Baca: Filipi 2:5-8
Dan dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diri-nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Filipi 2:8
Jemaat merupakan persekutuan orang-orang yang
percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat. Dalam hal ini “persekutuan”
itu mempunyai dasar dan sumbernya pada Kristus, yang melalui pengorbanan-Nya
sampai mati di kayu salib, telah memulihkan kembali hubungan baik antara
manusia de-ngan Allah dan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian, unsur
pengorbanan seharusnya menjadi salah satu aspek utama dan terpenting di dalam
persekutuan atau kehidupan bersama berjemaat. Sedangkan untuk dapat melakukan
pengorbanan, Paulus mengingatkan pentingnya kerendahan hati. Untuk itu, ia
menyerukan kepada jemaat di Filipi agar dalam kehidupan bersama atau
persekutuan itu, mereka mengacu kepada Kristus yang telah rela meninggalkan
kemuliaan-Nya dan merendahkan diri-Nya menjadi hamba yang taat sampai mati di
kayu salib, demi ke-selamatan umat manusia. Kalau Tuhan Yesus sendiri rela
mengorbankan dan merendahkan diri-Nya sampai sedemikian, maka kita pun juga
harus rela berbuat demikian.
Oleh
sebab itu, salib hendaknya menjadi tanda peringatan mengenai
betapa besarnya pengorbanan yang Ia telah karuniakan kepada kita. Selain
itu salib hendaknya juga kita terima sebagai ajakan dan panggilan untuk
bersedia mengikuti apa yang Ia telah lakukan itu, demi kesejahteraan dan
keselamatan sesama kita. Jalan salib yang kita usahakan jalani itu juga menjadi
bukti dan wujud dari ucapan syukur kita atas pengorbanan-Nya bagi kita. —Pdt. Em. Sutarno
Doa: Tuhan, ampunilah kami, kalau kami
masih
sering kurang mewujudkan makna salib
dalam kehidupan
berjemaat, karena ketidakmauan kami
merendahkan
diri demi kesejahteraan sesama. Amin.
=================================================
Salib, Kutuk atau Rahmat?
Pdt. Meyske S. Tungka
Kematian
adalah peristiwa alamiah bagi setiap makhluk hidup termasuk manusia. Namun
kematian melalui cara atau jalan penyaliban, bukanlah kematian biasa. Selain
rasa sakit yang amat sangat dirasakan, kematian dengan cara disalib merupakan
hukuman bagi orang-orang yang divonis telah melakukan kejahatan besar sehingga
dianggap mengalami kutukan dari Tuhan (Ulangan 21:23).
Penyaliban
Yesus sungguh menarik hati banyak orang, sebab Yesus bukanlah pelaku kejahatan
yang merugikan seseorang atau orang ba-nyak seperti yang biasanya dilakukan
para penjahat kelas kakap. Menurut Leonardo Boff, Yesus telah menjadi skandal
bagi banyak lapisan masyarakat pada waktu itu. Mereka adalah para ahli Taurat
yang sangat menjaga ketat tafsir kitab-kitab suci, kaum Saduki yaitu para imam
dan keluarga ningrat yang kolot dan oportunis, para tokoh masyarakat, pengusaha
kaya, pejabat ibukota Yerusalem, partai politik Herodian (yang dekat dengan
Herodes) yang menginginkan kemerdekaan dari penguasa yaitu bangsa Romawi
(Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator, 1972). Gutierrez (1973) juga
menyimpulkan bahwa kematian Yesus pada salib adalah sebuah skandal politik dan
oleh Pilatus Ia dinobatkan sebagai “Raja Orang Yahudi”.
Ketakutan para penguasa politik maupun agama
terhadap keha-diran Yesus sangatlah berlebihan. Dalam pikiran mereka Yesus
tengah mengumpulkan kekuatan massa untuk menggulingkan penguasa. Namun
kebangkitan Yesus telah mengubah kenyataan yang konyol itu. Kebangkitan Yesus
mematahkan kekuatan manusia yang sarat dengan rekayasa dan intrik politik mapun
agama. Gutierrez kemudian memberi makna teologis dari kematian Yesus, yaitu: Ia
mati sebagai korban situasi keberdosaan manusia.
Yesus
mati karena berjuang untuk pembebasan dan memerangi akar dari tatanan yang
tidak adil. Yesus sadar sepenuhnya ada harga yang harus dibayar bagi
pembebasan manusia dari ikatan kuasa kejahatan dan dosa yaitu “ketaatan pada
kebenaran” dan risikonya adalah mati di kayu salib.
Yesus
mau mengajarkan kepada dunia, bahwa ketaatan pada kebenaran selalu mengandung
risiko, dan bahwa hanya orang-orang yang berani menangung risiko itulah, yang
akan membawa dunia dan manusia pada pemulihan dan penyelamatan. “Tiada
kebangkitan tanpa Salib.” Tiada kemenangan tanpa kerelaan menderita.
Penderitaan adalah cara berada Tuhan dalam solidaritas dengan manusia. Dengan
demikian Tuhan adalah cinta. Tanpa penderitaan, Tuhan tidak sempurna dalam
mencintai manusia dan dunia.
Ini
sebuah pilihan. Sebuah bentuk kebebasan Allah untuk menentukan jalan dan
cara-Nya mengasihi manusia. Dan lihatlah... segala kuasa tunduk dan takluk pada
cara mengasihi yang sedemikian (Filipi 2:6-11). Cinta Tuhan adalah
mengorbankan diri-Nya sendiri, supaya manusia tiba pada cinta sejati. Salib
bukan lagi sebuah kutuk. Salib bukan lagi simbol ketidakberdayaan manusia Yesus
yang tanpa dosa itu. Salib telah membungkamkan suara lantang para tentara
Romawi. Salib telah memecah tabir Bait Allah yang menjadi simbol pemisah antara
manusia dan Allah yang diciptakan agama. Salib telah membuat para penguasa
dunia dan agama tertunduk dan harus mengakui “sungguh Ia adalah Anak Allah.” Penyaliban
Yesus memperlihatkan bahwa kebenaran Ilahi sedang menyelimuti manusia dengan
cinta yang membebaskan dari keterikatan dan kekuatan jahat dan dosa.
Salib
sebagai lambang kutuk itu telah berubah makna—oleh pengor-banan Yesus—menjadi
simbol rahmat dan anugerah: untuk setiap orang yang mau menderita dalam
ketaatan kepada Tuhan, akan tersedia kehi-dupan yang membebaskan. Bebas dari
rasa takut, rasa salah dan terutama bebas dari kendali dosa. Salib itu juga
telah menjadi simbol cinta yang berbagi. Perjamuan Kudus sebagai lambang
tercurahnya darah dan ter-pecahnya tubuh Yesus adalah bukti pemberian diri.
Bukti cinta yang membebaskan. Adakah cinta yang lebih besar dari Yesus yang
tersalib bagi kita? ■