Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 09 April 2011

Risiko

Baca: Daniel 6:1-29
Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk meng­atupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku....
Daniel 6:23

Tubuhnya kecil, usianya 82 tahun, tetapi keteguhan sikapnya luar biasa. Dialah Mbah Maridjan. Saat Merapi meletus tahun 2006, ia mengatakan dalam sebuah wawancara: “Merapi tidak meletus, kalau meletus itu habis. Merapi seperti orang hidup yang ber­napas, kalau sedang batuk ya mengeluarkan dahak. Kalau membuang kotoran pasti tidak di depan istana Jogja, melainkan di sam-pingnya.” Keyakinan itu membuatnya tidak mau mengungsi, walau saat itu didatangi wakil presiden. Apa yang dikatakannya benar.
Merapi meletus, tapi awan panasnya melewati sungai yang cuma berjarak ratusan meter dari desanya.
Tahun 2010, sesaat sebelum Merapi meletus, si mbah tetap tidak mau mengungsi, “Saya diminta menjaga Merapi oleh Sultan Jogja, karena itu harus bertanggung jawab. Jika saya pergi, siapa yang jaga. Apa pun risikonya saya di sini.” Bagi kebanyakan orang, sikap itu dinilai “bodoh, konyol”, tetapi bagi si mbah itulah sikap yang mengamini keyakinan­nya, walau berisiko. Akhirnya Mbah Marijan ditemukan meninggal di rumahnya yang hancur terkena awan panas.
Terlepas benar atau salah keyakinan dan sikap Mbah Marijan, ada yang dapat kita renungkan, yakni “keyakinan itu harus diamini dengan sikap, walau berisiko”. Ada banyak orang Kristen yakin, Yesus adalah Juru Selamatnya, tetapi mereka tidak mau menanggung risiko ketika dihadapkan pada dua pilihan “lari dari keyakinan—selamat” atau “tetap pada keyakinan—mati”. Yudas memilih uang dan mengkhianati Yesus. Daniel memilih Tuhan, walau dimasukkan ke dalam kandang singa. Lalu bagaimana dengan kita? —Pramudya
Yesus sadar akan risiko yang harus diterima-Nya,
ketika Dia memilih menyelamatkan kita.

==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jumat, 08 April 2011

Dianiaya Demi Kebenaran


Baca: Matius 5:10
Berbahagialah orang yang teraniaya oleh sebab kebenaran, karena mereka­lah yang empunya Kerajaan Surga.
Matius 5:10
Kisah nyata ini terjadi di sebuah kota kecil di Jawa. Ada seorang hakim Kristen, yang jujur dan tidak mau menerima suap, dan i-ngin menegakkan keadilan dalam menangani perkara di pengadilan. Rekan-rekan sekantor tentu tidak senang dengan keberadaannya. Akhirnya oleh atasannya dia dimutasikan ke Papua.
Di Indonesia saat ini, pengikut Kristus yang benar-benar ingin menegakkan nilai-nilai kristiani (keadilan, kebenaran, keju­juran) dalam pekerjaannya sehari-hari malah  mengalami perlakuan yang tidak baik, karena lingkungan kerjanya korup, menerima suap. Mereka menjadi terasing di tengah lingkungannya.
Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudoyono berjanji akan mem­berantas korupsi pada waktu kampanye, hingga saat ini aparat penegak hukum masih dipermainkan oleh para koruptor dan mafianya. Per­juangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran masih panjang. Pasti nanti ada pahlawan-pahlawan keadilan, kebenaran dan kejujuran yang menjadi martir. Mungkin perang terhadap koruptor ini baru selesai sepuluh tahun kemudian, bahkan lebih.
Tuhan Yesus mengajarkan kepada para pengikut-Nya supaya me­nyadari jika mau konsisten hidup menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah yakni kasih, kebenaran, keadilan dan kejujuran, mereka akan mengalami aniaya dari lingkungan yang membencinya. Tetaplah taat. Berbahagialah kita jika melakukan yang demikian, karena kita yang empunya Kerajaan Surga. —A. Budipranoto

Doa: Berilah kami kesetiaan untuk tetap bersikap jujur, benar
dan adil, meskipun masyarakat di sekitar kami memusuhi, karena
kami melakukan itu untuk memuliakan nama-Mu. Amin.


 ==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Kamis, 07 April 2011

Bukan Batu Sandungan


Baca: 1 Korintus 1:23-25
Kami memberitakan  Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan.
1 Korintus 1:23

Pemberitaan Paulus mengenai Kristus se-bagai Juru Selamat, namun yang mati di kayu salib, sulit dapat diterima oleh banyak orang. Bagi orang Yahudi, pemberitaan tersebut menjadi batu sandungan, karena bertentangan dengan ajaran dan penghara­pan mereka, bahwa Mesias harus merupakan Raja perkasa yang sanggup mengalahkan musuh-musuhnya. Bagi orang bukan Yahu­di, pemberitaan tentang Juru Selamat yang disalib itu juga tidak dapat diterima, karena dianggap merupakan kebodohan yang tidak sesuai dengan akal sehat. Bagaimana mungkin mempercayai Juru Selamat yang tidak dapat menyelamatkan diri sendiri?
Namun, menurut kesaksian Paulus, bagi orang-orang yang oleh kuasa Tuhan dipanggil untuk menerima keselamatan dari-Nya, Kristus yang disalib itu justru menunjukkan “kekuatan dan hikmat Allah”. Bahwa Kristus mau dan sanggup melakukan pengorbanan yang begitu besar sehingga rela disalib, itu merupakan tindakan yang menunjukkan betapa tinggi hikmat-Nya dan besar kuasa-Nya yang melampaui segala hikmat dan kekuatan manusia.
Sikap dan anggapan terhadap salib Kristus sebagai batu sandungan dan kebodohan itu ternyata hidup juga di kalangan banyak orang sampai sekarang ini, termasuk kita yang mengaku percaya kepada-Nya. Bukankah kita sering juga mengharapkan dan berusaha menjadikan Kristus sebagai yang penuh kekuasaan dan kemegahan, melalui kehidupan dan aktivitas kita sebagai Gereja maupun pribadi? Sikap dan anggapan seperti itu tidak sesuai dengan makna salib yang sesung­guhnya, sehingga harus kita hindari. —Pdt. Em. Sutarno

Doa: Tuhan, tolonglah kami untuk memahami dan
mempercayai salib sebagai hikmat dan kekuatan-Mu
yang menyelamatkan kami. Amin.


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 06 April 2011

Salib-Ku Enak

Bacaan Alkitab: Matius 11:28-30
Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.
Matius 11:30

 “Jadi orang Kristen kok susah ya? Dulu sebe­lum jadi Kristen, aku berpikir orang Kristen itu enak. Selalu bersukacita. Di mana saja, kapan saja selalu menyanyi. Dalam upacara pemakaman yang sedang diliputi dukacita saja menyanyi, apalagi pada saat suasana su­kacita. Tetapi kok setelah jadi orang Kristen, ternyata tidak seindah yang kubayangkan...”
Ya, mungkin ada di antara kita yang pernah memiliki pemikiran seperti itu, yaitu jadi orang Kristen itu enak, tanpa masalah, dan semuanya bisa beres.
Oh, jangan terburu-buru berpikiran seperti itu! Sebab, setiap manusia, termasuk juga anak-anak Tuhan, selama ia masih hidup di dunia ini, sama sekali tidak steril dengan yang namanya masalah. Siapa pun kita, pasti suatu saat akan menghadapi masalah-masalah kehidupan. Hanya saja, sebagai orang-orang beriman, kita diberi kekuatan yang luar biasa oleh Tuhan di dalam menghadapi setiap permasalahan hidup tersebut.
Secara jelas, di dalam bacaan hari ini, kita bisa melihat janji Tuhan tersebut, yaitu pada saat kita mau datang dan menyerahkan segala per-masalahan hidup kita, Tuhan pasti akan memberikan kelegaan kepada kita. Tuhan tahu persis, sampai batas mana kita mampu untuk memikul salib kita masing-masing. Jadi, percayalah apa pun masalah kehidupan yang kita alami, kita pasti sanggup untuk melewatinya, karena salib yang kita pikul itu enak, dan itu pas buat kita. —David N. Widi

Menjadi anak-anak Tuhan tidak berarti steril dari
masalah kehidupan. namun yang pasti, anak-anak
Tuhan pasti mampu memikulnya, karena salib
yang kita pikul itu enak.



==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Selasa, 05 April 2011

Menjadi Pengikut Kristus

Bacaan Alkitab: 1 Korintus 2:5
Supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.
1 Korintus 2:5
Memanggul salib bukanlah nasib tidak berdaya yang harus dihadapi manusia de-ngan perasaan menyerah. Tuhan tidak men­ciptakan manusia untuk menjadi semacam “wayang” yang ditaruh di dalam kotak, usai dipentaskan oleh “sang dalang” dalam suatu lakon pertunjukan. Sudah selesai lakon yang dimainkan dan kalah dalam pertarungan melawan kerasnya kehidupan, tentu wayang tersebut akan dimasukkan kotak. Tinggal tokoh yang kuat dan super yang bertahan.
Salib adalah konsekuensi logis yang harus dijalani, ketika manusia harus menghadapi berbagai kesulitan dengan menujukkan “integritas” dan “identitas” imannya. Tidak ada iman yang bertumbuh dengan matang kalau tidak dirabuk dengan kesulitan dan penderitaan yang datang menderanya. Kesulitan justru menjadi semacam pupuk yang memberikan spirit maju, karena kita mempunyai Tuhan yang hidup, bukan menjadi alasan lari dari gelanggang.
Seperti ditunjukkan Yesus yang berani menghadapi jalan salib dengan konsekuen dan konsisten menjalaninya, harus mencapai puncak bukit Golgota demi menebus dosa umat manusia. Sekalipun berat langkah yang harus dijalani, itu tidak menyurutkan semangat dan tekat-Nya, menjalani jalan salib sampai tuntas.
Sebagai pengikut Yesus ada salib yang harus ditanggung, seperti ditegaskan Yesus kepada para murid-Nya. Mereka akan dibenci dan tidak disukai banyak orang. Namun jangan merasa takut. Jangan pernah menye-rah sebagai pengikut Tuhan. Kita bukan ikut Yesus yang kalah memikul salib, tetapi Yesus pemenang, Ia yang mengalahkan musuh-Nya dengan cinta kasih. —Pdt. Agus Wiyanto.

Seberat apa pun salib yang anda pikul jangan coba membandingkan
dengan salib orang lain, lalu berkata salib saya lebih berat dan sukar. Ada porsi yang mampu kita tanggung dan Tuhan akan menyertai-Nya.


 ==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Salib Besar Dan Kecil


Bacaan Alkitab: Lukas 9:22-27
Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut aku, ia harus menyangkal dirinya, memi­kul salibnya setiap hari  dan mengikut Aku.”
Lukas 9:23

Beratnya memanggul salib digambarkan se­bagai berikut: Ada tiga pemanggul salib yang sama besar dan sama beratnya. Di tengah perjalanan seorang dari mereka meletakkan salib itu karena merasa sudah tidak sanggup memanggulnya. Yang seorang lagi memo­tongnya menjadi salib kecil dan ringan. Sampailah mereka di sebuah jurang tanpa jembatan. Kedua pemanggul salib menyesal karena telah meninggalkan dan mengubah salib yang mereka panggul. Hanya seorang saja yang bisa melewati jurang itu karena
salib yang besar itu cukup menjadi jembatan untuk menyeberang. Ba­gaimana dengan “salib Tuhan” yang sedang Anda panggul?
Mengikut Yesus bukan seperti mengikut seorang tokoh dunia. Ta­waran yang dihadapkan Tuhan Yesus bukan kedudukan enak, kebahagiaan masa depan, tetapi penderitaan seperti apa yang dialami-Nya (ayat 22). Jangan pernah bermimpi bahwa mengikut Yesus semua jalan jadi mulus. Jalan Tuhan memang sukar, tetapi ujung jalan-Nya pasti indah.
Mengikut Yesus harus ada yang hilang untuk bisa mendapat. Ke­hilangan nyawa adalah kata lain kehilangan yang istimewa dalam dunia ini (ayat 24). Kehilangan itu akan mendapat yang lebih istimewa sebagai upah kerelaannya untuk meninggalkan yang ditawarkan dunia. Pasti tidak rugi. Sanggupkah kita?
Mengikut Yesus, yang surgawi lebih menjanjikan daripada yang duniawi. Kekayaan, kedudukan, kesenangan macam apa pun tidak ada yang bisa menggantikan sukacita surgawi yang akan kita terima bila men­jadi pengikut Yesus yang taat dan setia. Percayalah Yesus tidak menjanjikan pepesan kosong. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Priyono.
Salib Yesus memang berat, tetapi berjalan bersama-nya yang
berat akan menjadi ringan karena Ia selalu mengajak
kita untuk bicara dalam perjalanan ini.


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 04 April 2011

Menerima Ajakan


Bacaan Alkitab: Lukas 9:57-62
Yesus berkata... “Serigala mempunyai liang dan burung mempu­nyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.”
Lukas 9:58

Sering kita menyebut diri sebagai pengikut Kristus. Bahkan ada pula lagu-lagu rohani yang sering kita nyanyikan, menyatakan ke-sanggupan kita mengikut Yesus. Benarkah kita sanggup dan sedang mengikuti Tuhan Yesus, ke mana pun arah-Nya?
Teringat saya akan anak kami ketika dia masih kecil. Suatu waktu dia menangis saat kami akan meninggalkannya di rumah, dan baru berhenti menangis ketika kami membawanya serta. Tetapi tak lama kemu­dian ia merengek minta pulang. Tentu saja,
sebab ia merasa tak nyaman di perjalanan, dan merasa tak dapat melaku­kan apa yang diinginkannya. Barangkali kita juga bersikap seperti itu ketika ingin mengikut Yesus.
Bacaan hari ini mengajak kita merenungkan undangan Tuhan.Yesus memberikan sebuah ajakan kepada seseorang untuk mengikut Dia (ayat 59), tetapi di samping itu kepada seorang lainnya Ia mengatakan bahwa diri-Nya “tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (ayat 58). Sebuah peringatan yang membuat kita berpikir berulang kali apakah mau ikut atau tidak, apalagi bila kita berada di tempat dan waktu tersebut; tak tahu ke mana arah dan tujuan kepergian-Nya.
Kepada orang-orang yang bermaksud mengikuti Dia, tetapi memiliki prioritas lain yang lebih penting, Tuhan Yesus tidak berkenan (ayat 60 dan 62). Sekarang, keputusan ada di tangan kita, apakah kita mau menerima ajakan Tuhan Yesus dan mengikuti-Nya dan siap dengan apa pun konsekuensinya? —Ocky Sundari.

Barangsiapa tidak memikul salibnya dan
mengikut Aku, Ia tidak layak bagi-Ku.
—Matius 10:38


==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Minggu, 03 April 2011

Merendahkan Diri


Bacaan Alkitab: Matius 20:26-27, 23:11-12
Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian.
Amsal 29:23

Apa warna pakaian yang Anda kenakan hari ini? Tentu itu pilihan Anda! Ya, apa yang kita kenakan merupakan pilihan kita, termasuk menjadi rendah hati juga pilihan kita. Kerendahan hati seperti pakaian yang membalut pribadi kita. Ini seperti nasihat Paulus kepada jemaat di Kolose, agar orang-orang pilihan Allah selain mengenakan belas kasihan, kemurahan, kelemahlembutan dan kesabaran, juga mengenakan kerendahan hati (Kolose 3:12).
Apakah kita membalut diri dengan kerendahan hati? Itu pilihan kita! Yesus memberikan pilihan kepada Anda dan saya, “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12). Tentang pilihan ini, C. Peter Wagner dalam bukunya, Humility, menjelas­kan bahwa meninggikan dan merendahkan merupakan kata kerja aktif, sedangkan direndahkan dan ditinggikan adalah kata kerja pasif. Kata kerja aktif menunjukkan bahwa tindakan itu tergantung sepenuhnya pada kehendak kita, sedangkan yang pasif membutuhkan kehendak Tuhan. Jadi, jika kita memilih untuk rendah hati, kita akan ditinggikan Tuhan. Jika kita tidak rendah hati, Tuhan tidak akan meninggikan kita.
Renungan hari ini ingin menuntun agar kita juga rendah hati dalam menunaikan pelayanan kita. Agar kita tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia, sebaliknya dengan rendah hati kita menganggap orang lain lebih utama daripada diri kita sendiri (Filipi 2:3). Izinkanlah kerendahan hati membalut pelayanan kita, hari ini dan juga hari-hari selanjutnya! —Agus Santosa.

Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan
Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-
Nya pada waktunya. —1 Petrus 5:6

 ==================================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi