Tentang Sanggar Mitra Sabda

Foto saya
PROFIL Sanggar Mitra Sabda adalah sebuah Lembaga Swadaya Gerejawi, Mitra Gereja/ Lembaga bagi pemulihan relasi dengan Allah; dengan diri sendiri, dengan sesama dan dengan lingkungannya.

Sabtu, 23 April 2011

Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani

Baca: Markus 15:33-41
Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, lama sabakhtani?” yang berarti: Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
Markus 15:34

Teriakan Yesus, “Eloi, Eloi, lama sabakh-tani” menurut tafsir Alkitab tradisional di­pahami sebagai jeritan manusia yang sedang berada di dasar jurang penderitaan. Ia men­derita secara fisik—tergantung dengan kaki-tangan terpaku pada sebuah salib; secara mental—ditinggalkan sendiri oleh semua kawan dekat yang lari menyelamatkan diri sendiri; dan secara spiritual—ditinggalkan Allah. Melihat Orang yang sangat menderita ini, apa yang bisa kita pelajari tentang ke-salahan yang sering dibuat orang ketika me-
lihat sesamanya yang menderita?
Kesalahan pertama, mengharapkan orang lain datang menolongnya (ayat 35-36). Kedua, memberikan pertolongan yang keliru (ayat 36). Air anggur asam yang diberikan kepada Yesus dimaksud untuk “memperpan­jang” hidupnya sampai Elia yang dinanti datang menolong-Nya. Orang menolong sesamanya yang menderita bukan untuk membebaskannya melainkan untuk membuatnya “bertahan” dalam deritanya. Kesalahan ketiga, memandang dari kejauhan (ayat 40-41). Mereka tidak berbuat apa-apa selama sesamanya menderita. Hanya melihat saja dan menunggu sampai ia mati. Nanti setelah mati baru berbuat sesuatu (ayat 42-47).
Yesus memberi kita teladan yang terbalik dari praktik umum manusia. Ketimbang menunggu orang lain, Ia sendiri turun tangan menolong. Bukannya menjauh, Ia malah mengambil bagian dalam derita manusia dan memberi manusia yang menderita pertolongan yang tepat. Kepada teladan inilah Tuhan Yesus memanggil kita semua untuk melakukannya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa.

Tatkala mengetahui sesama yang menderita, selama ini
apakah yang lebih banyak kita lakukan? diam saja? Berharap?
Berdoa? Atau, memberi pertolongan yang tepat?


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Jumat, 22 April 2011

Jadilah Kehendak-Mu

Kamis, 21 April 2011
Jadilah Kehendak-Mu
Baca: Matius 26:36-46
Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-nya: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!”
Matius 26:42

Peristiwa yang dialami Tuhan Yesus meng­ingatkan kita bahwa Dia sebagai Manusia juga menghadapi persoalan-persoalan yang berat. Semula Tuhan Yesus berharap agar para murid bersikap sebagai pendamping diri-Nya. Akan tetapi, di saat Ia berjuang menggumuli berbagai konsekuensi dahsyat yang harus ditanggung-Nya, para murid justru tertidur lelap tanpa beban.
Jika kita mengamati pergumulan Tuhan Yesus di Taman Getsemani ini, ada saat di mana Ia ingin sekali melepaskan hal yang di-
sebut-Nya sebagai cawan pahit. Sikap Yesus mengajarkan kepada kita tentang bagaimana Dia bersikap terhadap pergumulan yang sangat berat dalam hidup-Nya, yaitu berdoa, mempersiapkan hati sehingga dengan hati yang tulus tunduk pada kehendak Bapa, bukan memaksa Allah untuk menuruti kehendak-Nya.
Apa yang Tuhan Yesus lakukan di Taman Getsemani bukan sedang bernegosiasi dengan Allah, melainkan untuk menegaskan bahwa Dia berserah penuh pada Allah. Tuhan Yesus tahu bahwa apa yang akan di-lakukan-Nya, yaitu menderita dan mati di salib bukanlah untuk kepen-tingan diri-Nya sendiri, tetapi untuk menggenapi rencana keselamatan Allah bagi umat manusia.
Hal yang memampukan kita tunduk pada kehendak Allah adalah membina hubungan yang erat dengan Bapa. Ini yang membuat kita mampu menghadapi pergumulan berat yang menimpa kita, seperti yang telah dilakukan Tuhan Yesus di Taman Getsemani. —Prihanto Ngesti Basuki.
Doa: Ya Tuhan, ajarlah aku menempatkan kehendak-Mu
dalam setiap langkahku. Amin.


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Kamis, 21 April 2011

Urapan Maria

Baca: Yohanes 12:1-8
Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku.
Yohanes 12:7

Mendapat kesempatan mengalami ke­bersamaan yang begitu pribadi menjelang kematian seseorang yang kita sayangi dan hormati, menjadi peristiwa yang tidak mung­kin terlupakan. Maria mendapatkan kesem­patan itu. Keinginan yang begitu kuat untuk berada di sisi Yesus dan melakukan tindakan pengurapan pada diri Yesus, adalah sebuah keberanian yang lahir dari kekuatan hati untuk mengasihi dan menghormati Yesus.
Pengurapan itu telah mengejutkan orang-orang yang hadir di situ. Menurut ukuran
etika, apa yang dilakukan Maria adalah sebuah tindakan yang tidak layak, sebab Sang Rabbi telah diurapi oleh seorang perempuan biasa, bahkan seorang perempuan sundal (Lukas 7:37). Dari sudut pandang Yudas Iskariot pengurapan dengan minyak yang mahal itu merupakan tindakan pemborosan.
Yesus justru menerima tindakan Maria dengan hati terbuka. Yesus melihat pada keberanian yang lahir dari luapan kasih dan penghormatan yang mendalam dari diri Maria, dan itu hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang begitu rindu dijamah oleh cinta ilahi yang ada dalam diri Yesus.
Urapan Maria adalah peristiwa imaniah antara kehausan seorang anak manusia akan pemulihan dari noda-noda dosa, dengan Tuhan yang bersedia menyambut dan menerima bentuk pengabdian dan pemberian diri yang penuh tobat. Cara-cara seperti ini amat dihargai Yesus lebih daripada sekadar rangkaian tindakan yang mengatasnamakan kebajikan. Yesus menerima pengabdian dan pemberian diri dari hati yang bernyala oleh kasih. —Pdt. Meyske S. Tungka.

Mengurapi Yesus berarti mengikut Yesus di jalan Salib,
rela mengalami penderitaan demi kesetiaan pada Dia. Dan
tak ada yang terlalu mahal bagi hati yang mencinta.

=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Rabu, 20 April 2011

Pengakuan Dosa


Baca: Lukas 18:13
Ya allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
Lukas 18:13

Seorang misionaris di China memiliki sebuah gereja kecil dan sederhana tanpa hiasan apa pun. Suatu hari menjelang Paskah beberapa umat pergi ke gereja yang lebih be­sar di kota lain. Mereka melihat gereja besar itu penuh dengan poster dan hiasan-hiasan berwarna warni. Timbul keinginan untuk juga menghias gereja mereka di desa. Mereka tiba kembali ke desa pada hari Sabtu sunyi. Tak ada kesempatan lagi untuk membuat hiasan. Setelah berunding, akhirnya mereka cepat-cepat pergi ke binatu, meminjam beberapa potong pakaian bersih. Mereka menggantungkan pakaian-pa-kaian bersih itu pada sebuah bambu panjang membentang dalam gereja. Tentu saja misionaris itu terkejut melihat hiasan unik yang terdiri dari berbagai jenis pakaian yang baru dicuci bersih. Pakaian bersih, Tonne penulis kisah ini menyimpulkan, betapa cocoknya sebagai simbol orang yang telah mengakui dosa sebelum Paskah.
Sayang, tidaklah mudah untuk mengakui kesalahan atau dosa diri sendiri karena orang cenderung menganggap diri benar, tak bersalah. Padahal mengakui diri sebagai orang berdosa diperlukan bagi keselamat-an kita. Pengakuan bahwa dirinya berdosa akan membawa pada penye­salan dan pertobatan yang benar. Berani mengakui dosa dan kesalahan sendiri merupakan jalan untuk bisa merasakan belas kasihan Allah yang Maharahim, yang tidak memperhitungkan dosa-dosa manusia. Dengan mengakui dosa di hadapan Allah, kita akan merasakan tindakan-Nya yang mengampuni, membersihkan dan menjadikan kita sebagai ciptaan baru. Sudahkah kita? —Liana Poedjihastuti.

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang
lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
—2 Korintus 5:17



=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Selasa, 19 April 2011

Mata Ganti Mata?

Baca: Matius 5:38-42
...siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Matius 5:39

Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Kita rasa itu adil dan lebih serasi dengan akal sehat. Tetapi apa yang Tuhan Yesus ajarkan? “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepa­danya pipi kirimu” (ayat 39). Ah, tentu saja di dalam hati kita berontak! Jika seseorang menampar pipi kiriku, kutampar juga pipi kirinya! Manusiawi sekali, dan Tuhan me­mang tidak mengajar kita sekadar manusiawi, tetapi menjadi seperti Dia.
Apa yang Yesus ajarkan itu suatu paradoks, berbenturan dengan pendapat umum, tak lazim, tetapi mengandung kebenaran sejati. Jika Anda ditampar dan menampar balik, mungkin saja itu benar. Mata ganti mata rasanya lebih adil, tetapi Yesus menistakan tindakan demikian. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini...” (Roma 12:2). Yesus ingin kita berbuat lebih untuk orang lain, “...siapa pun yang me­maksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (ayat 41).
Kent M. Keith menerjemahkan tindakan paradoksal ini di dalam situsnya Paradoxical Commandments.com. Ia menulis, “Seseorang butuh pertolongan Anda, tetapi mungkin akan menyerang saat Anda mengulur­kan tangan, bagaimanapun tolonglah mereka! Ketika Anda memberikan yang terbaik kepada dunia, mungkin itu membuat Anda ditendang, bagaimanapun tetap berikanlah yang terbaik! Kebaikan yang hari ini Anda lakukan mungkin akan dilupakan besok, bagaimanapun tetaplah berbuat baik!” Inilah cara yang paling sederhana, ujian paling mudah untuk memanggul salib, yakni melakukan tindakan benar di mata Tuhan. —Agus Santosa.

Orang Kristen harus seperti sebatang lilin, tetap tenang
dan terbakar pada saat yang sama. —Merv Rosell


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Senin, 18 April 2011

Mati Demi Kasih

Baca: Yesaya 53:1-6
...ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepa­danya, dan oleh bilur-bilur-nya kita menjadi sembuh.
Yesaya 53:5

Adalah sepasang muda-mudi yang menja­lin cinta namun tidak disetujui oleh salah satu pihak orangtua. Sang lelaki bunuh diri yang kemudian diikuti juga oleh gadisnya, namun si gadis sempat tertolong nyawanya. Pasangan itu bermaksud membuat sejarah bahwa mereka mati demi cinta. Yang dilaku­kan Yesus bukan seperti itu dan juga bukan bunuh diri.
Nubuat Nabi Yesaya mengingatkan kita bahwa salib Kristus adalah sebuah pengor­banan yang sangat mahal harganya. Tragedi  yang mengubah sejarah keselamatan manusia. Bagaimana dengan kita sebagai pengikut-Nya ?
Tragedi salib terjadi karena Yesus tidak menarik (ayat 2). Sebagai pengikut dari Orang yang dianggap tidak menarik kita harus mempunyai cara bagaimana mengubah yang tidak menarik menjadi menarik. Ajaran Tuhan Yesus adalah ajaran kasih yang berkorban. Hanya melalui hidup kita maka Nama Yesus akan menjadi daya tarik banyak orang.
Tragedi salib adalah bukti penolakan manusia terhadap Allah (ayat 3). Yesus ditolak dan dihindari, namun Ia sudah biasa menderita sedemikian. Pernahkah Anda ditolak dan dihindari orang hanya karena Nama Kristen dan memakai atribut Kristen? Jangan malu untuk tetap mengakui Dia dan bersaksi.
Tragedi salib adalah acara memanggul semua penderitaan kita (ayat 4). Bagai seorang ibu yang menjagai anaknya yang sakit keras: “Nak, sembuhlah, Ibu mau menggantikan sakitmu. Biar Ibu saja yang sakit. Jangan kamu.” Itulah Yesus yang mau membawa semua penderitaan kita dan menggantinya dengan keselamatan kekal. Percayalah! —Pdt.Em. Andreas Gunawan Priyono.

Salib Kristus adalah tragedi manusia yang dipertontonkan kepada
dunia bahwa keselamatan terjadi bila ada pengorbanan.


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi

Minggu, 17 April 2011

Salib = Krendahan Hati

Baca: Filipi 2:5-8
Dan dalam keadaan  sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Filipi 2:8


Jemaat merupakan persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat. Dalam hal ini “persekutuan” itu mempunyai dasar dan sumbernya pada Kristus, yang melalui pengorbanan-Nya sampai mati di kayu salib, telah memulihkan kembali hubungan baik antara manusia de-ngan Allah dan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian, unsur pengorbanan seharusnya menjadi salah satu aspek utama dan terpenting di dalam persekutuan atau kehidupan bersama berjemaat. Sedangkan untuk dapat melakukan pengorbanan, Paulus mengingatkan pentingnya kerendahan hati. Untuk itu, ia menyerukan kepada jemaat di Filipi agar dalam kehidupan bersama atau persekutuan itu, mereka mengacu kepada Kristus yang telah rela meninggalkan kemuliaan-Nya dan merendahkan diri-Nya menjadi hamba yang taat sampai mati di kayu salib, demi ke-selamatan umat manusia. Kalau Tuhan Yesus sendiri rela mengorbankan dan merendahkan diri-Nya sampai sedemikian, maka kita pun juga harus rela berbuat demikian.
Oleh sebab itu, salib hendaknya menjadi tanda peringatan menge­nai betapa besarnya pengorbanan yang Ia telah karuniakan kepada kita. Selain itu salib hendaknya juga kita terima sebagai ajakan dan panggilan untuk bersedia mengikuti apa yang Ia telah lakukan itu, demi kesejahteraan dan keselamatan sesama kita. Jalan salib yang kita usahakan jalani itu juga menjadi bukti dan wujud dari ucapan syukur kita atas pengorbanan-Nya bagi kita. —Pdt. Em. Sutarno
Doa: Tuhan, ampunilah kami, kalau kami masih
sering kurang mewujudkan makna salib dalam kehidupan
berjemaat, karena ketidakmauan kami merendahkan
diri demi kesejahteraan sesama. Amin.


=================================================
Diambil dari Renungan Harian MUSA, Penerbit: Sanggar Mitra Sabda, Jl. Merdeka Utara I-B/ 10; SALATIGA 50714; Telp/Fax: 0298-325176,  E-mail: mitrasabda@yahoo.co.id


Bilamana ingin berlangganan  Rp 4.000,00 per edisi




 Salib, Kutuk atau Rahmat?

Pdt. Meyske S. Tungka
Kematian adalah peristiwa alamiah bagi setiap makhluk hidup ter­masuk manusia. Namun kematian melalui cara atau jalan penyaliban, bukanlah kematian biasa. Selain rasa sakit yang amat sangat dirasakan, kematian dengan cara disalib merupakan hukuman bagi orang-orang yang divonis telah melakukan kejahatan besar sehingga dianggap men­galami kutukan dari Tuhan (Ulangan 21:23).
Penyaliban Yesus sungguh menarik hati banyak orang, sebab Yesus bukanlah pelaku kejahatan yang merugikan seseorang atau orang ba-nyak seperti yang biasanya dilakukan para penjahat kelas kakap. Menu­rut Leonardo Boff, Yesus telah menjadi skandal bagi banyak lapisan masyarakat pada waktu itu. Mereka adalah para ahli Taurat yang sangat menjaga ketat tafsir kitab-kitab suci, kaum Saduki yaitu para imam dan keluarga ningrat yang kolot dan oportunis, para tokoh masyarakat, pengusaha kaya, pejabat ibukota Yerusalem, partai politik Herodian (yang dekat dengan Herodes) yang menginginkan kemerdekaan dari penguasa yaitu bangsa Romawi (Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator, 1972). Gutierrez (1973) juga menyimpulkan bahwa kematian Yesus pada salib adalah sebuah skandal politik dan oleh Pilatus Ia dinobatkan sebagai “Raja Orang Yahudi”.
Ketakutan para penguasa politik maupun agama terhadap keha-diran Yesus sangatlah berlebihan. Dalam pikiran mereka Yesus tengah mengumpulkan kekuatan massa untuk menggulingkan penguasa. Na­mun kebangkitan Yesus telah mengubah kenyataan yang konyol itu. Kebangkitan Yesus mematahkan kekuatan manusia yang sarat dengan rekayasa dan intrik politik mapun agama. Gutierrez kemudian memberi makna teologis dari kematian Yesus, yaitu: Ia mati sebagai korban situasi keberdosaan manusia.
Yesus mati karena berjuang untuk pembebasan dan memerangi akar dari tatanan yang tidak adil. Yesus sadar sepenuhnya ada harga yang harus dibayar bagi pembebasan manusia dari ikatan kuasa kejahatan dan dosa yaitu “ketaatan pada kebenaran” dan risikonya adalah mati di kayu salib.
Yesus mau mengajarkan kepada dunia, bahwa ketaatan pada kebe­naran selalu mengandung risiko, dan bahwa hanya orang-orang yang berani menangung risiko itulah, yang akan membawa dunia dan manusia pada pemulihan dan penyelamatan. “Tiada kebangkitan tanpa Salib.” Tiada kemenangan tanpa kerelaan menderita. Penderitaan adalah cara berada Tuhan dalam solidaritas dengan manusia. Dengan demikian Tuhan adalah cinta. Tanpa penderitaan, Tuhan tidak sempurna dalam mencintai manusia dan dunia.
Ini sebuah pilihan. Sebuah bentuk kebebasan Allah untuk menentu­kan jalan dan cara-Nya mengasihi manusia. Dan lihatlah... segala kuasa tunduk dan takluk pada cara mengasihi yang sedemikian (Filipi 2:6-11). Cinta Tuhan adalah mengorbankan diri-Nya sendiri, supaya manusia tiba pada cinta sejati. Salib bukan lagi sebuah kutuk. Salib bukan lagi simbol ketidakberdayaan manusia Yesus yang tanpa dosa itu. Salib telah mem­bungkamkan suara lantang para tentara Romawi. Salib telah memecah tabir Bait Allah yang menjadi simbol pemisah antara manusia dan Allah yang diciptakan agama. Salib telah membuat para penguasa dunia dan agama tertunduk dan harus mengakui “sungguh Ia adalah Anak Allah.” Penyaliban Yesus memperlihatkan bahwa kebenaran Ilahi sedang menyelimuti manusia dengan cinta yang membebaskan dari keterikatan dan kekuatan jahat dan dosa.
Salib sebagai lambang kutuk itu telah berubah makna—oleh pengor-banan Yesus—menjadi simbol rahmat dan anugerah: untuk setiap orang yang mau menderita dalam ketaatan kepada Tuhan, akan tersedia kehi-dupan yang membebaskan. Bebas dari rasa takut, rasa salah dan terutama bebas dari kendali dosa. Salib itu juga telah menjadi simbol cinta yang berbagi. Perjamuan Kudus sebagai lambang tercurahnya darah dan ter-pecahnya tubuh Yesus adalah bukti pemberian diri. Bukti cinta yang membebaskan. Adakah cinta yang lebih besar dari Yesus yang tersalib bagi kita?