Baca: Daniel 6:1-29
Allahku
telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga
mereka tidak mengapa-apakan aku....
Daniel 6:23
Tubuhnya
kecil, usianya 82 tahun, tetapi keteguhan sikapnya luar biasa. Dialah Mbah
Maridjan. Saat Merapi meletus tahun 2006, ia mengatakan dalam sebuah wawancara:
“Merapi tidak meletus, kalau meletus itu habis. Merapi seperti orang hidup yang
bernapas, kalau sedang batuk ya mengeluarkan dahak. Kalau membuang kotoran
pasti tidak di depan istana Jogja, melainkan di sam-pingnya.” Keyakinan itu
membuatnya tidak mau mengungsi, walau saat itu didatangi wakil presiden. Apa
yang dikatakannya benar.
Merapi
meletus, tapi awan panasnya melewati sungai yang cuma berjarak ratusan meter
dari desanya.
Tahun
2010, sesaat sebelum Merapi meletus, si mbah tetap tidak mau mengungsi, “Saya
diminta menjaga Merapi oleh Sultan Jogja, karena itu harus bertanggung jawab.
Jika saya pergi, siapa yang jaga. Apa pun risikonya saya di sini.” Bagi
kebanyakan orang, sikap itu dinilai “bodoh, konyol”, tetapi bagi si mbah itulah
sikap yang mengamini keyakinannya, walau berisiko. Akhirnya Mbah Marijan
ditemukan meninggal di rumahnya yang hancur terkena awan panas.
Terlepas
benar atau salah keyakinan dan sikap Mbah Marijan, ada yang dapat kita
renungkan, yakni “keyakinan itu harus diamini dengan sikap, walau
berisiko”. Ada banyak orang Kristen yakin, Yesus adalah Juru
Selamatnya, tetapi mereka tidak mau menanggung risiko ketika dihadapkan pada
dua pilihan “lari dari keyakinan—selamat” atau “tetap pada keyakinan—mati”.
Yudas memilih uang dan mengkhianati Yesus. Daniel memilih Tuhan, walau
dimasukkan ke dalam kandang singa. Lalu bagaimana dengan kita? —Pramudya
Yesus sadar akan risiko yang harus diterima-Nya,
ketika Dia memilih menyelamatkan kita.
==================================================================
Bilamana ingin berlangganan Rp 4.000,00 per edisi