pdt. Em. Sutarno.

Doa: Tuhan, karuniakan kepada kami keberanian dan kemampuan
untuk tetap menyampaikan pendapat dan nasihat yang tepat
kepada mereka yang lebih muda dari kami. Amin.

Rabu, 27 Oktober 2010

Mertua Dan Menantu

Baca: Rut 1:7-18
...sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki. Rut 4:15

Seorang pendeta menggunakan ilustrasi ini dalam khotbahnya. Anggota jemaatnya, seorang ibu, bertanya mengapa Tuhan tidak mendengarkan doanya. “Apa yang Ibu doa¬kan?” Tanya sang pendeta. “Saya doakan agar anak saya bercerai dari istrinya, sebab istrinya tidak menghormati saya, ia jahat terhadap saya,” jelas si ibu. Pendeta itu menyimpulkan bahwa Tuhan tidak mengabulkan doa yang tidak punya maksud baik (Yakobus 4:3).

Saya terpekur sembari membatin, sede¬mikian buruknyakah hubungan mertua menantu, sampai menginginkan anaknya bercerai. Tidakkah si ibu berpikir, dengan perceraian, mungkin ia bahagia, tetapi, apakah putranya akan sebahagia dirinya berpisah dari istrinya?

Tak dapat dipungkiri, dewasa ini masih saja terdengar isu hubungan mertua menantu yang jauh dari harmonis. Tetapi, lihatlah Naomi dan Rut. Hubungan mereka begitu mesra. Pasti ada yang dilihat oleh Rut dari Naomi, yang membuatnya bisa menghormati dan mengasihi mertuanya itu, dan sebaliknya (Rut 1:16-17; 4:15).
Jika kita seorang mertua, apakah perkataan, dan tindakan kita penuh pengertian seperti Naomi? Jika kita seorang menantu, apakah kita mengasihi mertua kita, seperti Rut? Bagaimanapun juga kalau tidak ada dia, ibunya, tidak akan ada suami kita bukan?

Sebagai mertua, sanggupkah kita berdoa seperti Grace Crowell, “Tak ada kata-kata yang memadai untuk mengucapkan syukur kepada-Mu, ya Tuhan, untuk istri putraku... Aku merelakan putraku bagi dia, aku yang telah begitu lama menyiapkan putraku dengan penuh kasih sayang untuk dia...” —Liana Poedjihastuti.

Cintai dan hormati mertuamu, jangan jahat
terhadapnya. Engkau sekarang memang seorang menantu,
tetapi besok engkau juga akan menjadi mertua.

Selasa, 26 Oktober 2010

Saudara Terdekat

Baca: Lukas 15:1-7
Lebih baik tetangga yang dekat daripada saudara yang jauh.
Amsal 27:10

Tidak dapat kita pungkiri, di zaman yang semakin modern ini orang semakin terpusat pada diri sendiri. Alasan seperti kesibukan, dan persaingan yang ketat, telah memaksa manusia untuk berpikir praktis dan efisien. Di satu sisi ini sungguh membuat hidup lebih baik dan mudah, tetapi pada sisi lain hubungan-hubungan menjadi renggang. Jadwal kerja yang padat membuat kesulitan bagi kita untuk berelasi dengan orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Sebegitu kuatkah modernisasi memaksa kita menjadi terasing satu dengan yang lain? Menurut saya, itu tergantung dari cara kita me-nikmati kehidupan ini. Seorang teman saya yang super sibuk, tetap me-miliki waktu untuk menyapa dan bercakap-cakap dengan teman-teman tetangganya.

Ternyata kita memang tak dapat hidup sendiri. Kita membutuhkan mereka, orang-orang yang hidup di sekitar kita. Mereka adalah bagian dari proses pertumbuhan yang sehat sebagai komunitas. Pada waktu saya membaca Amsal 27:10 ini, saya teringat nasihat ibu saya: “Saudara yang terdekat adalah tetangga.”

Memang kita perlu menata hubungan dengan tetangga. Kita perlu berbagi dan menjadi bagian dalam kesukaan dan kesedihan mereka. Yesus memberi contoh tentang kegembiraan yang dibagikan oleh se-seorang yang menemukan kembali dombanya yang hilang (Lukas 15:6). Kegembiraan bersama tetangga dijadikan simbol suasana sukacita sur¬gawi. Marilah kita bagikan kegembiraan hidup di dalam Tuhan kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, melalui dukungan, perhatian, dan ketulusan untuk saling membantu. —Pdt. Meyske S. Tungka.

Dalam kelebihan dan kekurangan bersama
orang lain, kita saling melengkapi.

Senin, 25 Oktober 2010

Dunia Semakin Sepi

Baca: Mazmur 71:9-12
Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis.
Mazmur 71:9

Seorang pendeta berkata kepada saya bahwa mulai ada gejala di gerejanya, anak-anak muda yang datang ke gereja ternyata ada yang ber-hp-ria dan ber–facebook-ria se¬mentara pelayanan firman. Ini berarti akan tumbuh sikap tidak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Pemazmur yang sudah lanjut usia kha¬watir hidupnya akan mengalami kesepian di tengah keramaian karena miskinnya ke-pedulian. Bagaimana cara menumbuhkan kepedulian agar di dalam keluarga kita tetap hangat dan segar?

Ciptakan budaya menghargai yang tua atau yang berjasa. Tua dan yang purna tugas atau pensiun hampir selalu diartikan tidak berguna, tidak punya apa-apa, tidak produktif dan sebagainya. Kasih dalam ke¬luarga harus mencakup mereka yang tua. Bukankah para lansia masih termasuk warga kita.
Yang habis seharusnya diisi dengan yang baru. Zaman ini banyak produk yang bisa “diisi ulang”. Kenapa kalau yang tua sudah habis kekuat-annya, tidak diisi lagi dengan semangat baru agar tetap hidup dan tidak kecewa di hari tuanya? Adakah anggota keluarga Anda yang perlu “isi ulang”? Mintalah kepada Tuhan, dan penuhkan dengan Roh Kudus.
Kesepian hanya bisa terobati dengan cinta. Tua bukan berarti tidak lagi membutuhkan cinta. Selama masih ada hayat dikandung badan, cinta akan menyertainya. Pemazmur menjerit jangan sampai dirinya ditinggalkan. Mengalami kesepian di tengah keramaian. Tidak ada yang menyapa dan mengasihinya. Ingat kelak yang muda juga akan menjadi tua. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Kesepian positif bisa melahirkan inspirasi.
Kesepian negatif mengakibatkan jeritan hati.

Minggu, 24 Oktober 2010

Bukan Rutinitas Semata

Baca: Ibrani 9:11-14
Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh roh yang kekal telah mempersembah¬kan diri-nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan me¬nyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada yang hidup?
Ibrani 9:14

Sering kita melihat antrean di beberapa tempat misalnya di sebuah warung makan, di loket pertunjukan konser musik, di swa¬layan. Mereka rela mengantre di tempat-tempat ramai semacam itu beberapa lama untuk mendapatkan kepuasan sesaat. Mereka mengantre di warung makan yang katanya masakannya enak, sampai makanpun terasa tak nyaman karena belum habis makannya sudah ditunggui orang yang siap untuk menempati tempat duduk yang sedang kita gunakan untuk.

Makanan jasmani saja bisa membuat kita rela untuk mengantre di warung, mengapa kita tak mau untuk mencari makanan rohani yang lebih mengenyangkan kita dari kelaparan rohani kita? Mengapa kita tak memiliki kerinduan untuk pergi ke gereja demi untuk memuasakan dahaga rohani kita?

Kita mungkin punya artis idola yang membuat kita tergila-gila. Tetapi tahukah kita, mereka hanya manusia biasa yang tak layak kita puja-puja secara berlebihan. Kita memiliki Tuhan Yesus yang lebih pantas dan layak untuk kita puja dan idolakan.

Jika kita rela mengantre dengan sabar tanpa mengeluh saat di super¬market, mengapa kita tidak juga sabar untuk mendengarkan khotbah di gereja? Kita cenderung mengeluh karena khotbah terlalu panjang, padahal sehabis kebaktian di gereja kita ada acara. Kita membatasi dengan waktu yang kita tentukan sendiri. Akhirnya kebaktian belum selesai kita sudah kabur. —Sara Tee

Jadilah Kristen sejati yang tak menganggap
pergi ke gereja sebagai rutinitas semata.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Jangan Menggeser Tuhan

Baca: Matius 19:27-30
Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggal¬kan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibu¬nya, anak-anak atau ladang¬nya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup kekal.
Matius 19:29

Sebagai orang tua, mungkin kita mengang¬gap wajar-wajar saja kalau merasa tersing¬gung dan marah, manakala nasihat kita kepada anak kita tidak dituruti. Dalam hal ini, mungkin kita merasa tidak dihormati dan disepelekan. Bukankah menjadi kewa¬jiban anak untuk menghormati dan menaati orangtuanya, sebagaimana diperintahkan di dalam Hukum ke-5?

Pendapat semacam itu, baru setengah be-nar. Dan itu sangat berbahaya. Sebab, kalau diterus-teruskan, dapat justru menjadi seratus persen tidak benar! Maksudnya, bertumpu pada perintah bahwa anak harus menghormati dan menaati orangtua, kita lalu menganggap bahwa semua pendapat kita itu pasti benar, sedang pendapat anak kita pasti salah. Oleh karena itu, semua yang kita nasihatkan, harus ditaati dan dituruti. Dalam hal ini, kita seolah-olah telah menempatkan diri sebagai “tuhan” terhadap anak kita. Padahal, sebagai manusia berdosa, kita juga memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Karenanya, mungkin saja nasihat yang ingin kita paksakan itu sebenarnya keliru.

Tuhan Yesus mengingatkan, bahwa orangtua bukan segala-galanya, yang harus ditaati dan diikuti secara membabibuta. “Barangsiapa meng-asihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku”. De-ngan kata lain, orangtua tidak boleh menggeser Tuhan, melainkan justru harus menundukkan diri kepada Tuhan. Oleh sebab itu, dalam bersikap kepada anak, orangtua juga harus menyadari keterbatasannya, dan rela merendahkan diri, tidak merasa selalu benar dan harus dituruti. —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, tolonglah kami untuk dapat merendahkan
diri di hadapan anak kami, dan lenyapkan keinginan untuk
memaksakan pendapat kepada anak kami. Amin.

Jumat, 22 Oktober 2010

Kesempatan

Baca: Lukas 10:38-42
Tetapi hanya satu saja yang perlu: maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya.
Lukas 10:42

Yang membedakan orang sukses dan gagal adalah bagaimana ia memanfaatkan kesem¬patan. Kesempatan merupakan jalan untuk menuju kesuksesan. Orang yang lemah hanya menunggu kesempatan menghampirinya. Ia terus menunggu tanpa mau berusaha. Tak jarang setelah menunggu lama, kesempatan yang datang, ia biarkan berlalu karena ia tak mengetahui atau menyadarinya.

Orang yang kuat tidak hanya menunggu kesempatan. Ia berusaha menciptakan ke-sempatan walau orang lain tak bisa melihat adanya peluang. Tipe ini terus berinovasi untuk menciptakan kesempat-an. Tetapi orang yang bijaksana, adalah orang yang bisa memanfaatkan kesempatan.
Ada yang menunggu kesempatan, ada yang menciptakan kesempatan, dan ada yang memanfaatkan kesempatan. Orang sukses adalah yang mampu memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun. Ia mampu me-respons kesempatan itu, memanfaatkan kesempatan itu lalu menindak¬lanjuti dengan suatu tindakan nyata. Tentu tak mudah memanfaatkan kesempatan yang ada untuk meraih kesuksesan. Ada rintangan dan persoalan untuk mencapainya. Tetapi di dalam kesulitan pasti tersem¬bunyi kesempatan.
Saat Yesus datang bersama murid-muridnya ke rumah Maria dan Marta, Maria mengambil kesempatan itu dengan baik. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya. Sedangkan Marta? Apa yang ia lakukan? Marta sibuk melayani. Marta telah melewatkan kesempatan besar untuk mendapatkan berkat. Bagaimana dengan kita? Mari memanfaatkan setiap kesempatan untuk lebih dekat dengan Yesus. —Sara Tee

Orang yang bijaksana mampu memanfaatkan
kesempatan untuk meraih kesuksesan.

Kamis, 21 Oktober 2010

Pendamping Anak

Baca: Kejadian 2:18-24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah¬nya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Kejadian 2:24

Pernikahan merupakan keputusan bersama antara laki-laki dan perempuan dewasa. Di dalamnya mereka ingin hidup saling bergan¬tung satu dengan yang lain dan membuat kesepakatan-kesepakatan bersama untuk menghadapi kehidupan yang penuh tantang-an. Hal inilah yang harus dijunjung tinggi oleh kedua pihak orangtua. Kedua anak yang pernah dibesarkan sekarang sudah de-wasa dan hidupnya tidak bergantung lagi kepada orang¬tuanya. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan dalam menghadapi kehidupan dengan segala permasalahannya.

Kedua pihak orangtua sudah tidak boleh terlalu banyak ikut campur dalam rumah tangga anak-anaknya. Orangtua yang masih terlalu men¬campuri keluarga anaknya hanya akan menimbulkan perpecahan dalam kehidupan keluarga anak-anaknya. Kecuali anaknya yang sudah berke¬luarga itu minta nasihat atau pertolongan orangtuanya, itu pun harus atas kesepakatan pasangan, maka orangtua bisa memberikan nasihat, pertimbangan dan bantuannya. Orangtua harus bisa menempatkan diri sebagai pendamping anak-anak yang mengasihi. —A. Budipranoto

Doa: Ya, Tuhan, sebagai lansia di mana anak kami
sudah berkeluarga, biarlah kami sebagai pendamping yang
mengasihi, tidak terlalu banyak mencampuri urusan
rumah tangga anak kami. Amin.

Rabu, 20 Oktober 2010

Peringatan

Baca: Ibrani 3:13-16
Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”...
Ibrani 3:13

Setiap bungkus rokok merek apa pun di In¬donesia wajib mencantumkan tulisan: “Me-rokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Peringatan ini barangkali lebih dianggap sekadar untuk memenuhi legal formal produk rokok ketimbang sebagai imbauan serius bagi kaum perokok akan bahaya merokok.

Ketika penulis Ibrani menganjurkan agar kita saling mengingatkan seorang akan yang lain yang menyimpang dari kebenaran, tentu
tidak dimaksudkan sekadar formalitas atau legalitas semata. Kita diminta dengan tulus hati dan sungguh-sungguh untuk menasihati orang-orang yang kita kasihi agar tidak tegar hatinya karena tipu daya dosa (ayat 13). “Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’...” Pernyataan ini menyiratkan keseriusan, bukan sekadar basa basi, agar kita menasihati orang-orang yang kita kasihi tidak melakukan perbuatan dosa yang dapat membangkitkan amarah Tuhan. Kita tidak ingin melihat suami, istri atau anak-anak kita mengeraskan hati mendengarkan suara Tuhan (ayat 15).

Yakobus berpesan, “Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik, ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berba¬lik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa” (Yakobus 5:19-20). Lalu bagaimana kita memberikan nasihat, peringatan atau teguran? Sebaiknya berdoalah kepada Tuhan sebelum memberikan nasihat, peringatan atau teguran. Ingat, seranglah masalahnya, bukan orangnya, dan tekankanlah untuk segera bertobat! —Agus Santosa

Siapa menegur orang akan kemudian lebih disayangi
daripada orang yang menjilat.
—Amsal 28:23

Selasa, 19 Oktober 2010

Jembatan Bukan Tembok

Baca: 1 Yohanes 4:17-21
Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.
1 Yohanes 4:18

Ada seorang gadis yang takut sekali kehi-langan kekasihnya. Segala cara dipakai pe¬muda itu untuk meyakinkan gadis pujaannya bahwa dirinya tidak akan mempermainkan¬nya. Suatu hari pemuda tersebut membaca ayat di atas dan dikirimkannya kepada gadis itu. Wow, luar biasa tanggapannya. Sekarang gadis itu percaya 100% kepada pemuda yang mencintainya. Apakah karena diambil dari firman Tuhan? Tidak! Tetapi makna dari kata-kata itu yang meneguhkan gadis tersebut.

Kasih yang sejati bagaikan bangunan sebuah jembatan. Jembatan tidak pernah dibuat putus di tengah. Jembatan selalu menyambung antara tempat yang satu dengan tempat di seberangnya. Putus di tengah berarti terjun ke laut, kan? Buatlah jembatan dalam rumah tangga kita, jangan sampai putus hubungan antar sesama anggota keluarga kita.

Ketakutan terjadi kalau berada di atas tembok atau di balik tembok. Orang yang takut ketinggian jangan memanjat tembok. Orang yang takut terpisah jangan berada di balik tembok. Ingat Tembok Berlin masa lalu. Dalam rumah tangga cobalah hindari membuat “tembok” . Tembok suami istri, tembok orang tua dan anak, tembok mertua dan menantu. Makin tinggi sebuah tembok, akan makin gelap suasananya. Seram!
Kasih dapat diuji melalui apa yang sedang kita bangun bersama. Rumah tangga Anda sedang mengarah kemana? Mendirikan tembok atau membangun jembatan? Yang jelas keduanya butuh waktu lama untuk membangunnya, tetapi bila sudah runtuh pasti menelan banyak korban
Pilihlah membangun jembatan dengan pondasi Kasih Kristus. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Jembatan dibangun untuk menjadi jalan kasih, tetapi tembok
akan membentuk bayang-bayang gelap di kedua sisinya.

Senin, 18 Oktober 2010

Alasan Bertengkar

Baca: Efesus 5:33
Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya.
Efesus 5:33

Apa yang biasanya menjadi alasan perteng¬karan Anda dengan pasangan? Pasti Anda bisa menyebutkan sederet alasan, mulai dari kebiasaan yang menjengkelkan sampai masalah yang lebih serius seperti perbedaan prinsip. Tetapi tahukah Anda bahwa menu¬rut Lovasik, kebanyakan pertikaian di antara pasutri dimulai karena satu pihak sedang marah kepada orang lain?

Tidak jarang para suami pulang ke ru¬mah membawa “oleh-oleh” rasa jengkel dan marah karena di tempat kerja dicela atasan, betengkar dengan rekan kerja, kuota tak terpenuhi, dan lain-lain . Tentu hal ini tak adil untuk keluarganya. Mereka tidak tahu apa-apa, tetapi kena damprat. Mestinya oleh-oleh untuk keluarga kan yang enak-enak saja.

Lalu bagaimana mengantisipasi keadaan seperti itu? Kisah Lovasik yang jenaka ini sungguh menginspirasi. Sepasang suami-istri membuat kesepakatan. Jika sang suami pulang dari ladang dalam keadaan tidak senang dan ingin marah, ia akan melipat satu bagian kaki celana lebih tinggi dari yang lain. Begitu melihat tanda itu, si istri akan tahu, itulah saat bertindak hati-hati karena suaminya bak bom yang siap ledak. Sebaliknya jika si istri sedang jengkel atau merasa tak enak, ia akan mengenakan peniti di sudut atas bajunya. Kesepakatan itu telah banyak menghindarkan mereka dari pertengkaran yang tak perlu.

Tentu di balik kesepakatan itu, terdapat dasar kuat sebagai lan¬dasannya, yaitu saling mengasihi hingga keduanya mampu bertenggang rasa. Tertarik untuk mencobanya? Mengapa tidak menemukan sendiri ke-sepakatan Anda? —Liana Poedjihastuti

Tetapi buah roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
—Galatia 5:22-23

Minggu, 17 Oktober 2010

Keseimbangan

Baca: Galatia 6:2
Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.
Galatia 6:2

Ketika saya mengatur aquarium dengan tanaman air dan ikan-ikan air tawar, saya menyadari tidak semua tanaman dan ikan dengan harga mahal harus saya beli agar aquarium terlihat alami. Ikan murah harga Rp 2.000,00 seperti ikan jenis gupi yang kecil berekor panjang dan berwarna-warni, ikan neon yang badannya mengandung warna fosfor, ikan plati berekor seperti pisau dan ikan white/ blak molly dapat diguna¬kan untuk mendampingi ikan-ikan mahal berharga puluhan ribu rupiah seperti discus merah/violet, ikan mono berbentuk segitiga warna putih, manfish yang berjurai panjang dan bala-bala yang berbentuk seperti hiu.

Kehadiran ikan-ikan murah itu tidak sekadar meramaikan aquarium dengan biaya murah, tetapi sekaligus menjadi penyeimbang warna, bentuk dan pengisi tempat kosong di sela-sela tanaman air dan kayu bakau sehingga aquarium tampak alami. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua jenis ikan dapat dicampur dalam satu tempat.

Dari perpaduan ikan-ikan itu saya belajar, rupanya keseimbangan dapat terjadi kalau kita mengetahui kelemahan dan kekuatan masing-masing. Ketika si lemah dapat menerima si kuat, dan si kuat melindungi si lemah karena membutuhkan, maka akan tercipta keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Bagaimana dengan keluarga kita, apakah setiap anggota keluarga menyadari kekuatan dan kelemahan masing-masing? Dan yang lebih penting lagi dapatkah setiap anggota keluarga saling memahami, mengerti, saling membutuhkan, dan saling menolong? —Pramudya

Dalam kelemahan kita menyadari kekuatan orang lain
dan membutuhkannya, dan dalam kekuatan, kita melihat
kelemahan orang lain dan harus menolongnya.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Di Hati Suami

Baca: Amsal 31:10-12
Istri yang cakap siapakah akan mendapat¬kannya? Ia lebih berharga daripada permata.
Amsal 31:10

Setiap perempuan harus menyadari bahwa dirinya adalah sosok pribadi yang berharga di mata Allah. Allah telah menciptakan Anda dengan istimewa, diperlengkapi dengan po¬tensi dan talenta yang sudah dikembangkan. Sesudah menikah, perempuan ditaruh dan dipasang di hati suaminya untuk dicin¬tainya. Perintah Allah kepada suami adalah untuk mengasihi istrinya, karena kecantikan dan kemolekan akan lenyap dimakan usia, satu hal yang akan lestari adalah perempuan yang takut akan Tuhan dan membawa keluarganya berjalan di jalan Tuhan.

Pertama: Jangan lenyapkan kebanggaan itu, walaupun dahulu Anda kurus, tinggi dan lansing, kini berubah, badan dan pinggang bertambah gemuk. Dahulu berwajah cantik, kini kulit menjadi kisut, dahulu wanita karier, kini menjadi nenek yang pekerjaannya momong cucu, dan siang malam menunggu panggilan anak dan mantu untuk dititipi cucu, jangan lenyapkan kebanggaan itu.

Kedua: Hai, para suami taruhlah istrimu di dalam hatimu, kasihilah dia setiap waktu dan jangan turunkan statusnya menjadi lebih rendah, dari statusnya yang semula. Janganlah kekosongan hatimu diisi oleh wanita lain.
Ketiga: Bimbinglah istri Anda dengan kepemimpinan yang ber¬dasarkan kasih bukan dengan kuasa yang tak terbantahkan. Bukan gengsi dan harga diri yang ditonjolkan, tetapi tunjukkan pengorbanan dan pelayanan apa yang bisa Anda lakukan. Niscaya hidup berkeluarga kita akan tampak indahnya. —Pdt. Agus Wiyanto

Suami jangan ingin dianggap nomor satu, yang mesti dilayani,
tetapi lakukan apa yang bisa anda lakukan untuk
kebahagiaan pasangan Anda.

Jumat, 15 Oktober 2010

Seorang Mesias

Baca: Yohanes 1:24-27
Yohanes menjawab mereka, katanya: “aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal.”
Yohanes 1:26

Di sebuah keluarga, tiga orang kakak-beradik sering kali bertengkar. Ketiganya tidak ada yang mau mengalah, apalagi bila itu me¬nyangkut kepemilikan barang-barang yang sebenarnya bisa mereka gunakan bersama. Kedua orang tua mereka, sungguh prihatin melihat ketiganya dari hari ke hari. Mereka bukannya memperlihatkan kemajuan kede¬wasaan mereka, namun semakin konyol dengan tidak segan-segan saling melukai.
Kedua orang tua mereka hampir putus asa, namun tetap berupaya mencari jalan memecahkan masalah pelik itu. Mulailah keduanya menyusun rencana, ketiga anak mereka digilir dikirim ke desa ke tempat kakek mereka, se-orang pendeta emiritus. Seperti biasa sang kakek tidak banyak bicara, namun menjelang setiap anak hendak pulang kembali ke rumah, ia sempat memesankan bahwa salah seorang dari anggota keluarga mereka adalah Mesias.
Awalnya pesan itu tidak begitu berkesan dan memberi dampak apa pun. Namun tak lama kemudian mulai tampak perubahan. Si sulung merasa kedua adiknya banyak sekali perubahan, jangan-jangan salah satu dari mereka adalah Mesias seperti kata kakek. Sebaliknya kedua adik melihat perubahan drastis dari kakak mereka. Pikir mereka jangan-jangan ini Mesias seperti yang dipesankan kakek mereka. Ketiga anak bersaudara ini mulai berhati-hati dalam bersikap, berperilaku dan berbicara satu terhadap yang lain. Perubahan hidup ini ternyata memikat yang lain, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka semua dapat hidup rukun dan saling mengasihi. —Pdt. Meyske S. Tungka

Doa: Ya Bapa, kami sungguh menyesal, begitu banyak waktu, tenaga dan daya yang kami habiskan untuk mencari engkau, namun kami ga¬gal menemukan engkau karena kami lupa bahwa Engkau selalu hadir mengamati kami dalam hidup kami setiap hari. Amin.

Kamis, 14 Oktober 2010

Keluarga Harmonis

Baca: Kolose 3:12-14
Dan di atas semuanya itu kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatu¬kan dan menyempurnakan.
Kolose 3:14

Keluarga merupakan tempat di mana sekelompok orang, oleh ikatan darah, hidup bersama-sama. Meski ada dalam ikatan darah, mungkin saja terjadi konflik antar anggota keluarga, akibat perbedaan penda¬pat dan kepentingan. Meski pada umumnya ikatan darah itu dapat menjadi perekat untuk memulihkan kembali keretakan yang terjadi, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pemulihan tidak dapat terjadi. Atau, kalau pun terjadi, itu hanya menyangkut “kulit lu¬arnya” saja, sehingga pemulihan yang sesung-
guhnya tetap tidak terjadi. Dengan demikian, ikatan darah ternyata belum dapat menjadi jaminan penuh bagi terpeliharanya keharmonisan hubungan di dalam keluarga.

Menyadari kenyataan tersebut, kita masih memerlukan dasar lain yang bersumber dari firman Tuhan, untuk memelihara dan melestarikan keserasian kehidupan berkeluarga. Dari sekian banyak nasihat menge¬nai dasar-dasar bagi hubungan antar manusia umumnya, yang pasti juga bermanfaat bagi hubungan dalam keluarga, apa yang dinasihatkan Paulus kepada jemaat Kolose dapat kita gunakan. Paulus menasihatkan, agar orang-orang percaya mau mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran dan pengampun, dalam menjalani kehidupan bersama. Paulus menekankan, “... di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Itulah “resep” dari Alkitab, yang kalau benar-benar dilakukan oleh setiap anggota keluarga, pasti akan menjadikan kehidupan dalam keluarga itu tetap serasi dan sejahtera. —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, hindarkanlah keretakan yang mengancam
keluarga kami, dengan mengaruniakan kasih-Mu
sebagai perekatnya. Amin.

Rabu, 13 Oktober 2010

Pola Timbangan

Baca: Lukas 6:27-36
Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Lukas 6:31

Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa salah satu kebutuhan kita membentuk persekutuan adalah agar kita memperoleh dukungan dan pengayoman dalam kehidupan bersama orang lain. Inilah juga yang sering kita harapkan dari sebuah persekutuan keluarga. Di dalam keluarga, bapak, ibu, anak, dan saudara merasakan kebutuhan yang sama: ingin diterima, didukung dan diayomi. Karena itu ketika keinginan itu tidak kita peroleh, maka dengan mudah kita menjadi tawar hati dan kehilangan semangat untuk hidup bersama anggota kerluarga.

Sebagai orang tua kita hanya ingin mengasihi anak-anak kita tatkala mereka berlaku manis dan tidak nakal. Sebaliknya anak-anak hanya mau mendengar apa kata orang tua tatkala semua keinginan mereka mampu dipenuhi. Seorang suami hanya akan mengasihi istrinya, kalau istrinya mau menuruti kata-katanya—dan sebaliknya. Seorang kakak hanya akan mengasihi adiknya ketika adiknya mau memenuhi perintahnya; dan seterusnya.

Apa yang ada dalam hubungan keluarga seperti tersebut di atas, adalah hubungan yang saling menuntut dan ingin memperlakukan orang lain se¬bagai bawahan dan pesuruh yang harus selalu memenuhi segala keinginan¬nya. Satu-satunya pola timbangan yang dipakai dalam hubungan macam begitu adalah: Kamu mengasihi saya, saya juga mengasihi kamu.

Tuhan Yesus mempunyai pola timbangan yang baru dalam menjalin dan membina relasi—termasuk keluarga, yakni pola timbangan: “...sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” —Pdt. Ifer Fr. Sirima

Doa: Ya Tuhan, berilah kami kemampuan untuk memakai
pola timbangan yang baru yang engkau ajarkan kepada kami
dalam kehidupan keluarga-keluarga kami. Amin.

Selasa, 12 Oktober 2010

Cocok atau Cekcok

Baca: Matius 19:1-6
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Matius 19:6

Apabila di ruang makan ada hiasan sendok dan garpu dipajang, itu wajar. Tetapi kalau hiasan itu dipasang di dalam kamar tidur, jangan berpikir bahwa suami-istri itu hobi-nya makan. Tidak. Sendok garpu adalah lambang keharmonisan suami-istri. Selalu cekcok tetapi memang itulah pasangannya. Ketahuilah bahwa Allah tidak pernah men¬jodohkan, tetapi menyatukan, seperti dua lembar kertas yang direkatkan menjadi satu. Bagaimana perjalanan rumah tangga Anda sejauh ini? Masih seperti sendok dan garpu?

Pernikahan bukan menyocokkan tetapi menyatukan perbedaan. Perbedaan pria dan wanita memang diciptakan Tuhan. Menikah ada¬lah hidup bersama orang yang berbeda sampai kematian memisahkan keduanya. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk saling mengisi dan melengkapi.
Cekcok kecil membahagiakan, cekcok besar membahayakan. Cekcok kecil memang tidak bisa dihindarkan karena perbedaan, tetapi justru itulah seninya bercinta. Yang bahaya adalah bila cekcok kecil itu dikembangkan menjadi cekcok besar. Ini yang Tuhan tidak kehendaki sebab bisa mengarah kepada perceraian.

Perangnya sendok dan garpu di atas piring, tanda masih saling membutuhkan. Berselisih paham, salah pengertian, kurang tanggap dan sebagainya jangan dibesarkan menjadi tanda-tanda perceraian. Itu sih perangnya sendok dan garpu dalam keluarga. Asal jangan sampai “piring”nya retak. Kalau mau baik, gantilah dengan piring plastik yang anti pecah. Artinya jangan saling mengeraskan hati, tapi usahakan saling mengampuni. Setuju? —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Sendok dan garpu walaupun cekcok di atas piring
usakahan jangan sampai piring pecah.

Senin, 11 Oktober 2010

Prime Time

Baca: Filipi 2:1-4
Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikan¬nya untuk membangunnya.
Roma 15:2

Saya penggemar balap mobil Formula 1. Setiap dua pekan sepanjang Maret hingga November race ini ditayangkan lewat televi¬si. Istri saya? Awalnya dia awam sekali, tetapi saya tahu ia berusaha keras untuk menik-mati F1. Race ini tak sekadar hanya bisa di¬lihat siapa pembalap dan tim pemenangnya, tetapi harus tahu tentang pitstop, regulasi, dan istilah teknis F1 lainnya. Sejatinya istri saya adalah penggemar tayangan kuliner seperti A Cook’s Tour, Chef At Home, dan juga Wisata Kuliner yang dahulu disajikan Bondan Winarno. Selain F1, saya sekarang juga menjadi penikmat tayangan kuliner. Kedua acara tersebut adalah prime time, waktu terbaik kami menonton televisi.

Apakah pernah “terjebak” dalam prime time pasangan kita? Saat di mana kita merasa tidak nyaman berada di tengah kegiatan, kesibukan, keasyikan atau kesenangan pasangan kita. Itulah saat di mana kita bisa belajar untuk mengetahui kesenangan pasangan kita, belajar untuk tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri (ayat 4). Jika kita bisa ikut menikmati prime time pasangan kita, niscaya sebagai suami-istri kita akan lebih sehati sepikir (ayat 2). Ini juga melatih kita untuk lebih mengutamakan kekasih hati, istri-suami kita (ayat 3).

Adalah keputusan kita untuk membuat pasangan hidup kita penuh sukacita, dan salah satu cara yang efektif adalah menemukan dan menge¬tahui kesenangannya, tentu saja demi kebaikan dan untuk membuat hidupnya terasa lebih hidup (Roma 15:2). Jadi, nikmatilah prime time pasangan kita, belum terlambat untuk berbagi sukacita bersama. —Agus Santosa

Waktu terbaik kita adalah menjalani kehidupan
dengan semakin sehati dan sepikir bersama pasangan kita.

Saling Mengasihi

Baca: Yohanes 13:31-35
Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Yohanes 13:34

Belum lama ini bangsa Indonesia kehilangan Ibu Ainun Hasri Habibie, istri mantan Presiden Habibie. Almarhumah dikenal se¬bagai seorang istri yang baik. Ia tidak tampak menonjol ikut campur pekerjaan suaminya, tetapi sangat berperan dalam memberi dorongan dan kekuatan saat suaminya dalam masa-masa sulit, terutama pada masa tran¬sisi pemerintahan Presiden Soeharto yang lengser dan menyerahkan jabatan presiden kepada Habibie.

Demikian seharusnya dalam kehidupan bersama suami-istri, tidaklah cukup kalau masing-masing hanya fokus menyelesaikan tugasnya sendiri-sendiri. Misalnya, seorang istri hanya fokus pada pekerjaan rumah tangga dan suami hanya fokus pada peker¬jaan untuk mencari nafkah.

Saling mengasihi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada murid murid-Nya adalah kasih agape, seperti yang diberikan Yesus kepada para murid-Nya. Kasih yang demikian adalah kasih yang penuh pengertian dan penuh pengorbanan. Dengan demikian masing-masing harus mem¬perhatikan kebutuhan pihak lain untuk dipenuhi. Seorang istri men¬dukung pekerjaan suaminya dengan segala permasalahan yang dihadapi (tidak harus mencampuri) dengan penuh pengertian dan pengorbanan, demikian pula sebaliknya.
Kebahagiaan dalam rumah tangga, bukanlah terletak pada berapa be¬sar anggota keluarga memperhatikan dirinya, melainkan memperhatikan dan mengorbankan diri untuk kepentingan pihak lain. Bukan dilayani melainkan melayani. —A. Budipranoto

Doa: Berilah kami pengertian yang benar, Ya Tuhan,
bahwa kebahagiaan dalam rumah tangga bisa terwujud apabila
kami memperhatikan dan mengorbankan diri untuk kepentingan
pihak lain. Suami kepada istri, istri kepada suami dan
orang tua kepada anak-anaknya. Amin.

Minggu, 10 Oktober 2010

Kesenjangan Hubungan

Baca: Efesus 6:1-4
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tu¬han... Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu...
Efesus 6:1, 4

Salah satu masalah yang sering muncul da¬lam kehidupan keluarga ialah “kesenjangan komunikasi”. Maksudnya, terjadinya gang¬guan dalam menjalin hubungan yang akrab dan serasi antar anggota keluarga. Penye-babnya, mungkin karena kurangnya waktu untuk bertemu, akibat terlalu sibuk atau dapat juga karena “dunia anak”, cara ber¬pikir, gaya hidup dan minatnya, berbeda dari “dunia orang tua”. Dalam keadaan yang de¬mikian, pembicaraan menjadi “tidak nyam¬bung” bahkan menimbulkan salah paham,
sehingga membuat masing-masing pihak menjadi malas untuk berko¬munikasi. Hal semacam itu selanjutnya dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih jauh lagi, di mana kedua belah pihak kurang dapat menghargai dan menghormati pihak lain. Anak menjadi kurang hormat kepada orang tua, karena menganggap orang tuanya sudah ketinggalan jaman. Sedang orang tua, yang merasa lebih tahu dan berpengalaman, menjadi kurang menghargai pendapat dan kehendak anak.

Paulus mengingatkan, bagaimanapun juga, anak harus menaati orang tua, sebagai wujud dari rasa hormat kepada orang tua, sebagaimana dituntut dalam hukum Tuhan. Sedang orang tua hendaknya jangan sam¬pai menimbulkan kemarahan dalam hati anaknya. Intinya, agar kedua belah pihak menahan diri untuk tidak merasa yang paling benar dan yang paling harus dipenuhi kepentingannya. Dengan kata lain, harus ada kesediaan untuk “berkorban perasaan”, demi terpeliharanya keserasian dalam berhubungan, disertai kemauan untuk mengakui bahwa mungkin saja dirinya sendiri yang keliru. —Pdt. Em. Sutarno.

Doa: Tuhan, karuniakanlah pada kami kesabaran dan
kerendahan hati, agar dapat memelihara keserasian
hubungan kami dalam keluarga. Amin.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Kasih Bapa

Baca: Lukas 15:11-32
...ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.
Lukas 15:20

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, entah sudah berapa lama ia menunggu, tanpa lelah, tanpa bosan. Setiap hari de-ngan setia dinantinya kedatangan anaknya yang merantau entah ke mana. Sebenarnya hatinya terluka ketika anak bungsunya itu pergi meninggalkan rumah, meninggal-kan dirinya dengan membawa semua uang bagiannya. Ia punya sejuta alasan untuk tidak lagi mencintai anaknya itu, tetapi hati seorang ayah, mana sanggup berbuat seperti itu. Meski hatinya terluka, cinta-nya terhadap anaknya tak mungkin pudar.

Ia tak bisa membencinya. Bagaimanapun dia tetap anaknya. Jadi dinantinya sang anak kembali. Ia yakin anaknya pasti kembali suatu saat nanti... nanti... tetapi kapan? Besok, lusa, setahun lagi? Tak ada kepastian. Tetapi sang bapa setia menunggu dengan sepenuh harapan, cinta dan ampunan.

Barangkali saat ini kita adalah orang tua yang sedang menunggu “kep¬ulangan” anak kita. Anak kita sedang dalam masalah besar, menunggu pertobatan. Mungkin kita sebut dia bengal menurut ukuran kita atau tidak berbakti. Apakah kita telah kehilangan cinta kepada anak kita sendiri? Bagaimanapun cinta orang tua kepada anaknya harusnya seperti cinta Allah Bapa kepada kita, manusia berdosa. Walau kita sesat, Dia masih bersabar dan mencintai. Allah Bapa tidak bisa membenci kita karena hakikat-Nya adalah cinta (1Yohanes 4:8). Dia tidak bisa menarik cinta-Nya, sama seperti bunga melati yang tak bisa menghentikan wangi aromanya bagi mereka yang jahat. Semoga kita dirahmati cinta seperti kasih Allah Bapa kita. —Liana Poedjihastuti

Pokok Doa: bagi orang tua dan anak-anak yang
sedang dalam pergumulan masalah.

Jumat, 08 Oktober 2010

Gelas Retak

Baca: Efesus 4:32
Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah
mengampuni kamu.
Efesus 4:32

Dalam suatu hubungan terkadang tidak bisa kita hindarkan adanya konflik. Demiki¬an juga halnya dengan hubungan dalam ke¬luarga. Banyak hal dapat menjadi penyebab keretakan sebuah hubungan, mulai dari yang sepele sampai ke hal-hal yang kompleks.

Sebagian orang mengatakan bahwa jika sebuah hubungan sudah retak, maka tidak¬lah mungkin diperbaiki lagi, seperti sebuah gelas yang retak tidaklah mungkin diper¬baiki menjadi seperti semula. Pendapat ini menunjukkan pandangan hidup orang yang cenderung pesimis.
Bagi orang yang optimis, akan melihat dari sudut pandang yang ber-beda. Keretakan dalam suatu relasi tidak semata-mata dilihat sebagai sebuah akhir dari relasi itu sendiri. Keretakan sebuah relasi bagi mereka dianggap sebuah peringatan yang dapat lebih mempererat relasi dan pemberian makna yang lebih dalam dari relasi itu.
Memang benar, seperti sebuah gelas retak tidaklah mungkin akan kembali seperti semua. Sekalipun dilem atau dilas kembali pasti akan ada bekas-bekasnya. Tinggal bagaimana memberikan nilai lebih dan sentuhan-sentuhan yang halus dan indah, sehingga bekas dari keretakan itu justru akan memancarkan sebuah keindahan dan harmonisasi.

Demikian juga halnya dengan relasi dalam kehidupan kita. Salah satu hal yang dapat merekatkan kembali relasi yang telah retak adalah adanya kerelaan untuk mengampuni. Memang mengampuni adalah hal yang tidak gampang dilakukan, tetapi dengan mengingat bahwa kita telah diampuni oleh Kristus, maka kita pun wajib saling mengampuni. —Darmanto

Dengan saling mengampuni kita akan mengukir
keindahan hidup yang kita jalani bersama.

Kamis, 07 Oktober 2010

Modal Kita

Baca: 1 Korintus 12:12-26
Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: “Aku tidak membutuhkan engkau.” Dan kepala tidak dapat ber¬kata kepada kaki: “tidak membutuhkan engkau.”
1 Korintus 12:21

Mengunjungi dokter gigi adalah hal yang menakutkan bagi saya, membayangan rasa sakit, ngilu, dan suara bor yang semakin memusatkan pikiran ke gigi yang sedang bermasalah. Tetapi menjalani perawatan gigi sungguh dapat mengingatkan betapa kehadiran dokter gigi sangat kita butuhkan. Demikian juga kehadiran orang-orang lain, tukang masak, atau penjual sayur yang lewat setiap pagi. Mereka memang tidak menentu¬kan hidup mati kita, tetapi bukankah dalam beberapa hal sesungguhnya kita membutuh¬kan kehadiran mereka?

Untuk dapat makan malam pada waktunya, kadang-kadang kita harus mempercayakan tugas memasak kepada tukang masak, dengan harapan ia menggunakan bahan-bahan yang layak makan. Demikian juga kepada penjual sayur, kita punya harapan ia akan lewat depan rumah pagi ini dengan membawa sayur. Alangkah repotnya bila kita harus menyelesai¬kan segala urusan sendiri tanpa kehadiran orang lain! Oleh karena itu kehadiran orang-orang lain di sekitar kita memang perlu mendapatkan penghargaan yang cukup. Rasanya tak ada ungkapan yang lebih jelas selain: Kita sungguh saling membutuhkan. Keindahannya terletak pada makna yang terkandung di dalamnya, yaitu kepercayaan, pengharapan dan penghargaan.

Hari ini marilah kita melihat bagaimana kita menjalin hubungan dengan setiap orang yang ada dalam lingkaran kehidupan kita: kelu¬arga, sahabat, kolega, saudara seiman, siapa pun. Apakah kita punya “modal”, yaitu kepercayaan, pengharapan dan penghargaan untuk membuktikan bahwa kita saling membutuhkan? —Ocky Sundari

Doa: Tuhan, tolonglah kami untuk saling mempercayai,
menaruh pengharapan dan memberi penghargaan, karena
sesungguhnya kami saling membutuhkan.
Amin.

Rabu, 06 Oktober 2010

Menjadi Penolong

Baca: Kejadian 2:21-22
Dan dari rusuk yang diambil Tuhan allah dari manusia itu, dibangun-nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Kejadian 2:22

Tuhan menciptakan penolong yang se-padan dari tulang rusuk pria untuk meleng¬kapi dan menyempurnakannya dalam hidup berkeluarga. Adalah benar yang dikatakan oleh Dale S. Hadley dalam puisinya ini: Women was created from the rib of man. Not from his head to be o bove him. Not his feet to be walked upon. From his side to be equal. Near his arm to be protected. And close to his heart to be loved.
Apa fungsi tulang rusuk? Fungsinya untuk melindungi organ tubuh yang lebih lemah seperti jantung dan paru paru. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka perempuan harus men¬jalankan fungsinya sebagai penolong, karena tidak selamanya laki-laki itu tegar dan kuat menghadapi kerasnya arus kehidupan dan ketika bergumul dengan masalah. Sesungguhnya laki-laki membutuhkan penolong ketika ia bergumul dengan pekerjaan, mengalami krisis ekonomi, ancaman PHK, bahkan ketika memasuki usia yang semakin uzur.

Pertama: Jadilah penolong bukan perongrong. Perongrong adalah orang yang selalu tidak puas dengan apa yang ada. Sudah mempunyai rumah, kok kecil, lalu minta rumah yang megah dan mentereng.

Kedua: Jalankan fungsi Anda sebagai tulang rusuk bukan untuk menusuk dengan kata kata yang pedas dan menyerang kelemahan pa-sangan Anda yang menyudutkan.

Ketiga: Angkatlah orang lain dengan tangan yang perkasa. Sebab tangan perempuan adalah tangan yang terampil melakukan sesuatu mulai dari urusan dapur sampai dengan mengurus dan mendampingi anak dan suami. Niscaya pasangan Anda akan merasakan kehadiran Anda yang bermakna. —Pdt. Agus Wiyanto

Suami membutuhkan penolong, yaitu istrinya,
yang selalu hadir di sisinya, memberikan
pertimbangan yang bermakna.

Selasa, 05 Oktober 2010

Cinta Kanak-kanak

Baca: Maleakhi 2:13-16
Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya.
Maleakhi 2:15

Seorang ahli pernikahan mengatakan, jika suami-istri mau menjalin keharmonisan, maka mereka harus kembali ke masa kanak-kanak. Artinya, jangan malu-malu untuk memperlakukan pasangannya seperti te¬man bermain di masa kecil. Anak-anak bisa cepat marah, tetapi bisa cepat pulih dan bermain lagi seperti sediakala. Kembali ke masa kanak-kanak dalam hidup berkeluarga artinya:

Tidak melupakan Tuhan yang telah mempersatukan pernikahan. Allah yang Esa telah membuat suami-istri menjadi satu bagaikan daging dan roh. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apakah keharmonisan dalam hidup keluarga kita masih seperti daging dan roh, tidak bisa dipisahkan satu terhadap yang lain?

Hidup tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang jahat dan merusak. Anak-anak kebanyakan masih polos, apa adanya dan kalaupun berbuat yang nakal itu pun karena ketidaktahuannya. Berbeda dalam hidup berke¬luarga yang tahu banyak tentang “abc-nya hidup” ini. Ingatlah bahwa kita semua adalah keturunan ilahi (ayat 15). Oleh sebab itu keluarga kita harus mencerminkan sifat-sifat Allah. Jangan melakukan hal-hal yang mempermalukan Allah.

Miliki cinta yang tulus dan setia. Cinta kanak-kanak adalah cinta yang tulus dan setia. Setiap kali ada bahaya, anak akan lari kepada orang tuanya.Kedekatannya menggambarkan ketulusan dan kesetiaannya. Keluarga Kristen seharusnya tidak lari ke mana-mana bila ada masalah. Larilah kepada Tuhan dan jadikan pasangan hidup kita sebagai teman berbagi. Cinta yang tulus dan setia harus dipertahankan sejak menikah. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Rumah tangga akan seperti tempat bermain dan
taman rekreasi bila kita bisa sehidup semati.

Senin, 04 Oktober 2010

Mengenal Kitab Suci

Baca: 2 Timotius 3:14-17
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci.
2 Timotius 3:15

Timotius adalah salah seorang murid Paulus yang sangat disayang dan dipuji-pujinya, karena sifat dan sikapnya sebagai pengikut Kristus yang taat dan setia, termasuk kese-diaannya untuk ikut menderita bersama Paulus demi Kristus. Adalah sangat menarik, bahwa selain mengemukakan sifat dan sikap Timotius yang amat terpuji itu, Paulus juga menekankan kenyataan bahwa dari kecil, Timotius “sudah mengenal Kitab Suci”. Dengan demikian, Paulus hendak mene¬kankan bahwa Timotius memiliki sifat dan sikap yang terpuji tersebut karena sejak kecil ia telah mengenal, yang berarti juga mengetahui, isi Kitab Suci yang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

Bahwa Timotius sudah mengenal Kitab Suci sejak kecil, pasti tidak terlepas dari pendidikan yang diterimanya di dalam keluarganya. Ke¬nyataan ini memberi pelajaran dan bukti bagi kita, betapa penting peran keluarga dalam melaksanakan pendidikan keimanan melalui pengenalan akan isi Alkitab. Oleh sebab itu, kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh, agar pengenalan akan isi Alkitab melalui kehidupan dan kegiatan keluarga itu dapat terlaksana. Memang, mungkin kita diper¬hadapkan dengan berbagai kendala dan kesulitan. Namun percayalah, kalau hal itu sungguh-sungguh kita akui sebagai hal yang amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan keimanan kita, pasti akan kita dapatkan jalan keluarnya. Yang penting dan menentukan, harus ada kemauan! —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, ciptakanlah dalam kehidupan dan
kegiatan keluarga kami, saat-saat untuk lebih mengenal
dan mendalami isi Kitab Suci-Mu. Amin.

Minggu, 03 Oktober 2010

Debat

Baca: 2 Timotius 3:14-17
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci.
2 Timotius 3:15

Timotius adalah salah seorang murid Paulus yang sangat disayang dan dipuji-pujinya, karena sifat dan sikapnya sebagai pengikut Kristus yang taat dan setia, termasuk kese-diaannya untuk ikut menderita bersama Paulus demi Kristus. Adalah sangat menarik, bahwa selain mengemukakan sifat dan sikap Timotius yang amat terpuji itu, Paulus juga menekankan kenyataan bahwa dari kecil, Timotius “sudah mengenal Kitab Suci”. Dengan demikian, Paulus hendak mene¬kankan bahwa Timotius memiliki sifat dan
sikap yang terpuji tersebut karena sejak kecil ia telah mengenal, yang berarti juga mengetahui, isi Kitab Suci yang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.

Bahwa Timotius sudah mengenal Kitab Suci sejak kecil, pasti tidak terlepas dari pendidikan yang diterimanya di dalam keluarganya. Ke¬nyataan ini memberi pelajaran dan bukti bagi kita, betapa penting peran keluarga dalam melaksanakan pendidikan keimanan melalui pengenalan akan isi Alkitab. Oleh sebab itu, kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh, agar pengenalan akan isi Alkitab melalui kehidupan dan kegiatan keluarga itu dapat terlaksana. Memang, mungkin kita diper¬hadapkan dengan berbagai kendala dan kesulitan. Namun percayalah, kalau hal itu sungguh-sungguh kita akui sebagai hal yang amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan keimanan kita, pasti akan kita dapatkan jalan keluarnya. Yang penting dan menentukan, harus ada kemauan! —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, ciptakanlah dalam kehidupan dan
kegiatan keluarga kami, saat-saat untuk lebih mengenal
dan mendalami isi Kitab Suci-Mu. Amin.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Sumpit

Baca: Pengkhotbah 4:9-12
Berdua lebih baik daripada seorang diri…
Pengkotbah 4:9

Di antara tiga perangkat alat makan, sendok garpu, pisau garpu, dan sumpit, yang ketiga adalah yang paling tidak terampil saya gunakan. Barangkali karena tidak terbiasa.

Menarik memperhatikan penggunaan ketiga perangkat alat makan ini. Baik sendok garpu maupun pisau garpu harus kita pegang de-ngan kedua tangan, satu alat di satu tangan. Tetapi untuk sumpit, walaupun jumlahnya dua, penggunaannya hanya dengan satu ta-ngan. Kalau digunakan dengan dua tangan malah tidak akan berfungsi. Yang lebih menarik adalah baik sendok garpu dan pisau garpu bisa ditanggalkan salah satunya, tetapi kita masih tetap bisa makan dengan nyaman dan lazim, misalnya makan hanya dengan sendok tanpa garpu, atau makan dengan garpu saja tanpa pisau. Tetapi kita tidak bisa melakukannya hanya dengan satu batang sumpit saja bukan? Harus sepasang sumpit bersama-sama dengan satu tangan.

Begitu juga relasi manusia. Tidak ada relasi, termasuk relasi dalam keluarga—suami istri, orangtua anak—yang dapat berjalan dengan baik tanpa dukungan kedua belah pihak. Demikian juga dengan perteng¬karan, tidak mungkin hanya disebabkan oleh satu pihak. Tidak ada yang satu salah atau yang satu benar. Keduanya salah, keduanya benar. Baik buruknya relasi bergantung pada peran serta kedua belah pihak. Berdua lebih baik daripada seorang diri, kata Pengkhotbah, karena mereka bisa saling membantu.

Sepasang sumpit juga bisa melambangkan doa dan usaha. Menjalin sebuah relasi haruslah disertai keduanya, tak bisa hanya salah satu saja. —Liana Poedjihastuti

Bagaimana relasi keluarga kita saat ini? Adakah yang selalu
merasa benar atau sebaliknya selalu dipersalahkan? Sudahkah kita mengupayakan suatu relasi yang bermakna, dan mendoakannya?

Senin, 27 September 2010

Masih Adakah Alasan

Baca: Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Roma 8:28

Adakalanya dalam hidup ini segala sesuatu terasa serba kelabu. Kesulitan datang berur-utan. Masalah datang silih berganti. Doa-doa sepertinya sia-sia. Ketika terjadi keadaan seperti ini, masih adakah alasan untuk ber¬sukacita?

Menurut Rasul Paulus masih ada. Kepada jemaat di Filipi, dari balik tembok penjara, ia menyerukan dengan penuh semangat: Bersu¬kacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan bersukacitalah! (Filipi 4 :4). Kata kunci dalam seruan nasihatnya ini adalah, dalam Tuhan! Kenapa mesti dalam Tuhan? Karena bila kita hidup de-ngan beriman kepada-Nya, sesungguhnya tidak pernah ada satu keadaan pun dalam kehidupan kita yang lepas dari tangan-Nya. Ia turut bekerja dalam segala sesuatu (Roma 8:28). Tetapi pertanyaan yang masih tinggal barangkali, kalau memang Allah turut bekerja dalam hidup kita, mengapa kesulitan, masalah, dan penderitaan masih tinggal berlama-lama dalam kehidupan kita? Kok tidak segera diangkat-Nya?
Tuhan bukan asal turut bekerja dalam setiap keadaan kita. Campur tangan-Nya selalu dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk kebaikan kita. Itu sebabnya ketika kita sudah berseru tetapi beban itu belum juga segera diangkat-Nya, Ia pasti mempunyai tujuan yang baik dengan semua itu. Barangkali Ia sedang memproses dan membentuk kita, agar kita menjadi lebih baik lagi di hadapan-Nya. Itu sebabnya dalam keadaan seperti ini pun kita harus tetap bisa bersukacita. Masih ada alasan untuk bersukacita, karena tahu Ia selalu menghendaki yang baik untuk kita. —Handoyo

Yang baik itu sering kali dihasilkan dari yang pahit.
Obat yang menyembuhkan sering kali rasanya
pahit dan tidak mengenakkan.

Minggu, 26 September 2010

Tuhan Menggendong Kita

Baca: Yesaya 46:3-5
Sampai masa tuamu aku tetap dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.
Yesaya 46:4

Sajak Footprints (Jejak) yang dikarang oleh Margaret Fishback telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Setiap orang termenung setiap kali membaca sajak itu, yang menggambarkan perjalanan hidup di mana telapak kaki kita dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada saat-saat musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta berbahaya, ternyata yang tampak hanya tapak kaki Tu¬han. Telapak kaki kita tidak tampak, hanya telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas.
Mana telapak kaki kita? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada saat-saat seperti itu kita sedang diangkat, digendong Tuhan.

Dalam pergumulan hidup kita sehari-hari, berapa kali sudah kita “merasa” dikecewakan Tuhan, karena pertolongan yang dirasakan begitu lambat? Mungkin kita sudah berhenti berharap, dan tidak lagi percaya akan pertolongan-Nya, karena merasa Tuhan meninggalkan kita? Jan¬gan biarkan pertanyaan itu membuat kita meragukan Dia. Sebaliknya, dengan memelihara kepekaan bahwa Allah mengunjungi kita lewat ke¬hidupan sehari-hari, kita akan diteguhkan kembali bahwa sesungguhnya Dia peduli dan sanggup menolong kita.

Kuatkan dan teguhkan hati kita sekali lagi, karena di saat paling lemah, di situ kuat kuasa Tuhan beroleh kesempatan untuk dinyata¬kan. Dalam hati kita berkata, “Aku akan menantikan dengan setia dan tidak putus asa sampai Tuhan menyatakan pertolongan-Nya. Aku percaya Tuhan tidak pernah meninggalkan aku, di masa yang sulit sekalipun, Dia mengangkat dan menggendong aku.” —Prihanto Ngesti Basuki

Pertolongan Tuhan akan segera datang.
Janji-Nya akan segera digenapi.

Sabtu, 25 September 2010

Sukacita Dalam Penderitaan

Baca: 1 Petrus 4:12-19
Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh Kemuliaan yaitu Allah ada padamu.
1 Petrus 4:14

Biasanya orang akan bersukacita kalau mendapatkan sesuatu yang berkaitan dengan kegembiraan, keberuntungan, kesuksesan atau segala hal lain yang bersifat memba¬hagiakan. Sukacita dianggap kebalikan atau lawan dari penderitaan, kegagalan, ke-sialan, kesedihan atau segala sesuatu yang bersifat merugikan. Jadi, jika ada orang yang bersukacita karena kegagalan, kedukaan, penderitaan atau segala sesuatu yang tidak membahagiakan dirinya, pasti semua orang akan mengatakan bahwa itu tidak normal.

Di antara murid-murid Tuhan Yesus, pastilah kita akrab dengan nama Petrus. Dia adalah murid Yesus yang emosional, labil tetapi sangat loyal. Petrus adalah satu-satunya murid Yesus yang pernah menyangkal menge¬nal Yesus sampai tiga kali dengan mengatakan, aku tidak mengenal Dia, ketika seseorang menanyainya pada malam Yesus akan disalib. Tetapi kemudian setelah Yesus bangkit dan naik ke surga, Petrus berubah total. Petrus merasa berbahagia dalam penderitaan, untuk nama Yesus. Bagi Petrus adalah hal yang lumrah jika dirinya mengalami siksaan, hinaan dan penderitaan saat memberitakan Kabar Baik, bahkan dia dapat ber¬sukacita dalam penderitaan itu.

Bagaimanakah dengan pelayanan kita saat ini, apakah kita juga dapat bersukacita di tengah-tengah hinaan, penderitaan dan keke¬cewaan yang mungkin kita temui? Ataukah kita merasakan bahwa pelayanan yang kita lakukan adalah beban yang sangat berat yang harus dijalankan? —Pramudya

dimuliakanlah nama-mu dalam hidupku.

Jumat, 24 September 2010

Sukacita Dengan Sesama

Baca: Roma 12:10-15
Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menagis!
Roma 12:15

Seruan dan nasihat Paulus untuk bersu¬kacita ataupun menangis bersama sesama itu tentu tidak dimaksudkan hanya sebagai perbuatan basa-basi atau pura-pura saja, me¬lainkan benar-benar merupakan wujud dari rasa solidaritas dan kepedulian yang tulus terhadap sesama. Dan semuanya itu berakar serta bersumber dari rasa kasih yang tulus, yang keluar dari lubuk hati dan kesadaran nurani yang mendalam. Sikap dan perbuatan solider seperti itu merupakan perwujudan atau penerapan dari perintah untuk mengasihi sesama sebagai diri sendiri. Atau menurut Lukas 6:31, “Seba¬gaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” Oleh sebab itu dalam Roma 12:9-10 Paulus menyerukan, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura”, dan “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara”.

Dalam hal ini sering kita berpikir dan mengira bahwa kasih, yang penerapannya berupa solider dan peduli terhadap sesama itu, memerlu¬kan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Menyadari bahwa kita tidak (lagi) cukup memiliki hal-hal tersebut, maka sering kita menjadi kecil hati dan lalu tidak berbuat apa-apa. Terhadap kenyataan seperti itu hendaknya kita menyadari bahwa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama itu tidak selalu harus “dibayar” dengan tenaga, waktu dan biaya seperti itu. Orang yang menerima perlakuan sesamanya yang dengan tulus mau bersukacita ataupun menangis bersamanya itu, tentu merasa sangat bahagia dan berterima kasih. —Pdt. Em. Sutarno

Solider dan peduli terhadap sesama, lebih memerlukan
hati ketimbang tenaga, waktu dan biaya. Oleh sebab itu,
bukalah dan sediakan hati untuk itu.

Kamis, 23 September 2010

Beban Kehidupan

Baca: Filipi 4:4-5
Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat.
Filipi 4: 4-5

Setiap orang memiliki beban kesulitannya sendiri. Haruskah setiap kesulitan hidup merampas sukacita kita? Tentu saja tidak. Lihatlah Paulus meskipun mengalami situasi yang tidak enak, sukacitanya tak terampas. Saat itu Paulus berada di dalam penjara Filipi, bahkan menunggu datangnya vonis yang bisa saja dia dijatuhi hukuman mati (Filipi 1:21-25), dan ada penyakit yang tidak sembuh. Namun dalam siatuasi hidup yang tidak enak, dengan fasilitas yang terbatas tidak menjadikan dirinya patah semangat
dengan mental yang tidak berdaya. Paulus tetap tegar beriman dan memiliki semangat, sukacita yang dibagikan kepada jemaat Filipi.
Sukacita seperti apa yang diajarkan Paulus? Jangan cari sukacita yang semu, karena dunia banyak menawarkan sukacita sesaat sebagai pelarian sesaat untuk melupakan masalah, tetapi masalah tidak terurai tuntas. Jangan cari sukacita sekadar eforia untuk meluapkan kegembiraan sesaaat, yang hasilnya tidak mengubah apa pun dalam hidup kita. Jangan cari sukacita dalam sesuatu yang fun, membuat tertawa sejenak, terpingkal- pingkal tetapi tidak menyelesaikan akar masalah yang kita hadapi. Buang pikiran yang negatif dan kembangkan pikiran yang positif.

Sebagai anak-anak Tuhan kita harus yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita pasti ada rencana dan maksud Tuhan di dalam¬Nya. Buanglah perasaan bahwa kita adalah orang yang paling malang hingga menyesali diri. Jangan membandingkan beban hidup kita dengan orang lain karena segala perkara dapat kita tanggung dalam Tuhan yang selalu memberikan kekuatan kepada diri kita. —Pdt. Agus Wiyanto
Ajakan Paulus, bersukacita senantiasa dalam segala hal,
bersukacita dalam segala keadaan. Ketika hidup
berjalan lancar maupun mengalami situasi yang tidak enak.

Sabtu, 18 September 2010

Sukacita Karena Janji Allah

Baca: Roma 8:17-18
Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah...
Roma 8:17

Seorang anak menderita dan menangis sedih karena menginginkan sesuatu yang menu¬rutnya itu sangat berarti baginya. Ketika ayahnya mengetahui hal itu dan menjanjikan akan memenuhi keinginan dan harapannya, maka penderitaan dan kesedihannya seketika itu juga lenyap. Hatinya penuh sukacita dan berbunga-bunga. Mengapa anak itu telah bisa merasa gembira walaupun apa yang di¬inginkan belum menjadi kenyataan? Hal ini disebabkan anak itu percaya bahwa ayahnya pasti menepati janjinya.

Barangkali saat ini kita juga sedang menderita karena banyak keingin-an atau perkara membebani hidup kita, masalah silih berganti datang. Usia yang sudah tidak muda lagi menjadikan kita semakin lambat dalam banyak hal, padahal masih banyak harapan dan keinginan yang belum terlaksana.

Jika kita percaya dan mengaku bahwa kita adalah anak Allah, sehingga berarti Allah adalah Bapa kita, maka seharusnyalah kita bersukacita meskipun kita menderita, karena Allah telah menjanjikan kemuliaan jika kita mau menderita besama Dia. Percayakah kita kepada Bapa kita, seperti anak yang bersukacita karena percaya kepada ayahnya? —Suprijarso

Janji Tuhan adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji,
tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah.
engkau, Tuhan, yang akan menepatinya....
—Mazmur 12:7-8

Jujur

Baca: Amsal 14:2
Siapa berjalan dengan jujur, takut akan Tuhan, tetapi orang yang sesat jalan¬nya, menghina Dia.
Amsal 14:2

Ada seorang penjual roti di kampung saya, Jombor, Tuntang, Kabupaten Semarang, Budi, demikian panggilannya. Pekerjaan se¬bagai penjual roti sudah dijalaninya puluhan tahun. Pada suatu hari Budi melayani seorang langganannya, tetapi dia lupa memberikan uang kembalian kepada pelanggannya itu. Seharusnya harga sebuah roti hanya seribu lima ratus rupiah, tetapi sang pelanggan memberi uang dua ribu rupiah, berarti masih ada kembalian lima ratus rupiah. Budi baru menyadari kemudian kalau uang kembalian itu ternyata masih ada di gerobak dorongnya.

Budi mengantar uang kembalian dengan merasa bersalah ke rumah orang itu dan meminta maaf. Dari sini terlihat, bahwa Budi tidak mau terjerumus dalam suatu kesalahan meskipun peluang untuk berlaku curang itu ada, dan meskipun nilai uangnya tidak berarti. Kejujuran te-taplah kejujuran. Dan karena kejujurannya itu Budi disayang para pelanggannya. Bagi Budi, bukan semata-mata agar disayang oleh pelang¬gannya dia bersikap jujur, tetapi lebih dari itu, karena dia tahu sikap de¬mikianlah yang dikehendaki Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya.

Mungkin tidak banyak kita jumpai orang-orang seperti Budi, yang tetap bersikap jujur dalam menjalani kehidupan dewasa ini. Untung masih ada si Budi. Di tengah kehidupan yang keras ini, bagaimanapun juga, sebagai anak-anak-Nya, kita patut menghormati Tuhan dengan hidup jujur. —Denny Reksa

Kejujuran membawa hidup kita menjadi sukacita.

Rabu, 15 September 2010

Jangan Mencobai Tuhan

Baca: Ulangan 6:16-19
Janganlah kamu mencobai Tuhan, allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa.
Ulangan 6:16

“Kalau besok aku mendapatkan pekerjaan, aku akan rajin ke gereja. Kalau aku bisa sembuh dari penyakit kanker ini, aku akan jadi aktivis gereja. Kalau kelak aku jadi orang kaya, aku akan selalu membantu keuangan gereja, kalau Tuhan mampu menyelamatkan aku dari belitan utang, aku berjanji akan persepuluhan rutin”, dan lain-lain. Pernah¬kah kita mendengar ucapan-ucapan seperti ini, atau kita sendiri yang sering mengucap¬kan kata-kata itu?

Kalau kita memperhatikan orang-orang Kristen masa kini, kebanyakan mereka dan mungkin termasuk kita, tanpa sadar sering mencobai Tuhan. Kita mengajukan suatu syarat kepada Tuhan sebelum taat melakukan perintah-Nya, padahal Tuhan tak pernah menuntut kita membayar sesuatu untuk memberkati hidup kita. Setiap hari sejak lahir sampai sekarang, Tuhan selalu memberikan udara, sinar matahari, waktu 24 jam, tak peduli kita mau menjadi Kristen atau tidak. Tuhan Yesus bahkan rela mati supaya kita selamat. Tuhan tak pernah mengajukan syarat untuk menebus dosa kita, lalu pantaskah kita meragukan kasih Tuhan dengan mencobai-Nya?
Jika hari ini kita mengalami berbagai masalah, sakit atau masalah keluarga, belajarlah untuk tidak mengeluh atau meragukan kasih Tuhan seperti yang pernah bangsa Israel lakukan, sehingga mereka di hukum Tuhan. Seorang bijak berkata, jangan meminta beban yang ringan kepada Tuhan, namun mintalah Tuhan menguatkan bahu Anda, sehingga seberat apa pun beban hidup datang silih berganti, Anda semakin kuat dan bergantung pada kuasa-Nya tanpa ragu. —Richard T. G. R

Doa: Ya Tuhan, berilah kami kekuatan untuk memikul
beban hidup kami hari lepas hari. Amin.

Menyukakan Hati Tuhan

Baca: Lukas 15:4-7
Akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.Lukas 15:7

Dalam karya-Nya sebagai Juru Selamat, Tuhan Yesus sering mendatangi orang-orang yang oleh masyarakat luas dianggap sebagai orang berdosa, seperti pemungut cukai dan penderita penyakit kusta. Sikap Yesus ini mendatangkan ketidaksenangan dan ketidak¬setujuan, khususnya kaum Farisi dan para ahli Taurat.

Menurut kaum Farisi dan ahli Taurat, orang-orang berdosa tidak perlu diperhati¬kan dan dikasihani lagi, sebab Tuhan sendiri
akan menghukum mereka akibat dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Dalam menjawab mereka yang mengecam-Nya itu, Yesus menggunkan perumpamaan domba yang hilang, yang pasti akan dicari sampai ke¬temu oleh gembalanya. Dan ketika sang gembala itu dapat menemukan dombanya yang hilang, timbullah kegembiraan dan kesukacitaan yang besar dalam hatinya. Kegembiraan seperti yang dirasakan oleh gembala itu menjadi gambaran kegembiraan yang pasti juga akan terjadi di surga, “karena satu orang berdosa yang bertobat”.
Dengan demikian, pertobatan seseorang yang berdosa itu sangat di¬hargai, dan karenanya juga diupayakan oleh Yesus dalam menjalankan karya penyelamatan-Nya. Orang yang bertobat, berarti kembali dari ke-tersesatan akibat dosa. Dan oleh pertobatan itu diampuni dan dibebaskan dari hukuman yang seharusnya dikenakan kepadanya. Oleh pertobatan, kebinasaan diganti dengan keselamatan. Itulah sebabnya, pertobatan menimbulkan kesukacitaan, tidak hanya dalam kehidupan orang yang bertobat dan persekutuan di mana orang itu berada, tetapi bahkan juga di surga. Karenanya, tidak rindukah kita untuk mau melakukan perto¬batan, demi kesukaan besar di surga? —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, kami ingin menyukakan hati-Mu.
Karenanya ajarlah dan mampukan kami untuk bertobat
dari segala kesalahan dan dosa-dosa kami. Amin.

Hidup Dengan Sukacita

Baca: Roma 8:35-39
Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.
Roma 8:37

Para gelandangan di Washington kebanya¬kan punya ponsel dan alamat e-mail untuk mengecek apakah kupon makanan gratis masih ada, apakah lamaran pekerjaannya diterima, dan sebagainya (Jawa Pos, 25 Maret 2009. Ponsel membuat mereka bisa berkomunikasi dengan dunia. Inilah orang-orang yang menghadapi hidupnya dengan sukacita. Bukan termenung menangisi nasib. Firman Tuhan memberi resep menghadapi hidup ini dengan sukacita.
Asal masih ada kasih Kristus. Manusia membutuhkan pendampingan untuk menghadapi masalah dan penderi¬taannya. Dan Kristus telah datang dengan kasih-Nya. Ia membela dan mengasihi kita dengan memberikan diri-Nya mati untuk meyakinkan kita bahwa Ia sungguh-sungguh menyertai kita. Apalagi yang disusah¬kan?

Hadapi semua masalah dengan iman. Kenyataan hidup yang pahit kadang-kadang tidak bisa dihindarkan atau ditolak. Kepada kita Tuhan mengaruniakan iman agar kita siap untuk menghadapi semua. Akal budi saja belum cukup dan bahkan kesiapan mental pun masih kurang. Paulus sudah membuktikannya, bagaimana dengan Anda?

Jadilah pemenang sekali untuk selamanya. Tidak ada pemenang yang sedih dan susah karena menang. Semua pemenang akan tertawa dan bersorak-sorai. Perjuangan dan ketabahan iman akan mengantar kita untuk bersukacita sebagai pemenang dalam perlombaan hidup ini. Karena sebelum kita menang, Tuhan Yesus sudah menang lebih dahulu. Kita ada di pihak yang selalu menang. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Hidup adalah perlombaan dan pemenangnya adalah
yang mau dimotivasi oleh pemenang yang telah
mengalahkan dosa, iblis dan maut.