Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 14 Mei 2011

Semak Duri


Baca: Hakim-hakim 9:8-15
Jawab semak duri itu kepada pohon-pohon: ...datanglah berlindung
di bawah naunganku....
Hakim-hakim 9:15

Syahdan pohon-pohon di Gunung Libanon pergi meminang pohon yang mau menjadi raja atas mereka, “Jadilah raja atas kami, Zai­tun!” Pohon zaitun menolak, “Apakah aku harus meninggalkan minyakku yang dipakai untuk menghormati Allah dan manusia?” Mereka menemui pohon ara, “Jadilah raja atas kami!” Ara juga menolak, “Aku takkan meninggalkan manisanku dan buah-buahku yang baik.” Pohon anggur pun diminta ke-sediaannya menjadi raja, “Ah, tidak, aku tak mau meninggalkan air buah anggurku, yang
menyukakan hati Allah dan manusia, lalu pergi melayang di atas pohon-pohon.”
Akhirnya, pohon-pohon itu menyodorkan pilihan kepada semak duri, “Marilah, jadilah raja atas kami!”Jawab semak duri itu, “Jika kamu sungguh-sungguh mau mengurapi aku menjadi raja atas kalian, datanglah berlindung di bawah naunganku; tetapi jika tidak, biarlah api keluar dari semak duri dan memakan habis pohon-pohon aras yang di Gunung Libanon!” (ayat 15). Semak duri memegahkan diri jadi raja atas pohon-pohon yang perkasa. Ia takabur memberikan naungan padahal tak rindang. Ia mengancam akan membakar pohon aras, padahal ia justru yang mudah terbakar.
John Mason dalam The Impossible Is Possible menulis: “Kesombongan adalah satu-satunya penyakit di mana si pasien merasa sehat sementara membuat setiap orang di sekitarnya merasa sakit. Kesombongan mudah berkembang tetapi tidak menghasilkan buah.” Jangan seperti semak duri yang tidak menghasilkan buah apa pun. Tetaplah menjadi diri kita, seperti zaitun yang memberikan minyak terbaiknya, seperti pohon ara yang menghasilkan buah manis, dan seperti pohon anggur yang menyukakan hati Allah dan sesama kita. —Agus Santosa
Kaca pembesar terhebat di dunia adalah mata manusia ketika
memandang dirinya sendiri. —Paus Alexander


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 11 Mei 2011

Hikmat Rambut Putih

Baca: Amsal 16:31
Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran.
Amsal 16:31

Memutihnya rambut atau ubanan meru­pakan tanda penuaan. Menjadi tua pada umumnya berarti kemunduran dan keme-rosotan dalam berbagai hal. Oleh sebab itu orang pada umumnya tidak senang menga­lami kenyataan bahwa dirinya menjadi tua. Upaya untuk mencat rambut agar warnanya tetap hitam, merupakan wujud dari reaksi penolakan tersebut.
Namun, penulis Kitab Amsal rupanya mempunyai pemahaman yang lain menge­nai rambut yang berubah warna menjadi  putih itu. Baginya, rambut putih merupakan “mahkota yang indah”. Dengan kata lain, baginya rambut putih itu bukan merupakan tanda yang harus disesali dan dihindari, melainkan justru harus dibanggakan dan disyukuri! Mahkota bermakna keagungan dan kemuliaan. Jadi, putihnya rambut, menjadi lambang dari keagungan dan kemuliaan yang ada pada diri pemiliknya. Namun dalam hal ini perlu kita perhatikan, bahwa menurut Amsal, mahkota itu didapat melalui kehidupan yang ada pada jalan kebenaran. Artinya melalui kehidupan yang menaati kehendak dan hukum-hukum Tuhan. Sebab, kebenaran di sini yang dimaksudkan adalah kebenaran Tuhan sendiri.
Pesan yang dapat kita tarik dari pernyataan Amsal itu ialah, bahwa kita tidak perlu risau menjadi tua, asal hidup kita itu kita usaha­kan selalu berada “pada jalan kebenaran”. Dalam hal ini, berbagai pengalaman dan pelajaran dari hal menaati kehendak Tuhan yang telah “terkumpul” selama hidup kita itu mungkin dapat dibagikan, sehingga menjadi kesaksian dan mungkin juga berkat bagi orang lain. —Pdt. Em. Sutarno.

Semakin tua harus berarti semakin benar dan bijaksana, agar kepatuhan dan ketertundukan orang muda tidak menjadi sia-sia.




=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Selasa, 10 Mei 2011

Berubah Untuk Berbuah

Baca: Yohanes 15:1-8
...barangsiapa tinggal di dalam Aku dan di dalam dia, ia berbuah banyak....
Yohanes 15:5

Bagi orang yang hidup di kota besar, pe­mandangan mobil-mobil mewah bermesin dan berbodi canggih berseliweran di jalan merupakan pemandangan biasa. Kecang­gihan teknologi masing-masing ditawarkan sebagai nilai lebih kepada para konsumennya. Tanpa itu, sebetulnya mobil-mobil tersebut hanyalah “mobil biasa-biasa” saja.
Manusia sering menganggap dirinya “bia-sa-biasa” saja. Namun, bila kita dengan jeli melihat dan merasakan, kita ini sesungguh­nya dianugerahi Allah berbagai kemampuan  yang harus kita kembangkan dan kita pakai agar kita menjadi “alat yang kecil” di tangan-Nya, menyatakan kebaikan dan kebenaran. Dari hari ke hari kita perlu mengupayakan agar kita berkembang menjadi lebih baik. Semakin berumur kita semakin menemukan diri kita makin lebih bermakna. Hari ini lebih baik dari hari kemarin. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Begitulah terus-menerus “evolusi” kehidupan kita se-harusnya berlangsung.
Agar dapat menjadi semakin baik, kita harus menempel pada pokok anggur yang benar, yaitu Tuhan Yesus. “...Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku... Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (ayat 4 dan 5).
Marilah kita berubah agar bisa berbuah, dari kebiasaan-kebiasaan buruk ke arah yang lebih menyenangkan hati Tuhan, dan menguat­kan sesama. —Pdt. Ifer Fr. Sirima.

Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu
berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah
murid-murid-Ku. —Yohanes 15:8



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 09 Mei 2011

Tua-Tua Keladi


Baca: Mazmur 92:13-16
Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar.
Mazmur 92:15

Pepatah“Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”, sebenarnya bisa dibaca positif, walaupun sering dipakai untuk sindiran orang usia lanjut yang tidak tahu diri. Harus dibedakan antara menjadi dan menjadi-jadi.Yang positif adalah yang menjadi bijaksana, berhikmat, menjadi teladan. Yang negatif adalah yang menjadi-jadi tidak baik, tidak bisa diteladani oleh anak-cucu. Akibatnya mempermalukan keluarga, gereja dan mas-yarakat.
Bagaimana kehidupan kita setelah memasuki usia lanjut, menjadi atau menjadi-jadi? Pemazmur berkata bahwa pada masa tua pun mereka masih berbuah. Berbuah apa dan bagaima­na?
Hidup menjadi harapan dan menarik perhatian. Pohon yang tidak berbuah akan ditebang. Sedangkan pohon yang berbuah akan menjadi harapan setiap orang untuk datang mendekat dan memetik buahnya. Saat usia lanjut masihkah kita memiliki daya tarik bagi orang lain karena ada buah dari kesetiaan kita mengikut Kristus?
Yang terpancar di luar berasal dari dalam. Sehat luar dan dalam adalah sebutan bagi orang yang memang bersih hidupnya dan sehat ba­dannya. Tidak ada orang yang bisa menipu kata hatinya sendiri. Siapakah yang ada di dalam hati kita saat ini: Tuhan Yesus atau yang lain?”
Semakin tua seharusnya semakin padat berisi. Gemuk dan segar adalah kata lain dari hidup yang padat berisi. Semakin tua apa yang kita kumpulkan? Masihkah kita mengejar yang duniawi atau semakin mendekat kepada Tuhan? Wariskan keteladanan iman kepada anak cucu lebih dari pada harta benda duniawi yang kadang malah menjadi akar perpecahan keluarga. —Pdt. Em. Andreas Gunawan Pr.

Tampilkanlah hal-hal yang rohani di hari tua, hidup
ini akan lebih bersinar ke arah surga.




=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Minggu, 08 Mei 2011

Tanpa Batas


Baca: Yakobus 1:12-18
Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.
Yakobus 1:14

Ketika sedang berjalan-jalan, seorang raja berpapasan dengan pengemis. Raja bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku?” Si penge-mis menjawab, “Tuanku bertanya, seakan-akan tuanku dapat memenuhi permintaan hamba.” Sang raja merasa tersinggung, “Tentu aku dapat memenuhi permintaan­mu. Bukankah aku raja yang berkuasa dan kaya raya?” Si pengemis lalu mengulurkan mangkuk penadah sedekah sambil berkata, “Tuanku dapat mengisi penuh mangkuk ini.” Raja menjadi geram dan merasa ditantang.
Ia segera memerintahkan bendahara kerajaan untuk mengisi penuh mangkuk pengemis itu dengan emas, namun mangkuk itu tidak pernah bisa terisi penuh. Mangkuk itu seakan berlubang. Semua emas, berlian, dan permata berharga dalam istana telah habis.
Akhirnya dengan rasa malu raja bertanya, “Terbuat dari apakah mang­kuk sedekah ini?” Pengemis itu tersenyum dan menjawab, “Mangkuk ini terbuat dari keinginan manusia yang tanpa batas. Itulah yang membuat manusia selalu bergumul dalam hidupnya.”
Keinginan tanpa batas dapat menjadi bencana bagi manusia (ayat 15). Di usia yang semakin bertambah, adakah keinginan hati kita semakin bertambah? Semakin ingin dihormati, diperhitungkan, diakui? Ada ba-nyak orang tua yang mengalami penderitaan dan rasa keterasingan karena kehilangan kekuatan untuk menjadi yang utama di tengah masyarakat, di tengah keluarga. Merasa puas dan cukup adalah salah satu cara menikmati hidup. Merasa puas dan cukup juga mendatangkan keberkatan dan kesaksian bagi orang yang melihat hidup yang kita syukuri. —Pdt. Meyske S. Tungka
Hal yang tersulit adalah mengatakan “Tidak”
kepada diri sendiri.




=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi