Menyukakan Hati Allah
…karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita
(1 Tesalonika 2:4).
Baca: 1 Tesalonika 2:1-8
Dalam banyak tradisi, pada umumnya seorang anak selalu diajar oleh orang tua agar bersikap manis dan berperangai baik kepada orang lain terlebih kepada tamu.
Berbeda dengan kebiasaan di atas, Paulus sebagai seorang rasul mengajak jemaat di Tesalonika untuk belajar menyukakan hati Allah dan bukan menyukakan hati manusia.
Sikap rasul Paulus tersebut justru sering bertentangan dengan pola pikir dan pola asuh orangtua, agar anak-anak mereka belajar “menyenangkan hati” orang lain apapun caranya.
Pola asuh yang terarah kepada “menyenangkan hati manusia” hanya akan mendorong anak-anak untuk mudah kompromi atau menerapkan filosofi “harmonisasi”; sehingga mereka tidak berani menyatakan prinsip dan nilai-nilai kehidupan yang seharusnya. Tak jarang sikap yang cenderung “menyenangkan hati manusia” akan mendorong mereka menjadi pribadi yang suka menjilat.
Dalam konteks ini para penjilat pada umumnya tidak segan untuk menjual nilai kebenaran, kesetiaan dan kesucian hidup untuk hal-hal yang sifatnya duniawi.
Orangtua yang berkarakter dan setia kepada imannya senantiasa mendidik anak-anak mereka untuk memprioritaskan Allah dengan segenap hatinya. Allah dan firman-Nya dijadikan tolok ukur satu-satunya dalam mengambil keputusan etis-moral, bahkan keputusan iman. Dengan demikian pemikiran dan keinginan manusia selalu ditempatkan di bawah otoritas firman Allah. Apabila ternyata pikiran, maksud, dan filosofi dari manusia atau dunia ini bertentangan dengan kehendak Allah, maka dia mampu menolaknya.
-Pdt. Ifer Fr. Sirima-
Sikap “menyukakan hati Allah” tidak pernah memberi tempat pada segala tindakan
yang tidak etis, amoral dan asosial.